Semua ini gara-gara dia. Mulai dari tetangga, hingga teman-teman kian menista harga diriku. Apa lagi, aku sama sekali tak pernah memamerkan seorang wanita pun, sehingga mereka menganggapnya kekasih baru, atau pacar gelapku, lalu menertawakanku.
Bermula dari kedatangan seorang gadis di rumahku sore itu. Sosok yang begitu asing, dari wajahnya tergambar kegelisahan, atau semacam kesedihan yang tak pernah diluapkan. Mungkin seusiaku, atau satu-dua tahun lebih tua. Rambut hitam bergelombang tergerai ke bahu. Kacamata tebal, setebal gumpalan pipi yang hampir menelan seluruh dagu, cukup gemuk menurutku. Serta beberapa benjolan jerawat memadati batang hidung. Seluruh tubuhnya dikemas dalam sweater tebal dan celana komprang dengan nuansa warna yang mencolok, namun tak senada. Tapi bukan itu permasalahannya.
Saat kubuka pintu, sorot mata nya yang hampa membuat ku terselap. Namun, dia hanya diam terpaku melihatku, tak ada yang dikatakan layaknya tamu-tamu yang pernah singgah. Dengan terpaksa ku pinta dia masuk, sejak itu bibir keringnya terbuka, tanpa sepenggal kata. Beberapa saat aku menyadari, rupanya tunawicara. Seketika aku menyesali sikapku, namun dia memilih untuk menunggu di teras. Aku menelfon ibu yang sedari tadi menjenguk nenek bersama ayah. Ku katakan seseorang datang, tanpa penjelasan panjang. Ibu paham yang ku maksud, tak lama kemudian mereka pulang.
Malam itu, dengan berbisik ibu menceritakan. Gadis itu Menik namanya, saudara tiri dari sepupuku, anak dari bulek (tante) yang diadopsi dari sebuah panti asuhan. Kami tinggal berjauhan, sehingga berita itu tak pernah sampai di telingaku. Maklum, jaringan seluler di tempat kami jauh dari kata memadahi. Katanya, dia dititipkan di rumahku untuk sementara waktu, untuk mencari pekerjaan, karena di kota dia tinggal terlalu sulit mendapatkannya. Entah pekerjaan apa yang dicarinya, aku tak bisa membantu, karena aku hanya seorang siswa SMA. Tak lama, dia keluar dari kamar belakang yang telah dirapikan sedemikian rupa, bersampingan dengan kamar ku.
Ibu menyambutnya, kemudian menggiring kami ke meja makan untuk bersantap bersama. Maaf saja, aku tak bermaksud menghindari percakapan dengannya, aku hanya tidak mengerti bahasa isyarat. Lain dengan ibu, begitu lihai dengan rangakaian gerakan yang membentuk ungkapan-ungkapan. Itu hal biasa, karena ibu sudah mengajar di sebuah Sekolah Luar Biasa selama enam belas tahun lamanya. Aku dan ayah hanya sibuk mengamati, lalu menangkap rangkaian kata demi kata hasil terjemahan ibu. Saat mataku beralih ke wajah Menik, dia begitu ekspresif dalam komunikasi. Sesekali tersenyum, namun seringkali murung. Begitu seterusnya, pergantian itu begitu tumpang-tindih.
Aku masuk ke dalam kamar, kemudian berbaring di atas ranjang. Setelah beberapa kali mataku mengedip, aku mendengar desir nafas yang amat berat. Aku menyandingkan telinga kananku di tembok kamar, meresapi suara itu. Suara itu kian memberontak, kemudian mereda sesaat. Semakin malam, desiran itu kian menyeruak, menembus pori-pori dinding kamar yang tak kasat mata. Entah apa yang membuatnya demikian, aku berusaha berpikir positif. Mungkin dia kelelahan, perjalan jauh membuatnya terlelap begitu dalam.Â
Kemudian hari, saat aku menunggu jemputan Rian yang biasa memboncengku ke sekolah, Menik terlihat keluar dari rumah. Mungkin satu dari sekian lamarannya telah siap membalikkan nasibnya. Tak lama, Rian datang berbarengan Menik membuka pagar besi. Terlihat dari teras wajah Rian yang bertanya-tanya, memperhatikan sosok gadis yang cukup asing baginya. Rian mengangkat alisnya cepat ke arahku, tanda menanyakan siapa itu. Menik, saudaraku, kataku.
"Itu pacarnya, Mas". Sebuah seruan terdengar dari pangkalan ojek di seberang sana. Rian terkekeh dibuatnya. Diiringi tawa-tawa dari dua orang tetangga sekitar yang bersamaan menyiram tanaman, disusul seorang remaja perempuan yang siap diantar ojek tersebut, teman SD ku dulu. Perlahan ku rasakan wajahku menghangat, rasa malu tak bisa ku urungkan.
Siang hari, sepulang dari sekolah, ibu melanjutkan sedikit cerita tentang kedatangan Menik. Dia sempat menyasar beberapa rumah tetangga dan juga para tukang ojek untuk menemukan letak rumahku. Entah apa yang membuat mereka terpingkal-pingkal pagi tadi, mungkin hanya sekedar candaan belaka, atau wujud dari sosok Menik itu sendiri, aku tak tahu pasti. Â Yang jelas, tawa-tawa itu sungguh menyiksaku.
Pernah suatu ketika, aku dipasang-pasangkan dengan seorang gadis di kelas. Seorang murid baru pindahan dari kota yang tak jauh. Awalnya, aku merasa semua itu hanya candaan ala kadarnya. Namun, lambat laun menjadi kebiasaan yang sungguh mengusikku. Entah kenapa mereka ini, hanya karena aku tidak pernah memamerkan seorang pacar seperti yang lain, membangga-banggakan di hadapan semua orang, seenaknya mereka mendesakku, bahkan memintaku mengesahkan perjodohan itu. Sejak saat itu, aku memendam kemuakan yang teramat dalam, terutama kepada mereka yang menista harga diriku.
Keesokan hari, juga hari-hari berikutnya, siklus hidupku kian menyakitkan. Sama seperti saat pertama kali Rian berpapasan dengan Menik. Seruan-seruan ejekan, tawa-tawa yang menggelegar, hingga desas-desus tentangku yang memiliki pacar simpanan baru seakan menjadi topik terpanas. Lebih parahnya, obrolan-obrolan itu datang dari mulut teman-teman sekolahku. Aku baru menyadari, berbagai sindiran itu datang di setiap kehadiranku. Tapi, yang aku tahu, hanya Rian yang mengetahui sosok Menik. Mungkinkah dia menyebarkan olokan para tukang ojek itu di sekolah?