Siang itu pukul 14.00
Angin laut begitu terasa di sini
Pohon kelapa tinggi menjulang
Desir pasir serasa berbisik
Untuk kembali
Hiruk pikuk suasana kota, membuat sebagian orang jenuh, bosan dan membutuhkan suasana baru. Rasa-rasanya Ngetun tahu soal itu. Rasa-rasanya, Ngetun mampu menjawab persoalan itu. Tidak perlu jauh-jauh, tidak perlu biaya mahal, Ngetun ada di dekat kita. Ngetan-ngetun, ngetan-ngetun, siapa sih dia? Seberapa hebat dirinya sehingga mampu menghilangkan rasa jenuh orang-orang kota? Apa kemampuan yang dimilikinya? Ah, semakin membuat penasaran.
Ngetun, katanya dirimu dikelilingi pohon kelapa nan tinggi menjulang. Ngetun, katanya dirimu berteman dengan angina yang mampu mengundang orang untuk datang menemuimu. Ngetun, katanya teman mainmu adalah air, pasir dan sepi. Sepi? Mengapa kamu berteman dengan sepi, Ngetun? Katanya dirimu cantik, indah dan membuat orang terpana ketika melihat pesonamu. Jika kata mereka kamu seperti itu, mengapa kamu merasa kesepian? Bolehkah kita manusia datang kepadamu, Ngetun?
Ngetun, saat ini kita sedang menuju padamu. Kamu bilang, dirimu ada di sekitaran daerah Gunung Kidul. Tunggu, sekitar 70 km lagi kita akan menggapaimu dari pusat kota Yogyakarta. Jangan pasang dulu, jangan bergejolak dulu, tetap tenang, mengalir dan sepi. Biarlah rasa penasaran ini menghampiri, sebelum hari berganti.
Dua jam sudah kita berkeliling berputar mengelilingi Gunung Kidul, tapi kamu tak ditemukan juga. Udara panas khas daerah pesisir pun mulai menghampiri kulit, keringat lah badan dibuatnya. Hingga pada akhirnya, setengah jam berlalu, terlihat lah sebuah plang penanda. Dalam plang itu, kita melihat namamu berjejer di antara nama-nama lain seperti Siung dan Wediombo. Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, tempat di mana kamu berada menyendiri. Kita harus bersemangat, plang sudah terlihat, kita pasti sebentar lagi sampai.
Medan yang rusak mulai terlihat, tapi pantai tak kunjung sampai. Jalan berbatu yang mengantar kami bertemu denganmu. Tak disangka, laut biru mulai terlihat, sungguh sebuah keindahan yang membuat kita semakin bersemangat untuk sampai ke bawah. Letakmu yang diapit kedua bukit membuat mata kita manusia menjadi semakin tertantang untuk menelusuri setapak demi setapak jalan berbatu. Meski itu dirasa sulit, pada akhirnya sampai juga.
Indah, biru, sepi, damai mungkin sebagian besar orang akan berkata seperti itu ketika pertama kali menginjakkan kakinya di sini. Segala jalan berbatu dan rute yang sangat ekstrim dan terpencil, sangat membuat orang puas ketika melihat pesona yang kamu bawa, Ngetun. Tak heran, banyak orang yang bilang kamu tampak seperti teluk mungil yang indah, lantaran kamu diapit dua bukit tinggi nan hijau
Wah, ternyata di sini kamu tidak sendirian, tun. Ada Pak Sakip yang menemanimu, dia penjagamu, ya? Dia bilang, nama aslimu bukan Ngetun, tapi Ngitun. Kata Ngetun sudah terlanjur tenar di mata sebagian orang yang pernah mengunjungimu. Lantas, apa arti kata Ngitun? Sakip, yang setiap hari menjagamu ini berkata bahwa Ngitun berasal dari kata ngintun yang berarti mengintip (bahasa Sunda, Jawa).
“Pantai Ngetun ini aslinya bernama Ngitun, dari asal kata ngintun artinya ngintip, tapi bisa juga ngirim, jadi orang yang ke sini itu seperti mengintip ada pantai bagus lalu mengirim pesan ke teman-temannya untuk ke sini, mas,” kata Sakip sembari melihat ombak nan tenang di pantai ini. Pria bertubuh tegap ini kembali menceritakan sejarah tentang kamu, Ngetun.