Mohon tunggu...
Nicolas Dammen
Nicolas Dammen Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

sedang memelihara minat menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mempersoalkan Penerapan Etika Utilitarianisme dalam Pertimbangan Putusan Hakim

2 Februari 2024   04:30 Diperbarui: 2 Februari 2024   04:41 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir dari suatu persidangan atas perkara di pengadilan adalah putusan hakim. Putusan hakim selain memuat hal-hal normatif seperti identitas terdakwa, dakwaan, tuntutan, peraturan yang menjadi dasar pemidanaan, juga harus memuat pertimbangan hukum yang lengkap (M. Yahya Harahap, 2009 : 361 - 374). Pertimbangan hukum adalah berisi argumentasi hukum yang didasarkan atas fakta-fakta persidangan dihubungkan dengan kaidah hukum yang dilanggar oleh terdakwa lalu disimpulkan dengan menggunakan penalaran hukum. Penalaran hukum yang digunakan hakim dalam pertimbangan hukum bergantung pada pendekatan penalaran yang digunakan hakim dalam menyimpulkan suatu perkara, misalnya apakah bercorak realisme atau formalisme (Muji Kartika Rahayu, 2018 : 6 - 10). Realisme hukum merupakan teori hukum dan peradilan yang mendasarkan pada apa yang senyatanya dipikirkan oleh hakim dalam memutus perkara yang diadilinya, jadi hakim pertama-tama akan memutus perkara yang diadilinya bukan berdasarkan peraturan-peraturan, melainkan didasarkan atas fakta-fakta material yang terungkap dalam persidangan. Sementara formalisme akan cenderung ingin menggunakan pengetahuan yang sudah ada untuk menyimpulkan kemudian dengan investigasi yang minim terhadap kasus yang diadilinya. Singkatnya, perbedaan pokok antara aliran formalisme dengan realisme adalah kaum formalis memandang hakim sebagai pelaksana peraturan melalui putusan-putusannya sedangkan kaum realis menuntut hakim membuat hukum melalui putusannya (Muji Kartika Rahayu, 2018 : 170).

Dalam praktik hukum, positivisme tidak selalu sama dengan formalisme, demikian halnya dengan formalisme tidak selalu sama dengan naturalisme. Seorang formalis bisa saja adalah muncul dari kalangan positivis, bahkan juga naturalis. Demikian halnya seorang positivis bisa saja berpandangan bahwa realisme lebih tepat digunakan hakim (Muji Kartika Rahayu, 2018 : 113). Jadi tidak ada rumus baku yang dapat diturunkan, karena positivisme sebagai teori hukum tidak memiliki hubungan konseptual dengan formalisme sebagai teori peradilan. Memang misalnya ada anggapan seperti Sebok yang memandang bahwa positivisme (Inggris) sama dengan formalisme (Amerika), karena adanya kesamaan pandangan antara keduanya mengenai hakim dan penghakiman, dan keduanya memang lahir secara khas dari rahim positivisme Inggris.

Penganut positivisme hukum di Inggris seperti Jeremy Bentham (1748 - 1832) dalam pemikirannya mengembangkan teori etika utilitarianisme klasik yang kemudian diperhalus oleh John Stuart Mill (1806 - 1873) yang mengkritik kalkulus kenikmatan (hedonic calculus) yang terdiri atas tujuh variabel yaitu (1) berdasarkan intensitas kenikmatan dibandingkan dengan rasa sakit yang ditimbulkan; (2) durasi atau lamanya kenikmatan dibandingkan rasa sakit; (3) kepastian (seberapa pasti tindakan itu membawa kenikmatan daripada rasa sakit; (4) kedekatan (seberapa dekat hubungan antara tindakan itu dan kenikmatan yang diakibatkan dibanding rasa sakitnya); (5) kesuburan/fecundity (seberapa subur atau dapat terus menambah kenikmatan yang diakibatkan oleh tindakan itu dibandingkan dengan rasa sakit yang ditimbulkannya); (6) kemurnian/purity (semakin murni kenikmatan yang diakibatkankan tanpa tercampuri rasa sakit yang ditimbulkan semakin baik); (7) keluasan (semakin luas atau semakin banyak yang merasa nikmat semakin baik) (K. Bertens, 2000 : 246 - 249).

Jeremy Bentham lahir di London tahun 1748. Bentham menjalani hidup selama masa perubahan sosial, politik dan ekonomi yang masif, dan terjadinya revolusi di Perancis dan Amerika yang menginspirasi Bentham merumuskan teorinya. Teori utilitarian Bentham diilhami oleh David Hume (1711 -1776) yang menyatakan bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Bertitik tolak atas pandangan Hume tersebut, Bentham lalu merumuskan pandangannya bahwa hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Gagasan Bentham ini lalu melahirkan teori utilitarianisme, namun yang masih bercorak klasik, yang kemudian dibaharui oleh Mill.

Menurut pandangan Bentham, tujuan dari hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Maka, konsepnya adalah meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum itu sendiri. Ukurannya adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini akan sangat tergantung pada apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness).

Prinsip-prinsip dasar ajaran Bentham dapat dijelaskan sebagai berikut. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, barulah kepada orang banyak. "the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang). Prinsip ini harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan: (1) to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup); (2) to Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah); (3) to provide security (untuk memberikan perlindungan); dan (4) to attain equity (untuk mencapai persamaan).

Bagi Bentham, peraturan yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Ajaran Bentham yang sifat individualis ini tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, agar kepentingan idividu yang satu dengan individu yang lain tidak bertabrakan maka harus dibatasi tidak terjadi homo homini lupus. Menurut Bentham agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati kepada individu lainnya sehingga akan tercipta kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat akan terwujud. Bentham menyebutkan“The aim of law is the greatest happines for the greatest number”.

Beberapa pemikiran penting Bentham juga dapat ditunjukkan, seperti: (1) Hedonisme kuantitatif yakni paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata secara kuantitatif. Kesenangan bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan. (2) Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa kesenangan-kesenangan bersifat fisik dan tidak mengakui kesenangan spritual dan menganggapnya sebagai kesenangan palsu. (3) Kalkulus hedonistik (hedonistik calculus) bahwa kesenangan dapat diukur atau dinilai dengan tujuan untuk mempermudah pilihan yang tepat antara kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus hedonistik sebagai dasar keputusannya. Adapun kriteria kalkulus yakni: intensitas dan tingkat kekuatan kesenangan, lamanya berjalan kesenangan itu, kepastian dan ketidakpastian yang merupakan jaminan kesenangan, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu,kemungkinan kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan berikutnya kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan, dan kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Untuk itu ada sanksi yang harus dan akan diterapkan untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam mencapai kesenangan yaitu: sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi umum, dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.

Dengan mengikuti prinsip jelas dan rasional dalam teori Bentham, pemerintah yang akan mengambil kebijakan mempunyai pegangan jelas untuk membentuk kebijakannya dalam mengatur masyarakat. Penentuan kebijakan tinggal diarahkan pada kepentingan mayoritas masyarakat dan mengorbakan sebagaian kecil kepentingan masyarakat, misalnya dalam rangka mengatasi banjir, maka beberapa penduduk yang tinggal di sekitar sungai direlokasi ke tempat lain, padahal mereka akhirnya mengalami kesulitan untuk mengakses pekerjaannya, akan tetapi ada kepentingan yang lebih luas yang ingin dicapai yaitu membebaskan sebagian besar warga kota dari bencana banjir.

Selanjutnya murid Bentham yaitu John Stuart Mill dalam bukunya Utilitarianism (1864) mengajukan kritik pada pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Mill berpendapat bahwa kualitas kesenangan harus diukur kualitatifnya juga, dimana kesenangan manusia haruslah lebih tinggi dari kesenangan hewan. Mill menyindir pandangan Bentham dengan nada satir berikut:

"It is better to be human being dissatisfied than a pig satisfied, better to be Socrates dissatisfied that a fool satisfied." (Lebih baik menjadi seorang manusia yang tidak puas daripada seekor babi yang puas, lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun