Mohon tunggu...
Nicolas Dammen
Nicolas Dammen Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

sedang memelihara minat menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kata-Kata yang Memenjarakan: Refleksi Kritis Penggunaan Instrumen Hukum Tanpa Kesadaran Hukum

1 Februari 2024   13:16 Diperbarui: 1 Februari 2024   14:04 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gejala masyarakat litigasi yang belakangan kelihatannya mulai terbentuk kemungkinan besar dipengaruhi oleh konstitusi negara kita sendiri sebagaimana slogan usang yang ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi:  “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Demikian halnya dengan tren Index Demokrasi Indonesia yang agak membaik, meski masih tercatat masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).  Kebebasan sipil naik dari 5,59 menjadi 6,18. Sementara partisipasi politik melesat dari skor 6,11 menjadi 7,22 dibanding negara lainnya di kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06). Meski Index Hukum Indonesia sebagaimana dirilis oleh World Justice Project (WJP) mengungkapkan Indeks Hukum Indonesia (INHI) 2021 turun dari tahun sebelumnya menjadi tercatat pada angka 0,67 atau lebih rendah dari 2020, 0,68, dengan berada pada posisi 68 dari 139 negara.  Namun tren kenaikan jumlah perkara yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat misalnya terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Hal tersebut menunjukkan meski index hukum mengalami tren penurunan tetapi masyarakat tetap memilih jalan penyelesaian masalah melalui jalur litigasi sebagai pilihan utama.

Sebuah analisis menarik misalnya dilakukan oleh Mintowati pada tahun 2016, penelitiannya yang berjudul Pencemaran Nama Baik: Kajian Linguistik Forensik. Penelitian tersebut menggunakan teori linguistik forensik, semantik (makna leksikal dan gramatikal), dan pragmatik (tindak tutur). Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis semantik leksikal, ditemukan makna kata yang sebenarnya lepas dari konteks kalimat dan konteks wacana. Analisis gramatikal, ditemukan makna kata yang bermakna gramatikal yang dipengaruhi oleh konteks kalimat dan konteks wacana sehingga dapat ditemukan makna tuturan yang dimaksudkan untuk menghina, mencemarkan, dan/atau menjelekkan nama baik ataukah tidak. Pihak terlapor dapat divonis melanggar UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, khususnya pasal 27 ayat (3). Sedangkan pada analisis pragmatik menggunakan teori tindak tutur, ditemukan tindak tutur ilokusi ekspresif (ungkapan kekecewan dan kemarahan) dan direktif-provokatif pada tuturan FS dan tindak tutur ekspresif EE (ungkapan isi hati) sebagai penutur serta tindak tutur perlokusi pada pihak petutur (LSM yang mewakili masyarakat Yogyakarta dan atasan suami EE) yang melaporkan keduanya ke kepolisian.

Penelitian serupa misalnya dilakukan Rahman Zulfa Indana Nadhifa pada tahun 2019 yang berjudul Penggunaan Kata Tabu di Media Sosial: Kajian Linguistik Forensik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kata-kata tabu yang digunakan dalam media sosial terdiri atas: (1) kata-kata cabul (obscenet), (2) bahasa vulgar (vulgar language), serta (3) penyebutan nama dan hinaan (name-calling and insult). Kata-kata tabu tersebut berpotensi melanggar pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1) UU RI No. 11 tahun 2008 tentang UU ITE serta pasal 310 ayat (1) dan pasal 311 ayat (1) KUHP tentang penghinaan.

Kasus Jerinx vs IDI Cabang Bali tentang polemik unggahan di media sosial "IDI Kacung WHO" yang dianggap sebagai bentuk ujaran kebencian karena menimbulkan kegaduhan adalah bukti konyolnya hukum itu sendiri dan dijalankan oleh penegak hukum yang konyol pula. Hukum dan penegak hukum terlalu sia-sia untuk mengurusi ocehan di media sosial seperti itu. Semestinya biarlah itu menjadi diskusi terbuka di media sosial itu sendiri ketimbang menariknya ke meja sidang untuk diadili, menggunakan hukum yang 'abu-abu' pula. Tak berselang lama Jerinx kembali berhadapan dengan hukum karena ocehannya di media sosial dilaporkan seorang yang bernama Adam Deni. Ia lagi-lagi harus mendekam di penjara. Apakah ia sedang sial-sialnya? Tentu saja kita tidak sedang mencoba menilainya dengan banal tetapi ingin melihat sekali lagi gejala di balik peristiwa itu.  

Hakim telah telah memutus semua perkara di atas dengan menjatuhkan pidana penjara pada pelakunya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengomentari masing-masing isi putusan-putusan atas perkara tersebut tetapi ingin merefleksikan apakah proses hukum yang terjadi adalah hasil dari kesadaran hukum atau hanyalah sekedar kegagapan kita berhadapan dengan hukum?

Teori sistem hukum yang dikemukakan Lawrence M. Friedman yaitu bekerjanya suatu hukum ditentukan oleh struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi pembuat dan penegakan hukum, seperti DPR, Eksekutif, Legislatif, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Substansi hukum adalah output dari struktur hukum yang berupa putusan dan ketetapan, peraturan perundang-undangan, dan juga mencakup aturan yang di luar kitab undang undang. Sementara budaya hukum adalah hubungan antara perilaku sosial dan kaitannya dengan hukum. (Friedman, 1982:52) Maka efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung pada tiga unsur sistem hukum yang telah dikemukakan Lawrence M. Friedman tersebut di atas. Lebih lanjut Friedman dalam teori legal system-nya menyatakan: (Friedman, 1982:52-53)

“...other elements in the system are culture. These are the values and attitudes which bind the system together and which determine the place of legal system in the culture of society as a whole. What kind of training and habits do the lawyers and judges have? What do people think of law? Do groups or individuals willingly go to court? For what purposes do they make a use of other officials and intermediaries? Is there respect for law, government, traditions? What is the relationship between class structure and the use or non-use of legal institution? What informal social control exist in edition to or in place of formal ones? Who prefers which kind of control, and why? These aspects of law-legal culture-influence all of the legal system. But they are particular important as the source of the demands made upon the system. Is the legal culture, that is the network of values and the attitudes relating of law, which determines when and why and where people turn the law, or to government, or turn a way”

“...elemen lain dalam sistem adalah budaya. Ini adalah nilai-nilai dan sikap yang mengikat sistem bersama dan yang menentukan tempat sistem hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan. Pelatihan dan kebiasaan seperti apa yang dimiliki para pengacara dan hakim? Apa pendapat orang tentang hukum? Apakah kelompok atau individu rela pergi ke pengadilan? Untuk tujuan apa mereka memanfaatkan pejabat dan perantara lain? Apakah ada rasa hormat terhadap hukum, pemerintah, tradisi? Apa hubungan antara struktur kelas dan penggunaan atau non-penggunaan lembaga hukum? Apa kontrol sosial informal yang ada dalam kaitannya dengan atau menggantikan yang formal? Siapa yang lebih suka jenis kontrol yang mana, dan mengapa? Aspek-aspek budaya hukum ini mempengaruhi semua sistem hukum. Tapi mereka sangat penting sebagai sumber tuntutan yang dibuat pada sistem. Apakah budaya hukum, yaitu jaringan nilai dan sikap yang berkaitan dengan hukum, yang menentukan kapan dan mengapa dan di mana orang berpaling pada hukum, atau pemerintah, atau sebaliknya berbelok arah?"

Friedman menyebut elemen lain dari sistem adalah kultur yang meliputi nilai-nilai dan sikap yang mengikat sistem itu secara bersama atau menentukan tempat dari sistem hukum itu dalam budaya masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Jadi anasir-anasir non-hukum menjadi faktor yang mempengaruhi operasionalisasi dari suatu sistem hukum. Maka budaya hukum ini adalah suatu jaringan nilai-nilai dan sikap yang berhubungan dengan hukum, sehingga menentukan kapan dan mengapa, atau orang berpaling kepada hukum, atau kepada pemerintah, atau berpaut darinya sama sekali.

Pilihan untuk berpaling pada hukum dan menggunakan hukum sebagai jalan penyelesaian nantinya akan membentuk suatu Litigation Society. Namun pilihan tersebut bukanlah sebagai bukti terbentuknya kesadaran hukum masyarakat, melainkan hanyalah semacam kegagapan berhadapan dengan hukum. Jika empat indikator penentu kesadaran hukum masyarakat sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto berjalan, maka tentu saja kasus-kasus penggunaan kata-kata yang memenjarakan di media sosial tidak akan terjadi, sebab masing-masing individu dalam interaksi sosial telah menyadarinya sejak awal.

Proses menyadari menjadi sangat penting. Semua tindakan yang kita lakukan adalah diasumsikan sebagai suatu tindakan bebas. "Saya bebas dalam arti bahwa saya memiliki lebih dari satu pilihan yang benar-benar terbuka untuk saya." (“I am free in the sense that I have more than one option that is genuinely open to me.”) (John Martin Fischer, 2007:44) Namun dalam kebebasan itu, dikenal suatu corak compatibilisme. Corak kebebasan ini misalnya dapat dilihat dalam pemikiran utilitarian Jeremy Bentham dimana berarti kehendak bebas dapat eksis atau sesuai dengan determinisme. (Jeremy Bentham, 2006:123-124) Kehendak bebas sebagai kondisi yang seharusnya ada sebagai bentuk tanggung jawab moral. Kompatibilisme setidaknya memiliki gagasan sentral bahwa kebebasan dan tanggung jawab moral setiap manusia diharuskan terjadi oleh segala peristiwa di masa lalu bersama-sama dengan hukum alam. Kompatibilisme tampak masuk akal karena tampak begitu jelas bahwa setidaknya kita bebas dan bertanggung jawab secara moral, namun kita juga menyadari bahwa determinisme kausal bisa menjadi kenyataan. Artinya, untuk semua yang kita tahu baik disadari ataupun tidak, semua peristiwa (termasuk perilaku manusia) adalah hasil dari rantai sebab-sebab yang juga dipengaruhi oleh hukum alam. Namun dibalik semuanya itu, seorang pribadi dapat menyadari dirinya sendiri bahwa ia adalah agen yang bebas dan bertanggung jawab secara moral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun