Kemunculan berbagai platform media sosial beberapa tahun belakangan telah mengakomodasi kebebasan individu di Indonesia. Tak dapat dipungkiri, media sosial telah merangsang proses kreatif hingga melahirkan pegiat-pegiat media sosial, baik sebagai influencer, content creator untuk melakukan endorsment, hingga kegiatan sosial politik. Riuhnya ruang-ruang media sosial ini tentu saja bukan berarti bahwa setiap orang yang terlibat di dalamnya bebas tanpa harus mengikuti norma-norma hukum yang berlaku di yurisdiksi hukum Indonesia, melainkan justru harus lebih hati-hati karena jejak digital lebih mudah dibuktikan. Aspek inilah yang kurang disadari sebagaian besar pegiat sosial sehingga akhirnya harus berhadapan dengan ancamman delik pencemaran nama baik atau penghinaan.
Jebakan hukum dalam setiap langkah aktivitas kita seakan menegaskan kehidupan dan interaksi sosial kita dipenuhi dengan berbagai macam bentuk determinisme. Sejak awal Plato telah menganggap kebebasan sebagai determinisme moral, yaitu terarah kepada kebaikan. Â Perdebatan antara kehendak bebas dan determinisme telah menjadi topik utama dalam teks-teks klasik Plato dan Aristoteles, lalu ke abad pertengahan juga menjadi perhatian St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas, kemudian puncaknya di masa moderen kita mengenal nama-nama seperti Descartes, Spinoza, Kant dan Hume, hingga Schopenhauer, Freud, Sartre, Simone Weil, Moore dan Wittgenstein. (Ilham Dilman, 1999 : 2)
Hasil kajian Kominfo dan The institute for digital law and society menunjukkan putusan Mahkamah Agung terkait Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tahun 2020, ada 33 persen putusan berkaitan dengan pasal pencemaran nama baik, kemudian 21 persen putusan berkaitan dengan ujaran kebencian. Tren ini menunjukkan dan sekaligus membawa kita pada dua isu utama untuk direfleksikan yaitu apakah penggunaan instrumen hukum sebagai penyelesaian masalah sungguh dimotivasi dari suatu kesadaran hukum? Ataukah ada semacam bentuk 'kekagetan' sekaligus 'kesenangan baru' dalam menempuh proses hukum yang bukan dimotivasi dari kesadaran hukum.
Sejak reformasi, pembicaraan tentang hukum di media tanah air cukup mendominasi, mulai dari kasus hukum yang berat seperti korupsi hingga yang ringan dan hal-hal sepeleh seperti pencemaran nama baik di media sosial atau sekedar pertengkaran kekanak-kanakan sesama 'public figur'.  Beberapa kasus hukum yang amat menyita perhatian sepuluh tahun belakangan yaitu tahun 2012 ada kasus Prita Mulyasari, tahun 2014 ada kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, tahun 2015 ada putusan kontroversial hakim Sarpin  yang menyatakan status tersangka Budi Gunawan tidak sah, tahun 2016 ada kasus Ahok,  tahun 2017 kasus korupsi hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar  Tahun 2020 mengenai isu kasus Rizieq Shihab dan Omnibus Law. Pembicaraan isu-isu hukum di era media sosial makin sering dijumpai namun tak jarang pula hanya berupa kegaduhan-kegaduhan sepeleh di media sosial.
Berdasarkan data jumlah perkara di Mahkamah Agung RI pada Kamar Perkara dari 2008 sampai dengan 2017, terlihat tren peningkatan jumlah perkara yang prosesnya sampai pada tahap kasasi dan peninjauan kembali dari tahun ke tahun. Data tersebut tentu saja tak hanya memperlihatkan jumlah statistik belaka tetapi yang paling penting adalah fenomena di balik data-data tersebut yaitu adanya kemungkinan semangat litigan dalam diri pihak-pihak hingga tak mau mengalah dan lebih memilih memperpanjang perkaranya hingga ke tingkat akhir. Kecenderungan masyarakat yang demikian patut dicurigai sebagai fenomena yang mengarah pada lahirnya masyarakat litigasi (litigation society) di tengah kita. Tanda-tanda ini dengan amat penuh ironi digambarkan oleh A. E. Dick Howard dalam The Wilson Quarterly, seperti ini: (Howard, 1981:98)
"Doomsday Drawing Near with Thunder and Lightning for Lawyers," warned a 17th-century London pamphleteer. Today's Americans may still distrust lawyers, but they nevertheless have come to rely more and more upon courts and the law. Everything from disputes between parents and children to the future of nuclear power seems eventually to come before a judge. As A. E. Dick Howard, a specialist on constitutional law, suggests, we may be well on our way to becoming a "litigation society where The courts have often served as a useful "safety valve".
There are now more than 574,000 lawyers in America, twice as many as there were just 20 years ago. Law school enrolments have gone up 187 percent in the same period. Already we have one lawyer for every 400 people (compared to one doctor for every 500), or three times as many lawyers per capita as England and 20 times as many as Japan."
[Kiamat Semakin Dekat dengan Guntur dan Petir untuk Pengacara," demikian diperingatkan pada pamflet di London abad ke-17. Orang Amerika saat ini mungkin masih tidak mempercayai pengacara, tetapi mereka semakin bergantung pada pengadilan dan hukum. Semuanya mulai dari perselisihan antara orang tua dan anak-anak hingga masa depan tenaga nuklir tampaknya pada akhirnya akan dihadapkan pada seorang hakim. Seperti yang disarankan oleh A. E. Dick Howard, seorang spesialis hukum konstitusional, kita mungkin sedang dalam perjalanan untuk menjadi "dalam masyarakat litigasi, Pengadilan sering berfungsi sebagai "katup pengaman" yang berguna."
Sekarang ada lebih dari 574.000 pengacara di Amerika, dua kali lebih banyak dari 20 tahun yang lalu. Pendaftaran sekolah hukum telah naik 187 persen pada periode yang sama. Kami sudah memiliki satu pengacara untuk setiap 400 orang (dibandingkan dengan satu dokter untuk setiap 500), atau tiga kali lebih banyak pengacara per kapita Inggris dan 20 kali lebih banyak Jepang]
Hari-hari kita sungguh bising dengan perselisihan sepeleh yang tak kunjung damai, ibarat longlongan anjing yang mengganggu tidur siang. Jumlah pengacara bahkan melebihi jumlah dokter. Gejala seperti ini juga mendera hari-hari kita di Indonesia sekarang ini. Melihat data-data tren masyarakat litigasi di Indonesia yang tampaknya 'gemar berperkara' di tengah tren Indeks Hukum yang menurun menunjukkan gejalah yang aneh dan tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang bentuk kesadaran hukum itu seperti apa?
Soerjono Soekanto menyatakan terdapat empat indikator penentu kesadaran hukum masyarakat. Pertama pengetahuan hukum yakni pengetahuan tentang perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang boleh dilakukan. Kedua, pemahaman kaidah-kaidah hukum dengan penghayatan isi norma atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Ketiga, sikap terhadap norma hukum yaitu berupa penilaian baik atau buruk terhadap kaidah atau atauran-atauran hukum. Keempat, perilaku hukum yaitu ditunjukkan dengan perbuatan menaati aturan-atauran yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. (Soekanto, 1982:13) Sementara kegemaran berperkara warga negara belum tentu dilatari oleh kesadaran hukum, bisa saja sebaliknya justru dimotivasi oleh ketidaksadaran akan hukum itu sendiri karena kegagapan berhadapan dengan hukum lalu membentuk masyarakat litigasi.