Setelah partai USDP (Union Solidarity and Development Party)Â mengalami kekalahan telak pada pemilu tahun 2020 di Myanmar. Para petinggi militer yang salah satunya adalah Jenderal Min Aung Hlaing melakukan sebuah gerakan kudeta. Gerakan ini dilakukan dengan menahan petinggi negara, termasuk Aung San Suu Kyi yang merupakan State Counselour atau setara dengan Perdana Menteri pada umumnya. Selain beliau, pembuat kebijakan lainnya yang berasal dari partai NLD (National League for Democracy), beserta para aktivis lain pun turut ditangkap oleh junta militer.
Tentu dengan tertangkapnya petinggi negara dan berkuasanya junta militer menjadi tanda keberhasilan dari kudeta yang dilakukan. Hal ini juga terlihat dari Jenderal Min Aung Hlaing yang naik menjadi perdana menteri beserta Myint Swe yang menjadi presiden Myanmar, di mana kedua orang tersebut merupakan pemimpin dari gerakan pada 2021 silam. Akibat dari kudeta yang dilakukan ini membuat munculnya banyak gerakan demonstrasi yang berasal dari rakyat, aktivis dan pemimpin dari partai yang digulingkan. Para demonstran ini kemudian membuat sebuah grup bernama NUG (National Unity Goverment) yang bertujuan untuk melawan balik kelompok junta militer serta menyatukan gerakan-gerakan yang beroposisi terhadap kelompok militer yang berkuasa.
Gerakan yang dilakukan NUG tidak hanya dalam bentuk protes saja, NUG sendiri telah mendeklarasikan perang terhadap junta militer dan telah membentuk divisi bersenjatanya sendiri yang bernama PDF (People's Defence Force). Adanya oposisi bagi pihak junta militer tentu akan menimbulkan peperangan. Semenjak kelompok junta militer berhasil menguasai pemerintahan telah terjadi berbagai konflik di berbagai daerah. Pada tahun 2021 pihak pemerintah telah menghancurkan rumah penduduk dan sekitar 1500 orang diperkirakan terbunuh. Selain itu lebih dari 8000 orang yang terindikasi melakukan pemberontakan ditangkap dan ditahan oleh junta militer, di mana jurnalis, tenaga kesehatan, dan politisi NLD termasuk dari orang-orang yang ditangkap.
Hingga 2023 konflik masih terus terjadi, tak hanya berasal dari NUG saja namun dari kelompok-kelompok etnis Myanmar lainnya. Hal ini tentu membuat beban bagi pemerintahan yang dikontrol oleh junta militer. Peperangan yang terus berlanjut membuat pemerintah Junta militer harus menyiapkan  banyak uang, dan berbagai persenjataan untuk menahan kelompok yang terus melakukan demonstrasi. Belum lagi, pemerintah Myanmar pun harus memperbaiki sistem perekonomiannya yang sudah berantakan pasca pandemi dan kudeta. Perekonomian yang berantakan ini terlihat dari GDP (Gross Domestic Product) Myanmar yang menurun hingga 18% pada tahun 2021.Â
Salah satu jalan yang mungkin untuk ditempuh Myanmar saat ini adalah untuk menjalin hubungan bilateral dengan China. Hal itu dikarenakan China merupakan negara yang masih memberikan pengakuan kepada pemerintah junta militer Myanmar meskipun telah melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan kepada para demonstran. China pun telah melakukan berbagai program kerjasama dengan Myanmar yaitu Belt and Road Initiative dan China Myanmar Economic Corridor. Program ini disambut baik oleh pemerintah Myanmar karena dianggap dapat menyelesaikan permasalahan perekonomian yang ada. Namun meskipun sudah disambut baik dengan pemerintahan junta militer Myanmar, program-program kerjasama Myanmar dengan China masih memiliki banyak tantangan dan masalah.
Program yang disepakati merupakan program pada bidang infrastruktur dan energi di mana keberhasilan program ini memerlukan adanya pembangunan yang melewati berbagai daerah di Myanmar. Pasca terjadinya kudeta, program-program pembangunan ini sempat terhenti karena adanya penyerangan terhadap pabrik-pabrik di China dan penolakan dari warga setempat yang merupakan oposisi dari pemerintahan. Meskipun banyak permasalahan dalam lingkup domestik, program yang sudah disepakati ini masih terus diupayakan oleh kedua negara untuk tetap berhasil. Hal ini terjadi karena memang ada kepentingan yang tak terelakkan bagi kedua negara, dari sisi Myanmar sendiri eratnya hubungan dengan China dianggap sebagai kunci untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Tidak hanya sampai disitu saja keeratan hubungan antara Myanmar dengan China. Selain sepakat dalam perjanjian pembangunan infrastruktur, pemerintahan junta militer Myanmar pun melakukan impor senjata kepada China. Hal ini tentu bukan hanya perdagangan yang dapat dianggap biasa, karena dibalik keberhasilan Myanmar dalam bekerjasama dengan China, Myanmar mengalami banyak represi dari negara-negara barat yang masih memberikan sanksi dan enggan untuk melakukan kerjasama yang lebih komprehensif dengan Myanmar. Salah satu hal yang paling ditekankan adalah supaya pemerintah junta militer tidak bisa mendapatkan suplai senjata yang kemudian dapat digunakan untuk melakukan aksi represi terhadap rakyatnya. Melihat fakta ini tentu kondisi Myanmar sekarang merupakan sebuah kesempatan bagi China untuk terus melakukan pendekatan dengan Myanmar.
Impor senjata yang dilakukan Myanmar terhadap China sendiri mencapai angka 267 juta dollar AS. Melalui impor ini pun dapat terlihat arah kebijakan pemerintah junta militer Myanmar yang tidak berusaha untuk memperbaiki hubungannya terhadap negara barat. Dengan mengimpor senjata maka pemerintah junta militer dapat dikatakan tidak ingin agar kekuasaannya terebut kembali oleh kelompok oposisi yang salah satunya adalah NUG, konflik dan krisis kemanusiaan pun akan terus berlanjut hingga ada salah satu pihak yang kalah secara telak. Maka dari itu karena kepentingan dan ambisinya ini pemerintah junta militer tetap berusaha untuk membangun hubungan yang baik dengan China ketimbang dengan AS (Amerika Serikat). Â Tidak ada alasan bagi pemerintah junta militer untuk menolak China, karena China lah yang menyediakan berbagai hal bagi Myanmar dengan kondisi negaranya yang rapuh sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H