Mohon tunggu...
Nicholas Neptuno P.S
Nicholas Neptuno P.S Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA Kanisius

You'll never walk alone

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mampukah Bumi untuk Terus Memenuhi Kebutuhan Hidup Manusia?

8 November 2024   20:50 Diperbarui: 8 November 2024   22:38 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Sebelumnya, cara hidup secara tradisional membuat manusia lebih dekat dengan alam. Sumber daya alam dapat dimanfaatkan dengan secukupnya dan terjaganya keseimbangan ekosistem tanpa adanya eksploitasi berlebih. Di abad ke-21, efisiensi dan kecepatan teknologi telah membuat hidup umat manusia menjadi jauh lebih mudah. Sayangnya, kemajuan yang kita nikmati ini harus dibayar dengan rusaknya kesehatan lingkungan. Maraknya polusi, deforestasi, dan kebiasaan konsumsi berlebihan semakin menjadi pelaku yang merusak bumi. Berdasarkan United Nations Environment Programme (UNEP) mencatat bahwa peningkatan penggunaan sumber daya terus konsisten dalam 50 tahun terakhir, menandakan beban yang semakin berat bagi bumi.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat betapa tingginya limbah yang dihasilkan dari berbagai sektor, misalnya restoran dan supermarket. Setiap hari, produk makanan dan kemasan sekali pakai berakhir menjadi limbah yang sulit terurai oleh lingkungan. Di Indonesia sendiri, limbah makanan merupakan salah satu kontributor terbesar pada jumlah sampah. Dampak lain daripada limbah makanan ini sendiri juga tentunya mencemari lingkungan dan berkontribusi pada gas rumah kaca yang memperburuk perubahan iklim.

Situasi di Indonesia saat ini mencerminkan betapa besarnya tantangan limbah di negara berkembang. Pada tahun 2021 saja, Indonesia menghasilkan lebih dari 67 juta ton sampah, dengan 15% di antaranya adalah sampah plastik. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa jumlah sampah di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 69,9 juta ton. Komposisi sampah, didominasi oleh sisa makanan sebesar 41,60% dan plastik sebanyak 18,71%. Masalah ini juga berkaitan erat dengan sistem pengelolaan sampah yang belum merata dan banyak. Kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah, seperti tempat pembuangan akhir yang memadai dan fasilitas pengolahan sampah, menjadi kendala utama dalam mengatasi masalah limbah dalam skala besar. Tingginya output dari limbah ini sendiri menjadi bukti bahwa tingkat konsumsi manusia semakin lama akan terus meningkat.

Kemajuan teknologi memang mempercepat produktivitas, tetapi sayangnya, kemajuan ini sering mengorbankan lingkungan. Proses produksi barang seperti furnitur, kertas, dan tekstil kerap memicu deforestasi besar-besaran. Berdasarkan artikel yang dipublish oleh Kompas.com, Indonesia menempati peringkat keempat dalam deforestasi terluas di dunia pada 2023, menurut analisis World Resources Institute (WRI) dan University of Maryland berdasarkan citra satelit. Sepanjang 2023, deforestasi di Indonesia mencapai 292.374 hektar, meningkat dari 230.003 hektare pada 2022. WRI mencatat kenaikan kehilangan hutan primer sebesar 27 persen pada tahun ini, yang sebagian besar juga untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumen. Tanpa regulasi yang ketat, laju ini akan terus mempercepat pemanasan global dan memperburuk krisis lingkungan.

"Indonesia, negeri seribu pulau, kini tengah merintih kesakitan. Lautnya yang dulunya jernih kini penuh dengan limbah yang menumpuk, membenamkan terumbu karang. Udara yang dulu segar perlahan berubah menjadi sesak akibat oleh polusi pabrik dan berbagai jenis kendaraan terutama di perkotaan seperti Jakarta. Hutan yang rimbun kini gundul, tidak lagi mampu menjadi rumah bagi satwa. Sungguh menyedihkan melihat keindahan alam Indonesia yang terancam ulah manusia. Limbah yang kita hasilkan setiap hari menjadi mimpi buruk yang menakutkan dan dapat mengancam generasi yang akan datang."

Limbah yang menumpuk tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga berdampak langsung pada kesehatan manusia. Polusi udara akibat emisi industri dan kendaraan meningkatkan risiko penyakit pernapasan. Tanah yang terkontaminasi limbah berbahaya menyebabkan tanaman sulit tumbuh, mengurangi produksi pangan. Di banyak wilayah, air tercemar bahan kimia, menyebabkan penyakit yang berdampak pada kesehatan masyarakat.

Setiap tahun, Indonesia menghasilkan jutaan ton sampah plastik yang akhirnya berakhir di lautan. Diperkirakan 80% sampah laut berasal dari daratan, mengancam ekosistem laut dan menurunkan populasi ikan secara drastis. Masalah ini juga menambah potensi bencana seperti banjir, karena aliran air yang tersumbat sampah akhirnya menggenangi pemukiman warga.

Pada awal abad ke-20, industrialisasi belum terlalu masif, dan sumber daya alam masih melimpah. Namun, saat ini dampak eksploitasi berlebihan semakin terlihat. Menurut data NASA, suhu rata-rata bumi telah meningkat sekitar 2C sejak akhir abad ke-19, sebagian besar akibat aktivitas manusia seperti deforestasi dan penggunaan bahan bakar fosil. Populasi yang terus bertambah membuat kebutuhan akan sumber daya alam meningkat tajam, sementara kemampuan bumi untuk memenuhi permintaan tersebut semakin menipis. Kondisi ini memunculkan krisis lingkungan global. Hal ini tidak lain tidak bukan karena kebutuhan hidup manusia yang terus-menerus muncul.

Bayangkan laut sebagai piring makan raksasa. Setiap hari, restoran, rumah tangga, dan industri makanan terus membuang sisa makanan ke dalamnya, seperti remah-remah roti yang menumpuk di piring. Lama-kelamaan, piring itu akan penuh sesak dan sulit dibersihkan. Hal yang sama terjadi pada laut: limbah makanan dan plastik yang terus menumpuk mencemari perairan, merusak ekosistem laut, dan mengancam kehidupan berbagai makhluk laut. Seperti halnya piring kotor yang sulit dibersihkan, lautan yang tercemar juga akan sulit dipulihkan.

Selama bertahun-tahun, ekonomi kerap diprioritaskan di atas kepentingan lingkungan. Akibatnya, kita kini menghadapi krisis lingkungan yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Pemerintah dan berbagai perusahaan saat ini sepertinya jarang menempatkan menempatkan keberlanjutan lingkungan di atas keuntungan ekonomi. Jika tidak ada perubahan, kita mungkin akan menyaksikan bumi yang semakin tak mampu menopang kehidupan kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun