Memang tidak habis pikir, mengapa dalam sebuah sarana yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, bisa didik oleh kehendak yang egois.
Sepertinya jabatan profesor di Indonesia saat ini, bukan lagi menjadi tanda bahwa orang tersebut benar-benar memiliki intelektual dan spiritualitas yang mendalam ketika bertindak. Melainkan, kesempatan ini hanya dijadikan sebagai sebuah "ajang perlombaan" untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Apa tidak mengecewakan? Ketika seseorang yang sudah "berilmu tinggi" ini, harus dikalahkan oleh sebuah pikiran yang sudah jelas terbayang bentuk risikonya. Lalu, harus siapa lagi yang kita harapkan untuk mewujudkan slogan "Generasi Emas 2045", kalau contoh dari seseorang yang paling pintar dari segi kognitif saja harus tenggelam dalam pasal hukum. Lunturnya identitas profesor, tidak luput dari rendahnya nilai afektif yang mendasar dan tergerusnya integritas sebagai seorang akademisi. Menjadi seorang yang intelek saja tidaklah cukup karena masih punya opsi untuk menjadi orang yang membangun masyarakat atau merugikan masyarakat.
Keresahan ini timbul dari berbagai informasi yang menyatakan bahwa seorang profesor melakukan tindakan melanggar hukum. Informasi ini didapat melalui laman berita yang diterbitkan oleh CNN Indonesia, mengenai kasus Mantan Rektor Universitas Lampung. Kemunculan kasus ini disebabkan karena adanya tindakan korupsi uang dalam konteks penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri. Selain kasus korupsi, ada juga kasus para profesor yang terlibat dalam memanipulasi jurnal akademik untuk meningkatkan reputasi mereka secara tidak sah. Tindakan seperti ini tidak hanya merugikan institusi tempat mereka bekerja tetapi juga merusak sistem penilaian akademik secara umum.
Melalui kasus-kasus ini, dapat dicerna bahwa tindakan korupsi dalam bentuk apapun dan manipulasi jurnal, sedang menggambarkan krisis etika dan moral yang sangat mendalam di dalam lingkup dunia akademik. Integritas dan profesionalisme akademisi seharusnya menjadi pilar kepercayaan bagi masyarakat luas. Akan tetapi melalui tindakan yang kurang beradab ini, lama-kelamaan pilar tersebut akan runtuh. Seharusnya sejak awal, institusi akademik menerapkan sistem pengawasan yang ketat dan transparan agar memperkuat budaya integritas dan kejujuran yang bertujuan untuk mencegah terulangnya kasus yang sama terus menerus. Pemicu utama dari tindakan ini pasti selalu kembali kepada ke kebiasaan sejak lama yang terus dibiasakan sehingga sampai kepada titik dianggap sebagai hal yang biasa.
Fenomena ini seperti hewan-hewan di hutan yang bersaing untuk mendapatkan posisi sebagai raja dalam kelompok/wilayah mereka. Tentunya hanya hewan yang memiliki keahlian spesial, keberanian, dan integritas yang layak memimpin. Namun, apa jadinya jika gelar raja tersebut diberikan kepada orang yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut? Hal tersebut pastinya akan berakibat fatal pada ketertiban hutan dan kehilangan kepercayaan oleh banyak pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H