I do not want my house to be walled in on all sides and my windows to be stuffed.
I want the cultures of all the lands to be blown about my house as freely as possible.
But I refuse to be blown off my feet by any. (Mahatma Gandhi)
Hari itu siswa Kanisius berkumpul bersama layaknya siswa sekolah biasa, namun pagi itu berbeda. Anak-anak muda dengan latar belakang berbeda berangkat menuju Banten, Â mengawali aktivitas pertama hari itu. Perjalanan memakan waktu kira-kira 2.5 jam lamanya yang tidak terasa selama itu karena sebagian besar dari kami menyibukkan diri dengan tidur.
Sesampainya di halaman pondok Pesantren Al-Falah, tampak cukup jelas perbedaan antara siswa kanisius dengan para santri, baik dari segi pakaian, kebiasaan, hingga keyakinan. Namun, dalam senyum yang tulus dan salam yang hangat, tembok perbedaan dan kekhawatiran yang sebelumnya ada mulai perlahan runtuh.
Kami dipandu untuk mengenal lingkungan pesantren, dari musala, kobong (asrama santri), hingga dapur sederhana tempat mereka memasak bersama. Kobong, yang menjadi tempat tinggal santri, jauh dari fasilitas mewah. Tidak ada kasur atau lemari pribadi, hanya tikar sederhana sebagai alas tidur. Meski demikian, para santri terlihat bahagia, bahkan bersemangat berbagi cerita.
Kesederhanaan menjadi pemandangan utama di pesantren ini.Â
Para santri berbagi segala yang mereka miliki, mulai dari tempat tidur, makanan, hingga cerita kehidupan. Pemandangan yang paling membekas adalah saat makan bersama. Nasi, sayur sederhana, dan lauk seadanya dihidangkan dengan kehangatan yang sulit dilupakan. "Kita makan yang ada saja, Mas. Yang penting bareng-bareng," kata seorang santri dengan senyum kecilnya. Kalimat itu menggugah saya. Mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan berasal dari kelimpahan, tetapi dari rasa syukur dan kebersamaan.
Membangun Jembatan Persahabatan Melalui Berdialog
Ekskursi ini mengingatkan kami bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekuatan. Dalam suasana di pesantren, kami belajar bahwa perbedaan budaya dan keyakinan dapat dirajut menjadi harmoni.
Sebagai bangsa yang berdiri di atas ribuan pulau dengan ratusan bahasa dan suku, Indonesia adalah contoh nyata bahwa keberagaman adalah bagian tak terpisahkan dari identitas nasional. Namun, menjaga keberagaman ini membutuhkan kesadaran kolektif. Seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, "If you speak to a man in a language he understands, that goes to the head. If you talk to him in his language, that goes to the heart". Ekskursi seperti ini adalah bentuk pembebasan dari sekat-sekat prasangka yang mungkin tanpa sadar melekat dalam diri kami.
Para santri Al-Falah, misalnya, tidak hanya mengajarkan kami tentang Islam melalui hadis atau doa, tetapi juga tentang nilai-nilai universal, seperti kasih sayang, keadilan, dan pentingnya berbagi. Pelajaran ini melampaui batas agama dan menjadi pesan kemanusiaan yang dapat diterima oleh siapa saja.Sama halnya dengan para Kanisian yang membagikan sebagian dari cerita yang mereka punya ketika ditanya oleh para santri yang penasaran.
Keesokannya, kami mengikuti kegiatan di SMK yang berada di bawah naungan pesantren. Interaksi dengan siswa-siswi di sana terasa begitu hangat. Mereka, yang awalnya tampak canggung, ternyata sangat ramah dan antusias. Percakapan tentang keseharian, mimpi, dan harapan mengalir tanpa hambatan. Beberapa dari mereka juga sempat tinggal daerah cukup dekat dari Jakarta yaitu di Tangerang. Salah satu guru yang kami temui, Ms. Ida, mengajarkan kami pentingnya kerja keras dan keikhlasan dalam mendidik. "Tidak ada yang lebih indah selain melihat siswa kita berhasil," ucapnya. Guru-guru di sana juga tak membedakan kami dari siswa lainnya, membuat kami merasa diterima sepenuhnya. Hari itu ditutup dengan makan bersama diatas daun pisang bersama-sama juga dengan para santri membuat pengalaman kebersamaan menjadi sangat terasa.
Menemukan Harmoni di Tengah Perbedaan
Ekskursi ini bukan sekadar perjalanan, melainkan pengalaman transformasi. Dalam tiga hari, kami belajar melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Pesantren Al-Falah mengajarkan kami bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekuatan. Seperti kata Nelson Mandela, "If you speak to a man in a language he understands, that goes to the head. If you talk to him in his language, that goes to the heart."
Melalui interaksi ini, sekat-sekat prasangka yang tanpa sadar mungkin melekat pada diri kami perlahan terkikis. Perjumpaan ini mengajarkan bahwa toleransi adalah tentang membangun dialog, bukan tentang menyeragamkan perbedaan. Ini adalah cerminan dari miniatur Indonesia---bangsa yang berdiri di atas keberagaman suku, agama, dan budaya.
Sebagai generasi muda, kami memiliki tanggung jawab besar untuk melanjutkan warisan ini. Dalam dunia yang semakin terhubung, toleransi menjadi kebutuhan yang mendesak. Teknologi mungkin telah mendekatkan kita secara fisik, tetapi tanpa pemahaman dan rasa hormat, kedekatan itu hanya sebatas layar.
Pesantren Al-Falah, dengan segala kesederhanaannya, telah menjadi guru yang mengajarkan harmoni. Kesadaran bahwa setiap perbedaan adalah peluang untuk belajar dan berkembang adalah pelajaran yang tidak akan kami lupakan. Ekskursi ini, lebih dari sekadar perjalanan, adalah langkah kecil menuju masa depan yang lebih inklusif dan penuh toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!