Mohon tunggu...
Ninna Rosmina
Ninna Rosmina Mohon Tunggu... -

nulis nulis nulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

5 Elemen-Bab 1-Dipa

19 Juni 2012   11:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dipa menahan nafasnya. Dia paling sebel kalau sedang jalan-jalan keluar kota tapi kebelet pipis kayak gini. Memang dia anak laki-laki, tapi sejak kecil dia sudah dididik dengan keras oleh ayahnya tentang aturan membuang hajat. Tidak boleh berdiri dan tidak boleh pipis sembarangan di pinggir jalan, di semak-semak, terlebih lagi di tempat yang terbuka. (Yang terakhir tidak usah dipertanyakan lagi.)

Walaupun sebenarnya pada kenyataannya, ketika sedang tidak bersama ayah, dia seringkali pipis berdiri malah terkadang di tembok rumah orang yang sedang dia lewati.

“Dipaaaa…, jangan lama-lama! Ayah juga mau kencing!”

Dipa manyun, kenapa dia mau saja ikut sama ayahnya ke acara keluarga yang diadakan di Surabaya. Shifa juga membelot. Padahal gadis itu tahu sekali kalau dia paling anti pergi-pergi keluar kota bersama ayahnya.

“Ayolah, Dip, acara ini kan, hanya diadakan lima tahun sekali. Dan kamu akan bertemu dengan ibu kamu di sana. Lagipula acaranya sekalian piknik menyeberangi jembatan Suramadu. Aku sudah tidak sabar ingin melihat luasnya lautan yang terbentang di hadapanku begitu aku menyeberanginya.”

Dipa memang tahu sekali kesukaan Shifa, sepupu sekaligus sahabatnya sejak kecil, yang berumur lebih tua tiga tahun dari dirinya ini. Shifa suka sekali pergi ke pantai, pergi ke kolam renang, pergi ke empang, pergi ke kali, pokoknya pergi kemana saja selama ada airnya sehingga sahabatnya itu bisa menyalurkan hobinya yang kelewat maniak, berenang.

“Iya, asal kamu nggak tiba-tiba ngotot aja minta mobil dibrentiin terus kamu terjun bebas ke laut.” Jawab Dipa saat itu.

Shifa nyengir mendengar celetukan Dipa. Melihat cengiran itu, Dipa langsung dihantui firasat tidak enak.

“Shi, jangan coba-coba!”

“Aduh, Dipa, jangan merusak kesenangan orang lain, dong!”

“Aku akan bilang sama ayah kalau kamu nggak usah diajak aja!”

Dan akhirnya, sudah sembilan jam perjalanan dia tempuh bersama ayah dan sepupunya dengan mengendarai TLC berwarna coklat keemasan. Dan sudah lima kali pula dia minta berhenti sama ayahnya ketika lewat di depan masjid ataupun pom bensin.

“DIPAAAA, KAMU DENGAR AYAH TIDAK, SIH? APA KAMU MAU AYAH KENCING DI CELANA?!”


***

Mata Dipa menerawang, memandangi pemandangan gelap di luar jendela mobil. Dipa tidak takut pada kegelapan dan dia memang bisa dibilang anak yang tidak takut apa-apa, kecuali ayahnya. Sementara itu di sebelahnya, Shifa sudah terlelap tidur dengan earphone yang masih menempel di telinganya memperdengarkan soundtrack dari film Transformer.

“Ayah, mau gantian nggak?” tanya Dipa sambil pindah ke jok depan di samping ayahnya.

Ayah menoleh sekilas, “Lho, kamu tidak tidur?”

“Nggak ngantuk.”

“Tumben, biasanya kamu yang paling pelor. Ada apa, nih?”

“Hawanya nggak enak.” Jawab Dipa pelan sambil membuka-buka CD album.

Ayah terkejut mendengar jawaban Dipa, “Hawanya nggak enak katamu?” tanya ayah serius. Nada suaranya berubah khawatir. Tidak pernah Dipa berkata seperti ini. Bisa dibilang, Dipa merupakan anak yang rada cuek dan tidak sensitive.

Dipa mengangguk ringan, “Mana, sih, CDnya… perasaan sudah dimasukin sebelum berangkat.”

“Sejak kapan kamu merasa hawanya tidak enak?” tanya ayah lagi.

Kali ini Dipa menoleh memandang ayahnya agak heran, “Sejaaakk… kita berangkat sebenarnya sih. Tapi mungkin itu karena aku males pergi. Tapi semakin kuat sejak terakhir kali kita berhenti. Tapi itu juga mungkin hanya perasaanku aja, Yah, soalnya kamar mandinya bau sekali. Bahkan ketika aku sudah masuk ke dalam mobil pun aku masih mencium bau yang sama. Bau amoniak yang sangat tajam.”

“Amoniak katamu?” Dipa mengangguk, “Apakah sekarang masih tercium?”

“Tentu aja nggak, Yah. Kalau masih tercium berarti kan parah banget tuh kamar mandi!” Cengir Dipa merasa lucu mendengar pertanyaan ayahnya.

Tapi Dipa bertambah heran begitu melihat wajah ayahnya yang masih belum berubah, malah bertambah khawatir, bahkan bulir-bulir keringat menetes membasahi keningnya.

Tiba-tiba saja ayah menambah kecepatan mobil. Dipa terhenyak di joknya, dan dia baru sadar kalau dia belum memakai sabuk pengaman. Buru-buru dia mengenakannya.

“Ayah, ada apa?” tanya Dipa khawatir. Baru kali ini dia melihat reaksi ayahnya yang seperti itu. Biasanya ayah selalu tenang dalam menghadapi masalah. Dan kali ini dia sama sekali tidak mengerti mengapa hawa yang tidak enak dan bau amoniak bisa membuat ayahnya ketakutan seperti itu.

Ayah tidak menjawab. Dia tetap waspada mengendarai mobilnya. Sementara itu, karena merasa pergerakan mobil yang tiba-tiba, Shifa pun terbangun.

“Dipa, apa kamu mau ke kamar mandi lagi?” tanya Shifa mengucek matanya.

Tapi Dipa tidak menjawab. Tidak ada yang menjawab. Shifa merasa heran sekali. Mungkin karena insting, Shifa langsung memandang ke jendela belakang. Kosong. Tidak ada satu pun lampu mobil yang bergerak di belakang mobil ini. Biasanya dia akan merasa biasa aja, tapi entah mengapa kali ini, dia merasakan sesuatu yang menakutkan sedang berlari mengejar mereka di belakang.

“Om Dafa…,” gumam Shifa bergetar.

Kali ini, Om Dafa, ayah Dipa, menyahut, “Tenang aja, Shi, mereka masih jauh.”

Mendengar jawaban dari Om Dafa, membuat Shifa merasa agak sedikit lebih tenang.
Buru-buru dia membenarkan posisi duduknya dan mulai mengatur nafas untuk berkonsentrasi.

Kali ini giliran Dipa yang keheranan. Sepertinya ada yang diketahui oleh ayahnya dan Shifa tapi tidak diketahui olehnya.

“Siapa yang masih jauh, Yah?” tuntut Dipa.

Ayah menoleh sekilas, “Tidak usah khawatir, Ayah tidak akan menyerahkan kalian berdua pada siapapun. Dipa, sekarang kamu lakukan seperti yang Shifa lakukan. Kalian sering melatihnya bersama, kan?”

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Dipa tanyakan, tapi sepertinya keadaan sedang mendesak. Maka dia mulai melakukan seperti yang selama ini sering dilatih dirinya bersama dengan Shifa setiap Sabtu dan Minggu pagi.

Dipa mengepalkan jemarinya dengan ibu jari berada di dalam. Kemudian dia mulai menarik nafas dan menahannya selama beberapa saat. Dia mulai berkonsentrasi mencari frekuensi yang sama dengan Shifa. Butuh beberapa kali tarikan nafas sampai Dipa berhasil terhubung dengan Shifa. Dan saat itulah pikirannya langsung jernih dan merasa tenang. Dan dia juga bisa melihat ketiga bayangan itu.

Dipa membuka matanya dan langsung memandang ayahnya dengan tak percaya.

“Mereka itu apa, Yah?”

Tapi ayah tidak menjawab. Begitu tahu kalau Dipa bisa melihat mereka dengan jelas, itu pertanda bahaya sudah semakin dekat dan dia harus segera melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mereka semua.

“Om Dafa!!” pekik Shifa membuat Dipa terkejut.

Mengerti apa yang dimaksudkan oleh Shifa, Om Dafa semakin mempercepat laju mobilnya. Dipa masih tidak mengerti, dia menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi.

Awalnya dia hanya melihat kegelapan di belakang mobil. Namun perlahan-lahan, ada dua buah sinar lampu yang melaju mendekat dengan kecepatan yang mengejutkan. Dan saat itulah dia bisa mencium bau itu lagi, bahkan kali ini terasa lebih tajam dan membuat pusing.

“Shifa, apa mereka mengejar kita?” tanya Dipa berusaha menahan rasa mualnya.

Shifa tidak menjawab, dia hanya memandang Dipa dengan tajam dan tiba-tiba saja air mata menetes dari matanya.

Dipa terkejut melihat air mata Shifa. Shifa jarang menangis, baginya menangis merupakan pemborosan air yang ada di tubuh kita. Entah dia dapat teori darimana. Bagi Shifa semua air yang ada di tubuh kita harus dimanfaatkan dengan baik. Dan entah apa maksudnya. Shifa memang terkadang agak aneh.

Dipa meraih tangan Shifa, namun tiba-tiba mobil berguncang dengan sangat hebat. Shifa menjerit keras sambil menempelkan kedua tangannya di telinganya. Dipa kaget, matanya langsung nyalang menerobos kegelapan malam di belakangnya. Biasanya dia tidak akan bisa memandang apapun dengan mata telanjang dalam keadaan biasa. Tapi kali ini, seolah sedang memakai teleskop super, dia bisa melihat sejernih ketika dia melihat pada siang hari.

Mobil itu sudah semakin mendekat. Hanya satu buah mobil Hummer bercat hitam. Dan anehnya lagi, Dipa bisa melihat jumlah manusia yang berada di dalam mobil tersebut.

“Mereka menyeramkan sekali, Yah!” gumam Dipa.

“Ooom…,” rengek Shifa.

“Shifa, lakukan saja seperti yang biasa kamu latih. Dan apakah kamu bisa… mendatangkan kabut untuk menghalangi mereka?” ucap ayah tanpa sedetikpun berpaling dari kaca depan.

Dipa keheranan mendengar permintaan ayahnya pada Shifa. Mendatangkan kabut? Kabut itu kan salah satu fenomena alam dimana uap air yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban menjadi 100 %. Jadi, bagaimana caranya Shifa bisa membuat hal itu terjadi?

“Akan aku usahakan, Om,” jawab Shifa mulai mengatur nafasnya kembali.

Dipa melongo, ternyata sepupunya ini malah menanggapi serius permintaan ayahnya.

“Lalu… apa yang harus aku lakukan, Yah?” tanya Dipa penasaran.

Mobil bergetar kembali tapi kali ini disertai dengan hawa dingin dan bau yang menusuk hidung. Dipa menutup hidungnya. Baru kali ini dia begitu sensitive dengan bau-bauan. Dan itu lagi-lagi membuatnya merasa mual-mual.

“Kamu… bisa menyelamatkan kita dari situasi ini dengan mencarikan tempat yang aman dari jangkauan mereka.”

Lagi-lagi Dipa melongo. Aku menyelamatkan mereka? Bagaimana caranya?

“Lakukan saja! Kamu bisa melakukannya. Kamu adalah penguasa elemen tanah. Kamulah yang paling bisa menemukan tempat paling aman di dunia ini!” Teriak ayah ketika mobil di belakang sudah menyundul bemper mobil yang mereka tumpangi.

Apa? Apa yang baru saja ayah ucapkan? Penguasa elemen tanah? Apa ayah sudah gila?

“Dipa, ikuti aku! Kamu akan mengerti,” ucap Shifa akhirnya dan entah mengapa, Dipa bisa melihat kalau dari sekujur tubuh Shifa keluar aura berwarna biru yang sangat terang dan dia baru saja mengetahui kalau di luar terlihat gelap sekali karena ditutupi oleh kabut putih yang sangat tebal.

“Apa… apa yang terjadi?” gumam Dipa terpesona sekaligus merasa ngeri dengan apa yang dilihatnya.

BRAKK!

Kali ini bemper mobil ditabrak oleh Hummer hitam tersebut. Agak membuat Dipa terjengkang ke depan. Dipa berpegangan pada pintu, kemudian dia memandang ayahnya yang masih fokus memandang ke depan. Entah bagaimana caranya ayah bisa melihat dalam kondisi berkabut seperti ini tanpa menabrak apapun. Dipa beralih kepada Shifa yang masih terus memejamkan matanya dengan kedua tangan terkepal di depan lututnya. Dia bisa melihat bulir keringat mengalir di kening Shifa. Dipa tahu kalau tabrakan tadi pasti sempat membuyarkan konsentrasi Shifa karena kabut sempat menipis selama beberapa saat.

Kemudian lambat laun Dipa bisa merasakan aura ketiga orang yang mengikuti mereka perlahan menjauh. Namun dalam jarak seperti ini pun, dia masih bisa merasakan hawa menakutkan ketiga manusia tersebut. Itu juga kalau mereka memang manusia. Sampai lama, tidak terjadi apa-apa. Namun ayah masih terus melaju kecepatan mobilnya. Sampai akhirnya, Dipa bisa melihat keadaan sekelilingnya. Dipa menoleh kebelakang dan dia bisa melihat kabut tersebut masih berada di belakangnya.

Luar biasa! Kabut tersebut berhasil menahan mobil tersebut! Batin Dipa sambil memandang Shifa dengan takjub. Dia tidak tahu kalau sepupunya mampu melakukan itu. Selama ini dia pikir kalau dia memiliki sepupu paling aneh sedunia yang gemar sekali nyemplung di manapun yang ada airnya. Shifa pasti penguasa elemen air.

“Dipa, bagaimana… apa sudah kamu temukan tempat kita bisa bersembunyi untuk sementara?” teriak ayah membuyarkan lamunan Dipa.

Dipa tidak tahu harus menjawab apa. Terus terang dia sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara menemukan tempat persembunyian yang aman karena daerah ini sama sekali asing baginya.

“Belum… belum, Yah!” gumam Dipa memberanikan diri.

“Lalu apa yang kamu tunggu? Konsentrasikan pikiranmu dengan alam di sekitar sini. Shifa tidak akan bisa menahan mereka selamanya!”

Dipa kebingungan. Dia kembali menoleh ke belakang dan melihat kalau sepupunya, Shifa, masih saja memejamkan matanya. Ayah benar, Shifa tidak bisa terus menahan mereka. Dia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Selama ini yang dia pelajari bersama Shifa hanya bagaimana untuk mengatur nafas mereka dan mengembangkan “chi” yang ada di dasar perutnya. Tapi selama latihan pun, Dipa tidak pernah menganggapnya serius, dia selalu main-main ketika latihan. Malahan seringkali dia mengganggu Shifa yang sedang serius mengelola “chi”nya. Tapi kali ini, dia tidak bisa main-main lagi. Dia merasakan sendiri betapa kuatnya aura membunuh dari dalam Hummer hitam tersebut.

Dipa kembali menarik nafasnya dan menahannya dalam beberapa hitungan. Dia mengulangi untuk yang kedua kalinya, ketiga kalinya. Dan pada saat kelima kalinya, dirinya sempat tersentak begitu ada sesuatu yang menyentuh mata batinnya. Pada kelima kalinya, dia bisa mendengar suara-suara.

“Sudah malam-sudah malam, saatnya cari makanan,”

“Di sini… di sini…,”

“Manusia kurang ajar sudah menghancurkan rumahku!”

“Di sini… di sini, Manusia kecil…,”

Dipa langsung diserang sakit kepala yang amat sangat, seolah-olah ratusan suara itu merupakan hujan peluru yang menyerang otaknya. Dipa memaksakan diri untuk menarik nafasnya kembali. Dan ajaibnya sakit kepalanya mulai berkurang, dan perlahan-lahan, dia bisa membedakan makhluk-makhluk yang mengeluarkan suara-suara tersebut.

Akhirnya pada ketujuh kalinya, mata batinnya sudah terbuka semua. Dipa terpana. Walaupun matahari sudah terbenam di peraduannya, walaupun rembulan sedang malas menampakkan sinarnya, dan bintang-bintang terhalang oleh awan-awan yang menggumpal, namun saat ini dia merasa sedang berdiri di tengah hamparan padang rumput yang terang benderang dimana dia bisa melihat segala sesuatunya. Dan suara-suara itu tidak lagi terlalu mengganggunya, karena dia menemukan satu suara yang merupakan jawaban atas kondisinya saat ini.

Tepat pada saat itulah, ada sebuah cahaya berwarna merah yang tiba-tiba meluncur dan menghantam belakang mobilnya kembali. Mobil sempat oleng ke kanan dan ke kiri. Shifa pun terbanting menghantam pintu membuat keningnya berdarah.

Saat itulah kabut di belakang mereka menghilang, dan Dipa bisa melihat kembali sorotan lampu Hummer hitam tersebut yang melaju dengan kecepatan penuh.

“Shifa, kamu tak apa-apa?” tanya Ayah khawatir, melihat melalui kaca spion.

Shifa menggelengkan kepalanya, “Maaf, Om, aku tidak cukup lama menahan mereka.”

“Itu tidak masalah, dengan bantuanmu, kita sudah bisa berlari sejauh ini. Dengan jarak sejauh ini, mereka tidak akan bisa menyusul kita.”

BUMM!

Mobil kembali diserang dengan sinar merah tersebut.

“Sial! Ada penguasa api di antara mereka!” gumam Ayah, sekuat tenaga berusaha menahan kemudi agar tidak oleng.

Shifa berusaha untuk mengobati dirinya sendiri. Dia mengambil sebotol air mineral dan menyiramkannya ke atas lukanya. Shifa menarik nafasnya kembali dan menahannya selama beberapa saat.

BUMM! BUMM!

Ayah memutar mobilnya untuk menghindari serangan api. Beberapa kali api tersebut mengenai bagian belakang mobil, bahkan melesat melewati mobil dan meledak di depan. Sehingga seringkali ayah harus melakukan maneuver yang membuat mobil bergerak secara zig-zag. Api pun langsung membakar hutan di sekeliling mereka. Melihat kebakaran yang semakin membesar, entah bagaimana, ada sebuah tenaga yang menggerakan Shifa. Shifa langsung memposisikan tubuhnya kembali. Dia duduk tegak dan mengepalkan kedua jemarinya di depan lutut. Seolah tahu apa yang harus dilakukannya, Shifa menarik nafasnya, dan menekannya di dasar perutnya. Kemudian dia memejamkan mata dan memusatkan fikiran untuk memanggil satu-satunya alat yang bisa memadamkan kebakaran hutan seperti ini, awan Cumulo nimbus yang gemuk-gemuk karena berisi banyaknya tetesan air hujan.

Jauh di atas sana, seolah digerakkan oleh tangan yang tak kasat mata, gumbalan awan raksasa dengan panjang puluhan kilometer, berarak ke lokasi kebakaran. Petir menyambar-nyambar disertai dengan suara geledek yang memekakkan telinga.

Penyerangan sempat terhenti. Ketiga manusia itu pun sempat tidak percaya dengan mata mereka sendiri. Info yang mereka terima ternyata sangat meleset. Buruan mereka ternyata tidak selemah yang diberitakan. Mereka menyesal karena hanya menyertakan satu orang penguasa api kelas rendah sebagai penyerang jarak jauh.

Setelah berada dalam posisi yang tepat, seolah ditumpahkan dari ember raksasa, air pun membasahi hutan dan memadamkan api dalam waktu singkat. Tahu kalau bahaya masih mendekat, Shifa mengarahkan salah satu awan ke arah Hummer tersebut.

“Petir!” pekik Shifa berkonsentrasi penuh memandang obyek yang dituju.

Petir pun menyambar-nyambar dan sempat membuat Hummer tersebut oleng.

“Kerja bagus, Fa!” puji ayah tulus tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya.

Shifa tersenyum. Dan dia pun memanggil awan semakin banyak dan mengarahkannya pada Hummer pemburu mereka. Akhirnya mereka pun tertinggal terlalu jauh karena terlalu sibuk untuk mengurus petir-petir kecil yang memekakkan telinga dan memecahkan kaca mobil serta membocorkan empat buah ban mobil.

Namun ayah belum melambatkan laju mobilnya. Dipa bisa memahami itu, karena sejauh ini pun hawa menyeramkan itu masih terasa. Itu berarti para pemburu itu pun bisa merasakan mereka juga.

“Ayah, seratus meter di depan, belok ke kanan.” Ucap Dipa yang baru kali ini mengeluarkan suaranya.

Tanpa bertanya, ayah menuruti semua petunjuk Dipa. Melewati jalan yang semakin menyempit dan pepohonan yang semakin lebat. suara-suara hewan malam pun semakin terdengar jelas, burung kakak tua, jangkrik, kelelawar, dan serangga kecil lainnya. Mereka bertiga pun akhirnya sampai di sebuah tepi hutan.

“Apakah disini tempatnya?” Tanya ayah menginjak remnya.

Dipa terdiam sesaat untuk mendengarkan suara-suara yang sedari tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, disini. Mereka bilang, area disini terlalu tertutup oleh lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu itu tidak akan bisa merasakan kita disini.”

Ayah tersenyum. Setelah memarkirkan mobil, ayah merebahkan kepalanya sebentar. Dia pun memejamkan matanya. Mata tuanya ini sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi. Sehingga hal itu membuatnya cukup kelelahan. Shifa pun sama lelahnya seperti ayah. Serasa baru saja pulang dari perang yang sangat melelahkan.

“Dipa, bisa carikan kami makanan?” pinta ayah dengan mata yang masih tertutup.

Dipa tidak menjawab. Setelah diminta untuk mencari tempat persembunyian teraman untuk sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut kalau diminta untuk mencarikan makanan juga di tengah hutan seperti ini.

Dipa pun keluar dari dalam mobil. Kakinya berpijak di atas tanah. Dan saat itu jugalah, Dipa bisa merasakan tekanan yang sangat kuat dari tanah yang dipijaknya. Badannya bergoyang, tapi dia segera mengimbangi badannya lagi. Setelah itu, barulah dia bisa merasakan hubungan spesial antara dirinya dan tanah yang baru saja diinjaknya.

“Akhirnya kau datang juga, Manusia kecil.”

Dipa terkejut. Bukan karena baru mendengar suara itu, tapi dia merasa kalau suara itu seolah sedang berdiri di sampingnya. Dia berusaha untuk bereaksi senormal mungkin. “Terima kasih. Mohon bimbingannya.”

Sudah lumayan jauh Dipa melangkahkan kakinya memasuki hutan. Sebenarnya Dipa tidak menginginkannya, tapi kakinya berjalan sendiri tanpa bisa dia cegah. Dia sendiri merasa kalau hutan ini sudah tidak asing bagi dirinya. Sepertinya dia pernah berada di hutan ini, tapi sekuat apapun dia berusaha mengingatnya, jawabannya tidak pernah ketemu.

Akhirnya tiba di jantung hutan tersebut yang merupakan sebuah pohon beringin raksasa dengan tinggi mencapai ratusan meter, diameter batang pohon yang mencapai sepuluh meter, dengan bonggol-bonggol akar yang mencuat di permukaan tanah. Dipa yakin, kalau ditemukan oleh orang yang percaya hal-hal mistik, pasti pohon ini sudah penuh dengan sesajen. Tapi sejauh mata memandang, di sekitar pohon ini masih bersih dari sampah-sampah dunia luar. Dipa pun bisa merasakan udara murni yang berada di sekitar pohon ini. Walaupun sekilas terlihat menyeramkan, entah mengapa berada di bawah pohon ini dia merasa sangat tenang. Pikirannya pun semakin jernih seiring dengan banyaknya udara murni yang masuk ke dalam paru-parunya.

“Seorang anak laki-laki…,”

Dipa yakin sekali kalau suara yang sedari tadi dia dengar adalah dari pohon ini dan ternyata dugaannya memang tidak salah.

“Luar biasa…, selama berabad-abad masa hidupku baru kali ini terlahir anak laki-laki sebagai pewaris elemen tanah…,”

Pohon ini bicara pada dirinya sendiri. Wajar saja, dia yang paling besar dan tinggi di hutan ini. Dipa menengadah dan melihat daun-daun itu bergerak. Entah apakah bergerak sendiri ataukah karena tiupan angin. Namun kemudian, dia menyadari kalau pohon ini tidaklah sendiri. Pohon ini mungkin saja yang paling tua dan besar, namun seperti halnya seorang pemimpin yang memerlukan wakil, pohon ini pun memilikinya. Mereka semua berjumlah lima pohon. Dan pohon-pohon itu sedang mengelilinginya seolah sedang menilai dirinya.

“Manusia kecil, apa tujuanmu datang kemari?” tanya pohon jati emas yang tepat berada di sebelah kanan pohon tetua.

Mata Dipa tidak mungkin salah. Ini memang pohon jati emas dan entah mengapa, Dipa bisa merasakan urat-urat kayu yang sudah begitu tua namun justru ketuaannya itu menambah keindahan dan kekuatannya. Dan Dipa yakin, para kolektor furniture tua, rela membayar dan melakukan apapun demi mendapatkan kursi dari pohon ini.

“Kami bermaksud mengunjungi keluarga kami yang berada di Surabaya. Namun entah dengan tujuan apa, ada tiga manusia yang mengejar kami dan ingin mencelakakan kami. Oleh karena itulah aku membawa ayah dan sepupuku kemari untuk berlindung sementara sampai matahari terbit.” Jelas Dipa dibuat sesopan mungkin. Dia tidak berani menginggung kelima pohon raksasa tersebut.

Kemudian kelima pohon tersebut kembali saling bergumam. Dipa tidak bisa memahami apa yang sedang mereka perbincangkan. Tapi Dipa merasa sepertinya ada salah satu diantara pohon-pohon ini yang tidak suka akan kehadiran dirinya. Pohon itu tepat berada di belakang tubuhnya. Sepertinya mereka bertengkar dan agak sedikit terjadi perpecahan. Entah mengapa, walaupun mereka hanya pohon, kekuatan mereka sanggup membuat kepala Dipa serasa hendak pecah. Walaupun mereka hanya pohon yang tidak bisa bergerak dan berpindah tempat, kekuatan mereka sanggup menggerakkan kehidupan yang berada di sekitar mereka dalam radius ratusan kilometer. Dipa bisa merasakan itu semua.

Tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang dan angin tersebut menghantam tubuh Dipa sampai terjatuh. Kemudian salah satu dahan dari pohon Eek yang terletak di belakangnya menggerakkan salah satu dahannya dan mengangkat tubuhnya.

“Manusia ini tidak sama dengan pewaris-pewaris lainnya. Dia anak laki-laki! Anak laki-laki tidak memiliki perasaan lembut seperti halnya seorang ibu. Sedangkan perasaan lembut sangat dibutuhkan bagi bumi pertiwi ini. Pohon-pohon tidak akan bisa tumbuh dengan baik kalau ditangani oleh tangan kasar seorang anak laki-laki yang masih hijau dan emosional. Kita tidak bisa memprosesnya lebih lanjut! Kita harus menunggu pewaris lainnya!” Ucap Eek dengan lantang sementara Dipa harus menahan sakit tubuhnya karena dililit oleh dahan pohon tersebut dengan posisi kepala di bawah.

“Tetapi seperti yang kita semua ketahui, tidak seperti elemen lainnya, pewaris elemen tanah hanya muncul dalam waktu seratus tahun. Kalaupun terlahir dengan kemampuan tersebut, kemampuannya tidak akan sebesar yang seharusnya.” Bantah Jati emas.

“Dan anak ini merupakan keturunan ketiga dari pewaris elemen tanah sebelumnya. Ibu anak ini pun memiliki kemampuan tersebut, hanya tidak sebesar yang kita harapkan.” Kali ini pohon beringin yang lebih kecil yang berdiri di sebelah kiri pohon tetua angkat bicara.

Ibu? Ibu juga memiliki kemampuan sepertiku? Berarti aku mewarisinya dari beliau? Batin Dipa merasa sangat tertarik begitu pohon-pohon ini membicarakan wanita yang melahirkan dirinya namun hampir seumur hidupnya tidak dikenal olehnya.

“Benar, kemampuanmu berasal dari garis ibu. Dan seharusnya memang hanya diwariskan ke anak perempuan yang berikutnya. Tapi ternyata ibumu hanya bisa melahirkan anak laki-laki. Ibumu pasti kecewa, sehingga beliau meninggalkan dirimu dan menyerahkannya pada ayahmu, karena mengira kau lebih mewarisi kemampuan ayahmu dari pada dirinya.” Kali ini pohon tetua berbicara pada dirinya.

“Ya, dan karena merasa merupakan tanggung jawabnya untuk melahirkan pewaris elemen tanah yang berikutnya, ibumu menikah lagi dengan laki-laki lain. Dia memang melahirkan anak perempuan, namun ternyata anak perempuan itu tidak memiliki kemampuan apapun.” Tambah pohon beringin yang kedua.

“Dan sepertinya begitu menerima khabar dari ayahmu kalau kau mewarisi elemen tanah, ibumu meminta untuk bertemu dengan denganmu. Karena ibumu memiliki sesuatu yang harus diberikannya padamu berkaitan dengan kekuatanmu itu.” Tambah Jati emas juga.

Dipa tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ibu menikah lagi dengan laki-laki lain hanya karena dia melahirkan anak laki-laki dan berpikir kalau dia tidak mewarisi kemampuan dari dirinya? Lalu kenapa ayah menerimanya begitu saja? Kenapa ayah tidak marah padanya? Kenapa ayah masih mau mempertemukan aku dengan wanita yang sudah mengkhianati dirinya hanya karena masalah waris mewaris seperti ini? Memikirkan hal itu, Dipa merasa sangat marah.

Tiba-tiba Dipa mendengar gelak tawa dari Eek yang sedang menggantung dirinya.

“Apa yang sudah aku bilang, anak laki-laki lebih emosional. Sekarang di dalam hatinya tumbuh rasa marah dan dendam yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pewaris elemen tanah. Mau jadi apa bumi ini kalau penguasanya seorang yang pemarah dan pendendam?”

Mendengar sindiran dari sang Eek raksasa, Dipa bertambah marah. Lagipula memangnya apa pedulinya dia untuk mewarisi elemen-elemen tidak penting ini yang sampai beberapa saat yang lalu tidak dia ketahui sama sekali? Apa pedulinya dia pada bumi ini? Toh kalau memang harus rusak, apa yang bisa dia lakukan? Yang merusaknya bukan dirinya. Tapi manusia-manusia lainnya. Apa urusannya dengan dirinya?

“Kita tidak bisa memprosesnya lebih lanjut. Anak ini tidak memenuhi syaratnya.” Tegas Eek raksasa itu sekali lagi.

Kali ini tidak ada yang membantah. Sepertinya begitu membaca apa yang dipikirkan oleh Dipa, pohon-pohon tetua yang lainpun sepakat bahwa belum saatnya mereka membuka semua rahasia alam ini pada pewaris elemen tanah yang ada di depan mata mereka sekarang. Walaupun mereka juga merasakan kalau kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh ini merupakan kekuatan yang sudah mereka nanti-nantikan selama seratus tahun. Tapi mereka juga jadi ragu-ragu, karena dalam hati anak ini, terdapat kecenderungan untuk memakai kekuatan yang ada tidak untuk hal-hal yang semestinya. Mereka takut, kalau justru kekuatan yang akan mereka wariskan pada anak ini, malah akan dipakai untuk menghancurkan mereka. Sedangkan saat ini, kondisi bumi sudah sangat mengenaskan dan sedang membutuhkan bantuan. Kalau tidak, kiamat akan datang dan semuanya akan hancur. Kehidupan ini akan hancur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun