Saya tertarik menuliskan pengalaman menjelajahi Borneo setelah membaca tulisan Mas Suryakelana (Jelajah Kalimantan I) yang pernah berkelana di Kalimantan sekitar tahun 2000-an. Saya akan coba putar kembali memori di kepala dan merangkainya menjadi narasi singkat penggalan kisah hidup dan kerja saya selama sekitar 4 tahun di Borneo. Namun sayang, tidak banyak foto koleksi pribadi yang bisa saya sajikan sebagai pendukung cerita karena memang saat itu saya belum terbiasa mengabadikan momen perjalanan dalam gambar. Jakarta - Balikpapan - Samarinda, Kalimantan Timur Pertualangan dimulai ketika saya diterima bekerja pada Oktober 2003 di sebuah perusahaan forestry trading di Jakarta yang mempunyai daerah operasional di wilayah Kalimantan Timur. Masa orientasi kerja selama 1 bulan saya jalani di kantor pusat Jakarta. Dan tepat sehari sebelum hari ulang tahun yang ke-24 saya berangkat bersama dengan seorang rekan kerja (A) yang sudah lebih dahulu bertugas di Kalimantan dengan pesawat Star Air. Pengalaman perrtama saya naik pesawat terbang cukup mendebarkan, apalagi dari bandara Soekarno-Hatta Cengkareng dibutuhkan waktu penerbangan hampir 2 jam untuk mencapai bandara Sepinggan di kota Balikpapan. Saya baru bisa bernafas lega ketika roda pesawat benar-benar berhenti di bandara. Kesan pertama saya sesaat setelah merasakan udara kota Balikpapan, panas. Kemudian, dengan menumpang sebuah taksi, kami melanjutkan perjalanan ke Samarinda yang berjarak sekitar 100 km dari kota Balikpapan. Ongkos Rp. 150.000 sekali jalan cukup mahal menurut saya. Sepanjang jalan yang cukup mulus antara Balikpapan-Samarinda banyak hal yang saya perhatikan. Diantaranya, cukup banyak masyarakat setempat yang memainkan semacam sepasang bandul bulat dari plastik. Dengan menggunakan tali yang panjangnya sekitar 20cm bandul tersebut dimainkan dan bila kedua bandul tersebut beradu akan menimbulkan bunyi “tek.. tek.. tek”. Awalnya saya pikir itu semacam peralatan sihir atau semacamnya, karena sebelum berangkat banyak sekali cerita-cerita yang “menakutkan” mengenai penduduk di pulau Kalimantan. Ah, kiranya cerita itu cukup mempengaruhi pola pikir saya waktu itu sehingga saya tidak berani bertanya lebih lanjut mengenai benda apakah itu sebenarnya. [caption id="attachment_227094" align="aligncenter" width="300" caption="Foto Jembatan Mahakam dipinjam dari denmasrul.com"][/caption] Hari menjelang sore ketika kami melewati jembatan Mahakam. Cukup terkejut saya dibuatnya, karena baru pertama kalinya saya melihat secara langsung sungai yang sedemikian lebarnya. Kesan pertama saya saat memasuki kota Samarinda, sedikit kumuh. Tempat menginap saya untuk pertama kalinya adalah sebuah penginapan kecil bertarif Rp. 50.000 per malam, yang berada tak jauh dari Mall Mesra Indah Samarinda (entah sekarang masih ada atau tidak). Setelah mandi dan beristirahat sejenak, saat kegelapan malam sudah menyelimuti kota, teman saya mengajak makan malam di sebuah warung kecil di dekat penginapan. Saat makan, datang seorang rekan kerja saya yang lain (B) yang juga sudah lebih dahulu bertugas di Samarinda, dia seorang sawn timber grader. Semakin ramailah suasana makan malam kami. Selesai makan malam, saya kembali ke penginapan, sedangkan rekan-rekan saya ke tempat kost mereka di Jl. Abul Hasan, tidak terlampau jauh dari tempat kami makan malam. Saat itulah untuk pertama kalinya saya benar-benar merasa seperti orang asing karena harus sendirian di tempat yang sama sekali belum pernah saya datangi. Sulit sekali saya memejamkan mata jadinya karena adanya perasaan kurang aman. Ditambah lagi saya teringat beberapa cerita “menyeramkan” tentang penduduk pulau Kalimantan yang pernah saya dengar dari teman-teman semakin membuat saya sulit memejamkan mata. Namun akhirnya rasa lelah mengalahkan rasa takut dan membuat saya tertidur menjelang dini hari. Pagi telah menjelang saat saya bangun dan membuka SMS ucapan selamat ulang tahun dari ibu saya. Ada rasa bahagia sekaligus sedih saat membacanya. Tapi saya bertekad, inilah saatnya saya harus bisa membuktikan pada diri sendiri dan orang tua kalau saya bisa mandiri. Dan rencana hari itu adalah pindahan ke mess perusahaan. Dengan dibantu rekan-rekan kerja saya yang lain saya memindahkan barang bawaan berupa 2 set komputer lengkap untuk mambantu tugas saya mengolah data administrasi produksi. Mess yang berada di Jl. Pirus 14 tersebut ternyata cukup luas, dengan 5 kamar tidur dan ruang tengah yang cukup luas. Dan saya beruntung mendapatkan kamar yang di dalamnya ada kamar mandinya. Hari itu saya diperkenalkan dengan 2 rekan kerja saya yang lain yang rupanya sedang “keluar hutan”. Mereka adalah para log grader yang baru saja menyelesaikan grading kayu bulat di daerah Batu Ampar, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Kutai Timur. Seorang bertubuh subur dengan panggilan “bagong” rupanya berdarah campuran Malaysia-Bugis (C). Sedangkan yang seorang lagi mempunyai panggilan “gareng” yang rupanya orang asli Sunda (D). Dan ternyata rekan saya yang semalam menyusul makan malam bersama mempunyai panggilan “petruk”. Nah, untuk rekan saya yang mendampingi saya dari Jakarta ternyata mempunyai panggilan “dewa”. Belakangan baru saya ketahui kalau panggilan “dewa” tersebut berasal dari kesenangan rekan saya tersebut mengkonsumsi minuman beralkohol. Ah, dewa mabuk rupanya. Ada-ada saja kelakuan bapak-bapak ini. Hehehe. Saya sendiri saat itu menjadi anggota tim yang paling muda, belum menikah, belum pernah pacaran dan belum mempunyai nama panggilan. Dari beliau-beliau itulah saya banyak belajar menjadi “orang lapangan” dengan segala macam keruwetan dan lika-likunya. ---- bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H