Mohon tunggu...
nice nice
nice nice Mohon Tunggu... -

Makhluk Tuhan yang mengaku muslimah dan beriman, slalu mencoba untuk bertakwa dan belajar bermanfaat. Terkadang bersedih padahal seharusnya bahagia. Kelemahan yang ada di diri ini menjadikan betapa lemah di hadapan-Nya, tidak dihadapan yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu Durhaka

11 Juli 2010   06:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:56 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hai kompasianer yang sangat aku rindukan...

Setelah berperang melawan segala rasa malas dan keluar dari keterbatasan, dan setelah dipecut oleh sapaan mba Ria Tumimom serta tulisan mas Dedy Prasnowo (Thank U so much <3 ), aku beranjak menuntun jari-jari tanganku bergoyang diatas keyboard putih netbook kesayanganku, dan memulai dengan judul yang –menurutku- menyeramkan..

Yup, memulai dengan ungkapan yang tak pernah kita dengar, mmm mungkin. Ya iya lah.. Mana ada sih ibu yang durhaka apalagi terhadap anaknya... karena biasanya tuh anak yang durhaka pada ibunya. Komentar, ide, pendapat, kritik, atau apapun sungguh sangat dinanti oleh ku... monggo..

Ini berawal dari sebuah cerita (curhatan) dari temanku, tepatnya sahabat tercintaku sebut saja namanya MAWAR, yang selalu menangis terisak ketika menceritakannya padaku. Tentu saja dia sudah mengizinkan aku menulisnya mudah2an dapat bermanfaat untuk kita semua dan berharap dia bisa belajar dari fikiran, kepala dan hati para kompasianer untuk terbebas dari belenggu jiwanya. Dan menurutku, sungguh dia kurang beruntung karena memiliki seorang ibu yang tidak seperti ibu kita. Ya, ibu durhaka itu adalah ibu dari sahabatku, Mawar.

Sebenarnya...aku tidak pantas menyebutnya demikian.. karena walau bagaimanapun buruknya, derajat seorang ibu sungguh sangat mulia, sungguh beliau telah mengandung dan melahirkan kita dalam keadaan bersusah payah, merawat dan menyayangi kita dengan tulus. Tapi bagaimana dengan ibu mawar ini??

*perlu diketahui bahwa saat itu aku dan Mawar tinggal di sebuah asrama yang agak jauh dari rumah kami.

Pada awal bercerita dengan pandangan kosong, mawar tak mampu berkata2, karena hanya tulisan “aku sayang ibu” dan deraian air mata yang aku lihat, dan akupun ikut menangis karena aku pikir dia sedang merindukan dan mengenang jasa2 ibunya, aku jadi teringat mamahku. Ketika aku tanya, yup memang dia sedang merindukan dan mengenang jasa2 ibunya sekaligus ingin protes pada Tuhan, “mengapa aku harus menghormati dan berbakti pada seorang ibu, tetapi Engkau ciptakan aku dari seorang ibu yang tidak pantas jadi seorang ibu??” tanyanya retoris. Aku langsung terperanjak dan berucap “Astaghfirullah...”, seraya mencoba menenangkan dia dan membawa pikirannya kembali ke jalan positif agar selalu berprasangka baik pada Tuhan, apalagi perkataannya tentang ibunya yang seharusnya dia mulyakan. Apa yang aku katakan padanya pasti juga terbesit dalam pikiran anda-anda semua, para kompasianer.. yaitu: “walau bagaimanapun buruknya, derajat seorang ibu sungguh sangat mulia, sungguh beliau telah mengandung dan melahirkan kita dalam keadaan bersusah payah, merawat dan menyayangi kita dengan tulus”. Lalu dia tertawa getir, aku agak tersenyum sambil berucap dalam hatiku bahwa aku telah berhasil menenangkan hati sahabatku. Ternyata belum, dia mulai terpancing bercerita lebih lanjut tentang alasan dia sangat kecewa pada ibunya. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga dengan seorang suami (ayahnya sahabatku) yang bekerja sebagai guru yang gajinya pas-pasan.

Aku pernah silaturrahim ke rumah mawar dan menemui kedua orang tuanya. Aku perhatikan selama 3 hari, sifat keduanya begitu berbeda. Ayahnya sungguh ramah, bersahaja, dan sangat rajin ibadah. Sementara ibunya sebaliknya, pakaian yang dikenakan pun jauh dari kesederhanaan atau bahkan jauh dari kemawas-diriannya pada keadaan rumah yang sangat sederhana, penghasilan suami yang pas-pasan serta anak-anak yang memerlukan biaya pendidikan lebih banyak daripada untuk membeli baju-baju dan aksesoris modis ibunya. Wah wah.. aku berpikir terlalu buruk tentang ibunya mawar, aku kubur pikiranku dalam-dalam. Mawar pasti akan sakit hati klo tau pikiran burukku. Ajaib banget..ternyata pikiran jahatku ini adalah pikiran semua orang, keluarganya, bahkan mawar sendiri. Mawar bercerita bahwa ibunya memang selalu bermewah-mewah, padahal adik-adik mawar bisa bayar spp tiap bulanpun udah alhamdulillah. Lalu uang yang dipakai ibunya mawar itu dari mana, pikirku yang lagi-lagi aku tak mampu mengungkapkannya. Seolah mawar mendengar pikiranku, dia bilang bahwa ibunya pandai berbisnis, misalnya menjual kosmetik atau barang2 lain ke ibu-ibu lain, temen2nya. Dan lagi-lagi hasilnya bukan untuk kepentingan keluarganya bahkan anak-anaknya, melainkan untuk dirinya sendiri beserta kemewahan yg selalu diinginkannya. Sambil terus menangis dan ku peluk tubuh mawar, dia lanjutkan cerita-cerita tentang ketidakpantasan2 sikap seorang ibu lainnya yang dilakukan oleh ibunya mawar. Seperti pulang dengan sejinjing pizza yang kemudian dimakannya sendiri tanpa memperdulikan suami dan anak2nya yang belum makan karena ibu mawarpun tidak pernah masak, lagi-lagi bergaya hidup mewah sedangkan semua harus sangat sederhana.

Aku sedih banget dengarnya, aku bersyukur punya ibu yang melakukan apapun untuk anak-anaknya, bahkan beliau tak akan makan sebelum anak-anak dan suaminya makan. Ya Allah.. kasihan sekali sahabatku ini..

Dan yang paling aku kaget ketika mawar bercerita bahwa ia pernah dipukul ibunya hanya karena dia membaca sms dari seorang dokter laki-laki dimana kalimatnya begitu mesra lalu mawar membalasnya dengan memohon kepada dokter tersebut agar tidak mengirim sms lagi kepada ibunya. Ternyata ibunya selingkuh dan hal itu pula yang membuat ayahnya menceraikan ibunya. Mawar semakin menangis keras, tapi aku malah lega. Aku harap setelah itu dia tidak akan menemui kesedihan itu lagi. Tapi ternyata tidak. Dia dan adiknya harus tinggal dengan ibunya karena ayahnya pergi merantau untuk bekerja ke luar daerah. Ibunya pun menikah dengan seorang laki-laki yang telah memiliki isteri dan anak, berarti ibunya mawar dimadu. Ayah baru mawar sangat berbeda dengan ayah kandungnya yang sangat tekun ibadah, bahkan untuk solatpun ayah tiri mawar tidak pernah melakukannya. (Ya ampuuuunn aku dibuatnya gemas, pengen nabok wanita edan itu, rasanya..!!) Dia lebih memilih laki-laki yang tidak pernah solat, sudah punya isteri, lagi!! Dimana hati nurani dia sebagai seorang perempuan dan seorang muslimah...????

Waduh.. ini kok jadi kayak novel.. Hehehe

Capek ya bacanya?? Maaf ya..

Oke deh..dilanjut lagi sesion 2 aja ya..

Terima kasih

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun