Mohon tunggu...
Ni Camperenique
Ni Camperenique Mohon Tunggu... -

http://nicamperenique.me

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengguna KJS Tetap Kelas 2?

29 Mei 2013   02:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:52 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13697853821740838719

[caption id="attachment_264249" align="aligncenter" width="318" caption="Ilustrasi/ Admin (kompas.com)"][/caption] Gonjang ganjing soal KJS, sampai-sampai orang-orang yang kita gaji untuk mewakili kita demi  memastikan pemerintah bekerja dengan baik dan benar, merasa perlu menginterpelasi Pak Gubernur. Tak heran sih, karena ini cuma masalah waktu, masalah momen. Tujuh bulan orang-orang yang mestinya kita hormati itu kasak kusuk belum juga menemukan celah untuk mengajak Pak Gubernur untuk bekerja sama sebagaimana kerjasama yang terasa amat manis dengan Gubernur yang sudah-sudah. Bicara tentang KJS, pengalaman saya ini mungkin tidak mewakili sebagian besar masyarakat, tapi inilah fakta yang saya alami dan saksikan sendiri. Ketika itu saya mengantar keponakan untuk berobat, dan dari rumah sakit swasta (RSS) kami dirujuk ke rumah sakit pemerintah (RSP) karena di RSS tidak tersedia layanan suntik mantuk. Pada hari yang kami pilih sendiri, kami mendatangi rumah sakit yang dimaksud, dan mengikuti proses pendaftaran sebagaimana layaknya pasien baru. Saat kami menuju poliklinik anak, banyak pasien dan keluarganya sedang duduk-duduk menunggu panggilan. Saya langsung menuju loket, dan kalimat pertama yang dilontarkan sang suster adalah : "KJS atau asuransi?" Dan demi mendengar jawaban saya PRIBADI, sang suster lalu mengembang senyumnya. Melihat antrian pasien, saya berpikir pasti masih lama akan disuruh masuk, kebetulan sekali belum sempat sarapan. Tapi ketika kami hendak beranjak, sang suster berujar, "masuk aja bu." Kagetlah saya, "lho? gak antri Sus?" Dengan ramah sang suster bilang, "gak apa-apa. Ini yang antri 'kan pasien KJS." Waduh! "Apa mereka gak marah  nanti Sus? Mereka kan udah antri dari tadi?" Tau jawabnya? "Gak apa-apa, ibu kan bayar, mereka juga maklum kok." Sedih saya mendengar jawaban ini, karena kali ini saya merasa telah mendzalimi orang lain. Jika saya yang mengantri itu, dan melihat ada orang yang baru datang dan dipersilahkan masuk, saya pasti marah dan protes. Tapi saudara-saudara kita yang menggunakan KJS itu, tidak satupun yang bereaksi. Seperti tahu diri, karena mereka menggunakan KJS. Sejujurnya saya malu seolah diperlakukan lebih istimewa dari mereka, tapi yang lebih memalukan lagi, saya mengikuti saran suster untuk masuk dan mendapatkan pelayanan sang dokter. Well, saya memang tidak tahu persis apa yang membuat pengantri belum dapat giliran masuk. Entah berkas yang belum lengkap? Entahlah! Yang jelas di dalam ruangan, satu dokter (yang kebetulan adalah dokter yang sama yang kami datang di RSS) memang sedang melayani pasien lain. Kami sempat menunggu sampai sang dokter tuntas melayani pasien itu. Sementara suster yang lain sedang mengurusi pasien yang lain juga di ruang yang sama. Giliran kami tiba, dan karena dokternya sama, tak perlu kami jelaskan panjang lebar kecuali menyampaikan keluhan yang terbaru. Tes mantuk dan tes darah sekejap tuntas. Kami memilih pulang dan hasilnya akan diambil besok saja. Dari pengalaman tadi saya pun berpikir, sekaligus bersyukur, di RSP yang bayarannya murah saja rakyat tidak mampu hingga menggunakan KJS, kenapa sih wakil-wakil kita itu gak mau paham betapa rakyat membutuhkan KJS? Saya katakan murah, karena memang benar-benar murah. Dokter yang sama praktek di RSS itu saya bayar Rp 160.000,- sekali konsul, sementara di RSP cuma Rp 25.000,-. Bandingkan betapa njomplangnya? Hitunglah seberapa berarti sih uang Rp 25.000 sekarang ini? Dan uang sejumlah itu pun saudara-saudara kita itu tak mampu menyediakannya??? Yeah ... ! Tak dapat dipungkiri juga banyak yang modus. Ngaku-ngaku susah demi boleh menggunakan KJS, tapi berapa persenkah orang-orang seperti ini? Saya pribadi beranggapan, jika saya punya uang Rp 25.000,- tentulah saya memilih menjadi pasien berbayar daripada menggunakan KJS. Setidaknya dengan modal Rp 25.000,- saya masih punya harga diri, tidak dipandang rendah oleh orang lain.  Sehingga menurut hemat saya, sepatutnya wakil-wakil kita yang di sana itu sebaiknya mematut diri sambil bertanya, PANTASKAH MEREKA MENGINTERPELASI Pak Gubernur yang sangat memperhatikan rakyatnya? Pantaskah Pak Gubernur dituding pencitraan agar terpilih menjadi Presiden 2014? Ckckck ... Tak malukah punya pikiran sedangkal ini? Saya bukan peramal, tapi saya pun yakin, bahwa selamanya pengguna KJS akan tetap menjadi kelas 2. Yang punya uang tetap akan didahulukan. Lalu apakah saudara-saudara kita pengguna KJS ini, yang sudah rela menelan harga dirinya, tak diperbolehkan untuk tenang hati setidaknya kalau sakit tak perlu pontang panting mencari pinjaman pada rentenir keliling? Semoga Tuhan memberkati orang-orang yang sedang lupa diri, dan menguatkan orang-orang yang saat ini sedang membutuhkan pertolonganNya. Aamiin!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun