Kunjungan ini dimulai dari sebuah artikel yang dikeluarkan Kelompok Kerja lokal Taman Fatahillah DMO Kotatua Jakarta. Jam menunjukkan pukul satu siang ketika saya menjejakkan kaki di Area Kota Tua. Di tengah hiruk pikuk Kota Tua, keberadaan pameran ini 'sangat terpencil'. Setelah menyeruak di antara gerombolan Pedagang Kaki Lima, pintu masuk pameran ini barulah terlihat.
Suasana di gedung pameran itu sangat sepi. Hanya terlihat seorang penjaga dengan sebuah buku tamu. Cukup terkejut juga ketika mengetahui bahwa pengunjung di hari itu baru 1 orang. Sedangkan hari itu adalah hari terakhir diselenggarakannya pameran ini. Setelah menanyakan ke penjaga tersebut jika pameran ini 'gratis', saya pun menjadi pengunjung ke-2 dan segera memasuki area pameran.
Area pameran ini cukup sederhana dan terdiri dari 2 ruang. Pameran ini menampilkan lima karya di Indonesia pemenang UNESCO Asia-Pasific Awards for Cultural Heritage Conservation.
Bagian awal menunjukkan tujuan diadakannya pameran ini. Dalam hal mendukung revitalisasi Kota Tua sesuai dengan standar internasional, 'pameran ini diharapkan akan menginspirasi revitalisasi berbagai cagar budaya penting di seluruh Indonesia, lewat pengenalan akan praktik konservasi terbaik kepada para pemilik bangunan, sektor swasta, anggota masyarakat sekitar, dan publik yang lebih luas lagi.'
Karya pertama yang dipamerkan adalah Jembatan Kebajikan di Medan, Sumatra Utara. Jembatan ini berdiri di atas Sungai Babura, Medan. Tjong Yong Hian adalah sosok yang dikenang melalui pembangunan jembatan ini pada tahun 1916. Jembatan ini dibangun oleh tiga putranya atas usulan dari ibunda mereka. Jembatan ini selesai direkonstruksi pada April 2001.
Karya kedua adalah Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia. Rumah ini dulunya merupakan satu - satunya buitenverblijven, rumah peristirahatan di luar kota, yang masih tersisa dari kawasan Molenvliet, area yang sekarang menjadi Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Pada 22 Agustus 1995, hadiah berupa konservasi Gedung Arsip diserahkan pada pemerintah Indonesia di hadapan Ratu Beatrix di Jakarta. Upaya rekonstruksi tersebut selesai empat tahun kemudian.
Karya keempat merupakan sebuah desa di Pulau Flores bernama Wae Rebo. Desa ini memiliki ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut. Mbaru Niang merupakan rumah tradisional Manggarai berbentuk kerucut yang masih dapat ditemukan di Wae Rebo. Konservasi Wae Rebo berlangsung selama tiga fase dan berakhir di tahun 2011. Berkat konservasi ini pula, Wae Rebo kini menjadi desa wisata yang tak pernah henti didatangi wisatawan.
Kelima karya konservasi itu disajikan dengan desain ruang yang cukup menarik. Walaupun dengan area yang terbatas, cukup banyak foto - foto, maket, ornamen - ornamen yang membantu untuk merasakan keadaan di dalam bangunan - bangunan tersebut dan kesulitan - kesulitan yang dihadapi saat upaya konservasi dilakukan.