Bahasa Indonesia Sebagai Alat Komunikasi Multikultural di Sekolah Dasar
Pembelajaran berbasis multikultural di tingkat dasar dapat diterapkan melalui model pembelajaran multikultural dan pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT). Model ini bertujuan merangsang minat siswa, memperluas pemahaman mereka tentang realitas dunia, serta mengembangkan keterampilan antarbudaya seperti toleransi, empati, dan komunikasi lintas budaya. Selain itu, pendekatan Culturally Responsive Teaching mengintegrasikan perspektif dan pengalaman siswa ke dalam pembelajaran, meningkatkan prestasi akademik serta partisipasi siswa tentang dunia yang beragam dan memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan (Patras, dkk, 2023 dalam Suningsih et al, 2024:528-539).
Pendidikan multikultural di sekolah merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah dan menuntut persamaan hak bagi setiap kelompok seluruh peserta didik tanpa membedakan mereka dari segi jenis kelamin, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan agama. Pelaksanaan pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkait menurut James Banks (Muhaemin, 2005 dalam Zulaeha., 2013:99-100), yaitu: 1.Content integration: Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. 2.The knowledge construction process: Membawa perserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam Bahasa Indonesia. 3.An equity pedagogy: Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar peserta didik dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik peserta didik yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun social. 4.Prejudice reduction: Mengidentifikasi karakteristik ras peserta didik dan menentukan metode pengajaran mereka. 5.Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembelajaran, berinteraksi dengan seluruh staf dan peserta didik yang berbeda etnis dalam menciptakan budaya akademik.
Peserta didik membutuhkan pengetahuan, pengalaman, aktivitas, dan fasilitas untuk mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai multikultural yang dikemukakan (Tillman 2004 dalam Zulaeha., 2013:99-100) menjadi pendidikan nilai, yaitu kedamaian, penghargaan, toleransi, tanggung jawab, kebahagiaan, kerja sama, kejujuran, kerendahan hati, cinta, kesederhanaan, kebebasan, dan persatuan.
Multikulturalisme secara sederhana diartikan sebagai pengakuan pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah sesuatu yang given, tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam komunitas. Teori ini dikemukakan oleh Roderick Hart dan Don Burks. Teori ini menjelaskan tipe komunikator pada saat berinteraksi yang cenderung mampu mengadaptasi pesan kepada komunikan. Teori ini menemukan bahwa dalam penelitian ini adalah para kepala sekolah di kedua SD tersebut dan juga masing-masing guru pendamping dan wali kelas. Teknik pengumpulan data diperoleh dengan teknik observasi, teknik wawancara, dan studi kepustakaan. Setelah data terkumpul, kemudian peneliti menganalisis secara kualitatif komunikasi efektif yang timbul dari perasaan sensitif, memperhatikan, serta mengatur apa yang akan kita sampaikan kepada komunikan (Littlejohn, 1999 dalam Dwi, Djudjur & Yayu., 2018:63).
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar tidak hanya fokus pada penggunaan bahasa secara teknis (seperti tata bahasa atau kosakata), tetapi juga pada pengembangan keterampilan literasi yang lebih luas. Siswa dilatih untuk mampu menulis, berbicara, mendengarkan, dan membaca dengan efektif dalam Bahasa Indonesia, yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan lebih baik dalam konteks yang lebih luas. Selain itu, pengajaran Bahasa Indonesia juga mengajarkan siswa untuk memahami budaya lain, memperkaya perspektif mereka, dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam konteks sosial dan multikultural.
Ada lima karakteristik dalam rhetorically sensitivity, yaitu: 1.Orang yang rhetorically sensitive dapat menerima dan memahami bahwa individu atau pribadi adalah kompleks. 2.Orang yang rhetorically sensitive menghindari sifat kaku dalam berkomunikasi dengan orang lain. 2.Menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain, suatu kepekaan yang disebut kesadaran interaksi. 3.Orang yang rhetorically sensitive sadar kapan harus mengomunikasikan atau tidak mengomunikasikan sesuatu untuk situasi yang berbeda. 4.Menyadari bahwa pesan dapat dikemukakan melalui berbagai cara dan mampu menyesuaikan dalam situasi tertentu.
Tujuan pendidikan multikultural meliputi tiga aspek utama: 1.Sikap (attitudinal goals): Membentuk kesadaran budaya, sikap toleransi, penghormatan terhadap identitas budaya, serta kemampuan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. 2.Pengetahuan (cognitive goals): Menguasai wawasan tentang bahasa dan budaya lain, serta keterampilan dalam memahami dan menafsirkan perilaku budaya. 3.Pembelajaran (instructional goal): Mengadopsi dan menerapkan nilai-nilai multikultural ke dalam proses pembelajaran di sekolah.
Bahasa Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan komunikasi yang efektif di sekolah dasar interkultural. Sebagai bahasa negara, Bahasa Indonesia menghubungkan siswa dari berbagai suku dan daerah, memungkinkan mereka untuk berinteraksi, berbagi pengalaman, dan membangun hubungan sosial tanpa hambatan bahasa. Dalam konteks ini, Bahasa Indonesia menjadi simbol persatuan yang menyatukan perbedaan dalam keragaman sosial dan budaya (Dewanto 1996 dalam Winda, Nurlinda, Artia & Arifin 2022:260).
Di tingkat sekolah dasar, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran membantu siswa memahami pentingnya persatuan dalam perbedaan. Walaupun setiap siswa mungkin memiliki latar belakang budaya yang beragam, Bahasa Indonesia memungkinkan mereka untuk menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap bangsa dan tanah air. Hal ini mendukung proses penanaman nilai-nilai kebhinekaan yang tercermin dalam kekayaan budaya Indonesia. Pembelajaran Bahasa Indonesia juga membantu siswa menyadari bahwa keragaman budaya adalah kekayaan yang patut dihormati, sementara bahasa menjadi sarana untuk menghormati dan merayakan perbedaan tersebut.
Guru memiliki peran penting dalam menjembatani keberagaman budaya di kelas. Selain mengajarkan Bahasa Indonesia, guru juga harus memahami perbedaan budaya di antara siswa dan menggunakan pendekatan yang inklusif. Dengan menunjukkan teladan yang baik dalam penggunaan Bahasa Indonesia di konteks multikultural, guru dapat mendukung siswa mengatasi hambatan bahasa dan memperkenalkan mereka pada konsep-konsep toleransi dan saling menghargai. Guru juga dapat mengintegrasikan elemen-elemen budaya lokal dalam pembelajaran untuk menunjukkan keberagaman budaya yang ada dalam pembelajaran Bahasa Indonesia..
Strategi pembelajaran merupakan gambaran umum mengenai langkah-langkah yang dirancang dalam proses pembelajaran guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Djamar & Zain, Hamiyah & Jauhar, 2014:8 dalam Ramadhan & Usriyah., 2021:59-68). Untuk menciptakan pembelajaran yang lebih efektif, guru perlu menerapkan strategi pembelajaran yang sejalan dengan tujuan dan kebutuhan pembelajaran. Guru yang masih menggunakan metode pembelajaran terpusat pada pendidik sebaiknya beralih ke pembelajaran berbasis siswa (student-centered), karena pendekatan ini lebih sesuai dengan tuntutan era digital (Idrus, 2011:64 dalam Ramadhan & Usriyah., 2021:59-68). Keberadaan guru sangat vital dalam membimbing, memotivasi, dan mengarahkan siswa agar proses pembelajaran berjalan secara efektif. Menurut Sardiman (dalam Widya, 2013:5 dalam Ramadhan & Usriyah 2021:59-68), guru tidak hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi juga berperan sebagai komunikator, sahabat, dan pembimbing yang membantu siswa dalam pengembangan sikap, perilaku, dan nilai-nilai positif.
Pendidikan multikultural perlu diterapkan di sekolah dasar karena pada tahap ini siswa mulai beradaptasi dengan lingkungan sosial yang lebih luas dan mulai memahami nilai-nilai keragaman. Dengan pendidikan multikultural, siswa dapat mengembangkan sikap toleransi, rasa hormat, dan penghargaan terhadap keragaman, yang pada akhirnya berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang damai dan harmonis. Pendidikan multikultural berperan dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan saling menghargai perbedaan antar individu maupun kelompok.
Mengenai Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi multikultural di Sekolah Dasar adalah bahwa Bahasa Indonesia berfungsi sebagai sarana penting dalam memfasilitasi interaksi antarsiswa dengan latar belakang budaya yang beragam. Melalui Bahasa Indonesia, siswa dapat mengembangkan kesadaran multikultural, memperkuat identitas nasional, dan membangun rasa saling menghargai di tengah perbedaan. Selain itu, Bahasa Indonesia juga berperan dalam meningkatkan kompetensi literasi siswa dan mewujudkan suasana belajar yang ramah dan merata, di mana setiap siswa dapat mengikuti pembelajaran tanpa terhalang oleh perbedaan bahasa maupun budaya. Dengan demikian, Bahasa Indonesia tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga alat pemersatu yang mendukung terciptanya keharmonisan dalam keberagaman di Sekolah Dasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H