Mohon tunggu...
Raffa Yusniah
Raffa Yusniah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

universitas Bhayangkara,PT.SANKEN INDONESIA, dan semua lagu taylor swift. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Too Late Apologize

4 Oktober 2013   06:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:01 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku menulis sekarang, karna aku berani bertaruh selarut ini kau belum tidur

Aku melihatmu, menatap langit-langit kamarmu, dan sisanya kau biarkan berantakan

Menarik selimut ungu sampai kelehermu, menahan jahatnya udara  kaki merbabu

Aku merasakan kau kedinginan, dan aku mulai berdoa disini supaya Tuhan menghangatkanmu

Tak ada yang menarik untuk dipikirkan, selain betapa hangatnya suasana rumah dan asap dapur

Dan saat aku bisa dengan leluasa memenangkan waktumu

Tanpa perlu menunggu minggu depan, bulan depan, atau tahun depan

Dan sekarang, mulailah melihatku disini

Aku duduk sendirian di pojok ruangan yang teramat sangat bising

Kedelapan mesin tua berbandrol miliaran rupiah yang terus menderu dan teriakan puluhan orang yang membidani

Dengan asap solder yang kadang membuatku mual

Dengan sejenis lem berwarna merah yang menyengat

Dan benda-benda antik lainya yang tak akan kau temui di kelas tata boga

Ku tubrukkan pandanganku pada tempat sampah, lemari sapu, alat pel atau apapun itu

Aku mulai petingkah lagi, saat kusadari kita sudah lama tak bicara

Dan aku merasa tak diterima lagi dalam daftar orang yang kau pedulikan

Lalu kuhentikan pekerjaanku, saat sesuatu melintas di benak

Agustus hanyalah satu dari belasan bulan yang kulalui bersamamu selama dan sedalam yang kurasa

Aku bebas menikmati tawa dan suaramu di sudut bangunan lama itu

Kau menarikku dengan kepala terlebih dahulu

Dan aku bisa mencium aroma sisa sabun mandi yang menempel dikulit sawo matangmu

Kau bilang lebih menyukai rambutku diikat dari pada di gerai

Kita melihat kecermin

Aku berceloteh kalau wajah kita tak sama

Dan kau tertawa, dan pagi menjemput

Aku di ambang pintu ruang tengah rumahku

Didepan kau sedang berjabat tangan dengan orangtuaku

Mendapat sepenggal doa darinya

Aku memperhatikan sekilas dan diam

Menangis dalam senyum bahagia penuh

Aku mulai ribut lagi

Saat orangtuaku sibuk menyiapkan apa yang harus kubawa saat kembali

Aku melihatmu dengan sendok di piring

Ku perhatikan dari balik punggung, dan aku bersumpah bahwa aku mencintaimu

Kini aku sibuk menahan tangan wanita yang melahirkanku

Aku menggelengkan kepalaku

“Jangan masukkan ke ranselku lagi” tapi dia tak peduli, dan aku memeluknya.

Ini ketiga kalinya aku kembali ke kota penuh asap industri tanpa mu

Kupejamkan mata saat melewati rumah bercat ungu di salah satu ruas perempatan

Biarkan pintu rumah itu berantai

Karna aku tak akan pernah merasa pantas untuk mengetuknya.

…………………………………………………

Aku berlari, berusaha mengejar bis jemputan paling awal

Berharap aku bisa sampai perusahaan lebih sore

Berasandar di tembok mushola yang hangat, menempelkan ponsel ditelinga, tersenyum

Menarik nafas tiada makna saat kau menyahut “Minggu depan, ya minggu depan aku ada waktu”

Aku diam, menerka dalam keriuhan karyawan

Persetan dengan kibaran bendera perang yang mulai kutarik benangnya

Ku jelaskan pada meja kerjaku saat aku menggebraknya “Aku butuh pekerjaan lebih banyak dan lebih sulit!”

Aku tak mau terlalu banyak punya waktu renggang untuk menghayal

Kudekati salah satu mesin dan mulai berbisik “error-lah seharian dan hasilkan produk not good lebih banyak! aku siap me-repairnya!”

Kuperhatikan line manual di seberang gedung dan rasanya ingin berteriak “balikkan semua produk itu dengan lebel NG! aku siap memperbaikinya!”

Dan saat mulai dengan pekerjaan pertama, saat mata ini mulai basah

Saat berusaha menyembunyikan di kolong meja

Dan menghasilkan gunungan tisu di tempat sampah

Ku pertegas di hatiku

Sendiri, tak akan sulit

……………………………………….

Suatu ketika, yang aku yakin adalah hari jum’at

Aku bisa istirahat lebih lama di mushola

Duduk dalam diam menikmati putaran kipas angin yang menempel di dinding

Aku dengar detak jantungku sendiri

Seperti langkah kaki menjejaki tangga kayu

Jum’at di minggu awal September

Masih kurasakan kebodohanku hingga sekarang

Masih kuingat jelas ego-ku yang menggebu di hati dan otak

Kecewa itu masih ada

Tercetak warna ungu pudar di telapak tangan saat aku menggebrak keras meja kerja

Masih terpatri kuat, saat kau mengamini doa mereka dan aku malah bersorak dengan tokoh diktator jerman faforitku, menggeser kursor dengan acak

Aku berusaha keras tak peduli, meski aku melihat

Aku berusaha mati-matian membuang cinta yang kurasa

Aku mulai membayangkan hari sibukmu, dan mulai membenci

Aku mulai dengan membanting ponselku, saat tanganku tak tega dan mulai menekan nomermu

Membenamkan kapala dalam bantal

Dan berpikir sudah saatnya untuk membiarkan semuanya..

……………………………………………………..

Sudah lama, sejak aku terbangun dan jum’at di minggu awal September berlalu

Dan aku seperti dijegal dan melihat wajahku sendiri di cermin setiap bangun tidur, tampak berbeda

Aku membiarkan jam-jam makan siang berlalu begitu saja

Aku masih mengejar bis jemputan ter-awal

meski aku tau kau tak akan menanggapi panggilanku

Jum’at awal September

Aku tau kau menunggu

Aku tau kau kecewa

Aku tau kini kau menyumpahiku

Aku tau kau sekarang sadar bahwa wanitamu ini seperti roller coaster

Aku tau kau tengah menyesal dengan dingin yang kau rasakan di setiap pagi buta tanggal 1 syawal

Dan saat ke 104 panggilanku kau abaikan, satu yang kusadari bahwa aku yakin telah kehilanganmu

Kusembunyikan wajahku di kolong meja

Dan mulai membangun gunungan tisu di tempat sampah

Menyesali semuanya

Minggu kemarin aku menginginkan kesibukan yang luar biasa

Dan sekarang aku berdoa sebaliknya

Karna yang ku inginkan hanyalah bel pulang kerja berdentang

Aku mulai berjalan pelan di lantai Hall perusahaan, menunduk menghitung langkah kaki di setiap kotak keramik

Temanku berkata aku sakit jiwa

Tapi aku merasa baik-baik saja

Aku masih bisa berpikir tentang semua dan normal

Aku masih bisa menyadari, tujuh jam yang lalu

Saat bis jemputan mulai meninggalkan area parkir dan aku menerawang kearah gelapnya subuh

Aku sadar bahwa aku merasa penuh dan berani saat melihat tawamu dan mendengarkan suaramu

Sesekali menyahut dan menatapmu

Aku tau ini permintaan maaf yang sangat telat

Tapi jika kau melihatku di sudut kamar ini sekarang

Aku berharap kau tahu bahwa saat aku tidak melakukan semua itu di hari lahirmu, aku hampir melakukannya.



Cikarang,04/10/13  01:49

Berharap aku menyadari apa yang kupunya saat kau bersamaku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun