Aku menulis sekarang, karna aku berani bertaruh selarut ini kau belum tidur
Aku melihatmu, menatap langit-langit kamarmu, dan sisanya kau biarkan berantakan
Menarik selimut ungu sampai kelehermu, menahan jahatnya udara kaki merbabu
Aku merasakan kau kedinginan, dan aku mulai berdoa disini supaya Tuhan menghangatkanmu
Tak ada yang menarik untuk dipikirkan, selain betapa hangatnya suasana rumah dan asap dapur
Dan saat aku bisa dengan leluasa memenangkan waktumu
Tanpa perlu menunggu minggu depan, bulan depan, atau tahun depan
Dan sekarang, mulailah melihatku disini
Aku duduk sendirian di pojok ruangan yang teramat sangat bising
Kedelapan mesin tua berbandrol miliaran rupiah yang terus menderu dan teriakan puluhan orang yang membidani
Dengan asap solder yang kadang membuatku mual
Dengan sejenis lem berwarna merah yang menyengat
Dan benda-benda antik lainya yang tak akan kau temui di kelas tata boga
Ku tubrukkan pandanganku pada tempat sampah, lemari sapu, alat pel atau apapun itu
Aku mulai petingkah lagi, saat kusadari kita sudah lama tak bicara
Dan aku merasa tak diterima lagi dalam daftar orang yang kau pedulikan
Lalu kuhentikan pekerjaanku, saat sesuatu melintas di benak
Agustus hanyalah satu dari belasan bulan yang kulalui bersamamu selama dan sedalam yang kurasa
Aku bebas menikmati tawa dan suaramu di sudut bangunan lama itu
Kau menarikku dengan kepala terlebih dahulu
Dan aku bisa mencium aroma sisa sabun mandi yang menempel dikulit sawo matangmu
Kau bilang lebih menyukai rambutku diikat dari pada di gerai
Kita melihat kecermin
Aku berceloteh kalau wajah kita tak sama
Dan kau tertawa, dan pagi menjemput
Aku di ambang pintu ruang tengah rumahku
Didepan kau sedang berjabat tangan dengan orangtuaku
Mendapat sepenggal doa darinya
Aku memperhatikan sekilas dan diam
Menangis dalam senyum bahagia penuh
Aku mulai ribut lagi
Saat orangtuaku sibuk menyiapkan apa yang harus kubawa saat kembali
Aku melihatmu dengan sendok di piring
Ku perhatikan dari balik punggung, dan aku bersumpah bahwa aku mencintaimu
Kini aku sibuk menahan tangan wanita yang melahirkanku
Aku menggelengkan kepalaku
“Jangan masukkan ke ranselku lagi” tapi dia tak peduli, dan aku memeluknya.
Ini ketiga kalinya aku kembali ke kota penuh asap industri tanpa mu
Kupejamkan mata saat melewati rumah bercat ungu di salah satu ruas perempatan
Biarkan pintu rumah itu berantai
Karna aku tak akan pernah merasa pantas untuk mengetuknya.
…………………………………………………
Aku berlari, berusaha mengejar bis jemputan paling awal
Berharap aku bisa sampai perusahaan lebih sore
Berasandar di tembok mushola yang hangat, menempelkan ponsel ditelinga, tersenyum
Menarik nafas tiada makna saat kau menyahut “Minggu depan, ya minggu depan aku ada waktu”
Aku diam, menerka dalam keriuhan karyawan
Persetan dengan kibaran bendera perang yang mulai kutarik benangnya
Ku jelaskan pada meja kerjaku saat aku menggebraknya “Aku butuh pekerjaan lebih banyak dan lebih sulit!”
Aku tak mau terlalu banyak punya waktu renggang untuk menghayal
Kudekati salah satu mesin dan mulai berbisik “error-lah seharian dan hasilkan produk not good lebih banyak! aku siap me-repairnya!”
Kuperhatikan line manual di seberang gedung dan rasanya ingin berteriak “balikkan semua produk itu dengan lebel NG! aku siap memperbaikinya!”
Dan saat mulai dengan pekerjaan pertama, saat mata ini mulai basah
Saat berusaha menyembunyikan di kolong meja
Dan menghasilkan gunungan tisu di tempat sampah
Ku pertegas di hatiku
Sendiri, tak akan sulit
……………………………………….
Suatu ketika, yang aku yakin adalah hari jum’at
Aku bisa istirahat lebih lama di mushola
Duduk dalam diam menikmati putaran kipas angin yang menempel di dinding
Aku dengar detak jantungku sendiri
Seperti langkah kaki menjejaki tangga kayu
Jum’at di minggu awal September
Masih kurasakan kebodohanku hingga sekarang
Masih kuingat jelas ego-ku yang menggebu di hati dan otak
Kecewa itu masih ada
Tercetak warna ungu pudar di telapak tangan saat aku menggebrak keras meja kerja
Masih terpatri kuat, saat kau mengamini doa mereka dan aku malah bersorak dengan tokoh diktator jerman faforitku, menggeser kursor dengan acak
Aku berusaha keras tak peduli, meski aku melihat
Aku berusaha mati-matian membuang cinta yang kurasa
Aku mulai membayangkan hari sibukmu, dan mulai membenci
Aku mulai dengan membanting ponselku, saat tanganku tak tega dan mulai menekan nomermu
Membenamkan kapala dalam bantal
Dan berpikir sudah saatnya untuk membiarkan semuanya..
……………………………………………………..
Sudah lama, sejak aku terbangun dan jum’at di minggu awal September berlalu
Dan aku seperti dijegal dan melihat wajahku sendiri di cermin setiap bangun tidur, tampak berbeda
Aku membiarkan jam-jam makan siang berlalu begitu saja
Aku masih mengejar bis jemputan ter-awal
meski aku tau kau tak akan menanggapi panggilanku
Jum’at awal September
Aku tau kau menunggu
Aku tau kau kecewa
Aku tau kini kau menyumpahiku
Aku tau kau sekarang sadar bahwa wanitamu ini seperti roller coaster
Aku tau kau tengah menyesal dengan dingin yang kau rasakan di setiap pagi buta tanggal 1 syawal
Dan saat ke 104 panggilanku kau abaikan, satu yang kusadari bahwa aku yakin telah kehilanganmu
Kusembunyikan wajahku di kolong meja
Dan mulai membangun gunungan tisu di tempat sampah
Menyesali semuanya
Minggu kemarin aku menginginkan kesibukan yang luar biasa
Dan sekarang aku berdoa sebaliknya
Karna yang ku inginkan hanyalah bel pulang kerja berdentang
Aku mulai berjalan pelan di lantai Hall perusahaan, menunduk menghitung langkah kaki di setiap kotak keramik
Temanku berkata aku sakit jiwa
Tapi aku merasa baik-baik saja
Aku masih bisa berpikir tentang semua dan normal
Aku masih bisa menyadari, tujuh jam yang lalu
Saat bis jemputan mulai meninggalkan area parkir dan aku menerawang kearah gelapnya subuh
Aku sadar bahwa aku merasa penuh dan berani saat melihat tawamu dan mendengarkan suaramu
Sesekali menyahut dan menatapmu
Aku tau ini permintaan maaf yang sangat telat
Tapi jika kau melihatku di sudut kamar ini sekarang
Aku berharap kau tahu bahwa saat aku tidak melakukan semua itu di hari lahirmu, aku hampir melakukannya.
Cikarang,04/10/13 01:49
Berharap aku menyadari apa yang kupunya saat kau bersamaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H