Mohon tunggu...
Agnia Melianasari
Agnia Melianasari Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia pembelajar

-Writer -Speaker -Voice Over -MC, Moderator -Young Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme Oh Feminisme, Akankah Terhenti di Jalan Buntu?

9 Maret 2021   16:12 Diperbarui: 9 Maret 2021   19:05 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebelum membahas mengenai feminisme, perlu kita ketahui terlebih dahulu perbedaan antara feminitas dan feminisme. Feminitas adalah sikap perempuan yang dianggap pantas yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Sedangkan feminisme adalah gerakan emansipasi perempuan dimana perempuan menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Pergerakan ini dimulai pada abad ke-19 dan masih berlanjut sampai sekarang. 


Memangnya hal apa sih yang mendorong adanya gerakan feminisme?

Jaman dulu perempuan dianggap  sebagai masyarakat menengah; kela s 2. Adanya gerakan feminisme adalah untuk menjawab serta melawan penindasan perempuan yang dilakukan oleh oknum-oknum dan budaya patriarki yang kini masih meluas. Perempuan bukanlah makhluk nomer dua yang diciptakan Tuhan. Perempuan bukan hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki. Perempuan bukan makhluk lemah yang bisa ditindas dan diremehkan dengan leluasa. Miris sekali ketika sekarang ini masih banyak mendengar berita-berita negatif terkait penindasan bahkan pelecehan yang menjadikan perempuan sebagai objeknya. Bukankah kita adalah bangsa yang sudah merdeka? Bebas? Lantas, dimana dan apa sebenarnya arti dari kebebasan tersebut? 

Sedangkan kita tahu bahwa tidak satupun manusia yang betah dalam keadaan terkekang. Setiap orang  ingin melakukan apapun yang mereka mau-- mencintai, bekerja, menempuh pendidikan, bercita-cita dan lain sebagainya. Akan tetapi kita juga harus paham akan etika-etika kehidupan. Kita tak boleh melakukan diskriminasi gender. Setiap manusia mempunyai porsi dan hak dalam menjalani kehidupannya masing-masing. Dengan adanya etika itulah manusia dapat bernilai dan bermartabat. Tidaklah benar jika kita melakukan sesuatu dengan mengedepankan obsesi diri sampai mengorbankan dan membahayakan orang lain.

Sejarah telah banyak menceritakan tentang eksistensi perempuan, baik dari segi perjalanan dan perjuangan perempuan dalam menyebarkan agama, pendidikan, maupun politik, juga tak sedikit sejarah mengenai penindasan yang terjadi pada kaum perempuan. Dalam sejarah penyebaran agama Islam sendiri, kita mengenal Siti Khadijah. Beliau merupakan istri pertama Nabi Muhammad SAW. yang telah mengorbankan harta bendanya untuk kepentingan penyebaran agama Islam. 

Sedangkan di Indonesia kita tentu tak asing lagi dengan tokoh emansipasi wanita "R.A Kartini" yang merupakan  seorang perempuan keturunan bangsawan yang telah berani melawan budaya patriarki yang mengakar pada masyarakat sosial kala itu. Kaum perempuan pada saat itu tidak diperbolehkan untuk mengenyam bangku pendidikan sedikitpun dengan alasan "Perempuan tidak akan bisa merubah dunia; dunia perempuan hanyalah sebatas dapur, sumur dan kasur." Hal inilah yang menggugah seorang Kartini untuk menjadi sesosok perempuan tangguh meskipun dia sendiri adalah seorang keturunan bangsawan. R.A Kartini pada waktu itu memperjuangan hak-hak perempuan untuk bisa mendapatkan bangku pendidikan dan mendapatkan hak akan dirinya sendiri juga di lingkungan sosial.

Akhir-akhir ini ruang maya kita sering dipenuhi oleh berbagai berita negatif serta isu-isu yang melibatkan perempuan sebagai objeknya. Dari mulai beredarnya berita tentang pelakor (perebut laki orang) sampai pelecehan seksual yang bahkan terjadi di ruang lingkup kehidupan kampus. Apakah masalah itu semua sepenuhnya disebabkan oleh perempuan? Bagaimana seharusnya kaum lelaki bisa ikut andil dalam upaya pelurusan gerakan feminisme?

Budaya patriaki telah tertanam  seperti pohon yang mengakar kuat ke dalam tanah. Meskipun saat ini sudah banyak perempuan yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, bahkan bisa menduduki kursi kepemimpinan dalam suatu pemerintahan, namun hal tersebut masih belum menebang budaya patriarki sampai pada akarnya. Dimana masih tersisa tangan-tangan jail yang merendahkan dan melecehkan kaum perempuan dengan mengatasnamakan maskulinisme.  Jika diperhatikan, saat ini angka kekerasan seksual terhadap perempuan semakin bertambah. Itulah mengapa  kita perlu memperjuangkan hak dan harga diri perempuan.

Kita ambil contoh kasus pelecehan yang ada di lingkungan millenial seperti di kampus. Tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada saja tindakan-tindakan (yang mereka anggap biasa bahkan sebagai candaan) yang merendahkan harga diri perempuan. Seperti misalnya teman laki-laki yang 'iseng' menyentuh bagian tertentu dari anggota tubuh teman perempuannya. Tidak semua perempuan berani untuk mengungkapkan 'masalah' yang terjadi padanya. Apalagi terkait gangguan/ancaman seks yang dialaminya. Bisa saja perempuan tersebut merasa malu atau bahkan takut untuk mengatakan dan mengadukannya. Maka dalam hal ini tentu peran kaum lelaki sangatlah dibutuhkan. Jangan sampai ada anggapan ketika seorang laki-laki yang tidak berani melakukan tindakan-tindakan "jail" kepada perempuan, Ia merasa maskulinitasnya terkikis. Seseorang dikatakan maskulin jika ia bisa menghargai dan melindungi perempuan. Bukan yang berani melakukan tindakan-tindakan negatif yang dapat merenggut harga diri perempuan.

Namun demikian, kaum lelaki juga bukan musuh yang harus diperangi oleh kaum feminisme, melainkan kaum yang harus bisa bekerja sama untuk meluruskan arti 'kebebasan' manusia, dan bersama-sama dengan kaum perempuan mewujudkan kehidupan yang cerah.
Dalam kasus-kasus penindasan yang terjadi, sebenarnya akar permasalahannya bukanlah perihal manusia yang menindas manusia, bukan juga golongan tertentu yang menindas suatu golongan lainya, melainkan ada sebuah sistem yang menguasainya sehingga berdampak kepada eksploitasi, dominasi, dan diskriminasi.

Feminisme dan maskulinisme akan terhenti di jalan buntu jika kita terus-terusan hanya menganggap laki-laki sebagai tokoh utama dalam penindasan perempuan, ataupun perempuan  yang menjadi umpan bagi laki-laki. Hal tersebut tidaklah benar, bagaimana tidak, kita berada dalam suatu sistem yang (mungkin kenyataannya) membuat kita untuk terus-terusan bertengkar tanpa tahu titik permasalahannya. Bukankah untuk menyelesaikan masalah kita harus menemukan sebuah pembenaran? Bukan terus-terusan menanyakan 'Siapa yang salah'. Kaum perempuan dan kaum laki-laki harus bersatu padu guna mencapai gerakan feminisme dan maskulinisme menuju kehidupan yang maslahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun