Aku masih mengingat jelas tentangmu, tentang kisah singkat itu. Kau, sosok asing yang berhasil masuk dan menghuni rumahku. Meyakinkan diriku, bahwa kau berbeda dengan tamu sebelumnya yang pernah aku terima. Lewat tutur kata yang lembut, kau beri bingkisan manis berupa janji. Dan sialnya, aku percaya. Gemuruh bahagia dalam hati menerima dan menaruh harap atas dirimu.
Kondisi di dalam kapalku saat itu sangat hancur. Pecahan kaca dan air mata memenuhi setiap sudut ruangan. Aku membiarkanmu masuk menelusuri ruang demi ruang, menceritakan kronologi dan beberapa kejadian yang menyisakan trauma, dan berharap kamu akan pergi.
Namun, dengan lihainya kamu memutar teori, membawaku hanyut lebih dalam ke dalam lautan hitam. Ucapan lisanmu terus saja meyakinkanku bahwa mungkin sudah tidak ada lagi alasan untuk memulai memperbaiki dan menata ulang kembali hati.
Hari demi hari, perlahan kondisi ruangan itu mulai rapi. Alunan suaramu yang terngiang seakan menjadi alarm untukku. Beberapa kali aku mengeluh, karena aku merasa, aku yang berperan besar dalam hal ini. Benar, kita memulai bersama, namun kau selalu meninggalkanku di tengah proses dengan alasan sisi lain kesibukanmu. Sampai akhirnya kapalku tertata kembali, kau mengajakku berlayar menuju suatu pulau dan kau janjikan sesuatu yang indah di ujung pulau itu.
Lukisan semesta yang indah mewarnai awal perjalanan beriringan dengan masalah kecil yang mulai menghampiri. Terkadang sesuatu terasa tidak masuk akal. Aku selalu melawan logika, tetap percaya padamu dan mencoba berdamai bahwa kunci suatu hubungan adalah “kepercayaan”. Seiring berjalannya waktu, perasaanku semakin dilema antara kepercayaan atau logika. Aku mencoba bertanya, barangkali jalan yang ku ambil salah.
Ditengah perjalanan, aku mendapati kenyatan bahwa kau juga berlayar di kapal lain. Dengan pandainya kau memutar balikkan fakta meyakinkan bahwa semua yang terlihat oleh mata, terdengar oleh telingaku adalah Salah. Kau membuang semua kesalahan ini padaku.
Dan lagi, Kau melangkah meninggalkanku sendiri di atas kapal dengan dalih pergi mencari modal untuk melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, kau menegaskan tentang kepercayaan dalam hubungan.
Tanpa sengaja, burung di tengah laut seakan memberi isyarat tentang kapal lain yang tak jauh, yang dengan jelas sosokmu berdiri bersama pemilik kapal itu. Dan benar, pemilik kapal itu seolah menegaskan bahwa kau adalah Kapten di kapal itu dan kau akan pergi ke pulau yang sama bersamanya. Bukan maaf ataupun penyesalan yang aku dapatkan darimu, namun justru penghianatan.
Bangunan kokoh yang perlahan retak, kini roboh sudah. Isi ruangan yang semula rapi, sekarang hancur, bahkan lebih hancur dari sebelumnya. Pecahan kaca berserakan dimana-mana. Air mata mengalir begitu derasnya. Kapal yang kita tumpangi pun hancur terombang-ambing badai.
Tidak ada lagi pertahanan yang membuat kapal tenggelam secara perlahan. Aku lelah, lemah dengan kehancuran ini. Sosok yang membawa bingkisan manis itu meninggalkan kenangan yang pahit. Sosok yang menjadi alasanku berhasil menata kembali hati, kini menghancurkan kapal beserta isinya, lebih dari sebelumnya.
Sosok yang menyembuhkan luka itu menciptakan sayatan baru yang lebih dalam. Meninggalkan jenis trauma baru yang lebih menyakitkan. Aku membencinya, menyesali hari-hari yang kulewati bersamanya, sungguh. Singkatnya, 16 Maret – 26 November itu kejam dan kisah pilunya selalu abadi bersama goresan luka dan trauma.