Mohon tunggu...
Niam At Majha
Niam At Majha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat Buku dan Penikmat Kopi

Penulis Lepas dan Penikmat Kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat untuk Ibu

17 Oktober 2014   13:48 Diperbarui: 5 Januari 2023   10:36 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepada yang tercinta; Ibuku.

  Aku masih ingat dengan janji yang terlontar dari mulut ibu, yang akan membiyayai pendidikanku hingga aku menuai kesuksesan. Dan aku pun bersumpah setia agar cita-citaku dan harapan luhur Ibu tercapai. Meskipun banyak nada-nada nyinyir dari tetangga sebelah, semua itu hanya angin berhembus. Yang tak perlu di tanggapi dan lebih baik sukut saja.

Bu, yang kasih sayangmu kurindukan.

 Masih sanggupkah anak mu ini, menahan gejolak kerinduan yang membuncah?sering aku berdiam diri merenung atau pun berangan bagaimana rasanya kasih sayang dari ibu, bagaimana enaknya ditimang?Bagaimana rasanya Bu….? Ah..semua itu hanya bisa dinikmati orang yang berkecukupan lain halnya dengan aku. Akan tetapi karena seringnya Ibu meninggalkanku, demi masa depanku, demi derajatku dikemudian hari. Maka aku pun menemukan kebahagiaan, kasih sayang dalam kesendirian. Ibu pernah bilang apabila manusia hidup itu punya lakon sendiri-sendiri dan tak mungkin sama. Dan hakekat hidup manusia adalah sendiri. Ketika dalam rahim juga sendiri, dalam kubur pun nanti juga sendiri dan kelak dihadapan Tuhan mempertanggungjawabkan semua perbuatan pun sendirian. Aku pun mengerti kesendirian itu Bu ; semuanya itu berkat Ibu.

Bu, kau adalah pahlawanku

 Pernah Ibu menasehatiku, ketika itu ibu mau berangkat ke Arab Saudi menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita), bahwa Ibu menyuruh aku untuk menjadi bintang bukan menjadi bulan. Karena bintang memiliki cahaya sendiri meskipun kecil. Lain lagi dengan bulan cahayanya terang akan tetapi hasil pinjaman. Dan aku hanya diam membisu mendengar pituah itu. Ibu juga bilang jika hidup ini adalah milik kita. Dan kitalah perencananya dan sekaligus pembuat keputusannya bagi seluruh hidup kita. Aku pun percaya dengan apa yang Ibu ucapkan. Sebab sejak lahir manusia sudah diberi kemerdekaan oleh Tuhanya. Dan bagi Tuhan tak ada suatu hal yang sulit. Hanya dengan bersabda kun fayakun, maka jadilah kehendak- Nya. Baik buruknya kehidupan adalah hasil dari perbuatan kita sendiri, kelak akan meneguk bahagia disurga atau pun neraka kita yang menentukan.

 Meskipun aku membujuk Ibu, dengan berbagai rayuan, dengan tangisan, toh akhirnya pergi juga meninggalkanku. Demi masa depanku kata Ibu. Sebab orang miskin dinegara kita ini tak dihargai. Sedangkan wakil rayat lebih asyik berongkang-ongkang dikursi tak mau melihat atau pun sekedar melirik rakyatnya yang sedang kesusahan mencari sesuap nasi.

Ibu, pahlawanku yang tak pernah bosan mencari uang untukku.

Ku mulai malam-malamku tanpa Ibu, mengarungi kesendirian tanpa suara panggilan atau pun bentakan Ibu ketika menyuruhku untuk mengmbilkan sesuatu. Aku sendiri dalam kerumunan banyak orang. Aku hanya bisa menangis dengan air mata yang tertahan. Usiaku ketika itu belum genap sepuluh tahun, yang dua tahun kebelakang ayahku telah meninggalkannku untuk selamanya memenuhi panggilan Ilahi. Ayah meninggal tanpa sakit, padahal sebelum aku berangkat sekolah masih sempat menyiapkan semua keperluanku. Ah..begitulah sebuah kehidupan. Ada harapan, ada kesedihan, ada tangisan dan ada pula kebahagiaan.

 Masih terngiang dengan jelas dalam gendang telingaku, kata-kata Ibu, nasehat-nasehat Ibu, sebelum pergi merantau mengadu nasib di negara orang.

 “Nak…kau tak boleh mendahului nasib. Ibu harus pergi, semua ini demi masa depanmu dikemuadian hari. Nanti kalau Ibu dapat uang kan bisa membiayai sekolahmu, membeli buku-bukumu karena kau gemar membaca, yang sabar ya nak..Ibu sayang kamu, doa Ibu selalu terlantun untukmu dalam sujud setiap waktu.”

 Aku hanya mematung tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mulut terasa terkunci rapat, sepatah kata tak mampu keluar. Kaku. Aku berpelukan dengan Ibuku, rasanya nyaman dan damai serasa terlindungi hati ini jika dalam dekapannnya.

 Bu, kau tahu rasanya kesepian.

 Ketika malam merabah dengan butanya. Disaat suara-suara kesunyian menjadi ironi kesepian. Aku rindu denganmu Bu.. meskipun nenek telah menemani malam-malamku, meskipun nenek dan kakek selalu mendongenginku ketika aku terjaga pada tengah malam. Tapi semua itu tak mampu untuk menggantikannya.Semua kasih sayang itu telah lain. Aku khawatir tentang Ibu; sebab sore tadi, aku melihat tayangan televisi yang memberitakan tentang penyiksaan TKI diluar negeri. Bahkan ada yang sampai meninggal. Aku sedih Bu…!! Yang menyedihkan lagi dari Presiden hanya bisa minta maaf kepada keluarga yang terkena musibah dan memberi sedikit tunjangan uang. Apakah wakil rakyat itu tak mempunyai perasaan? Apakah pula tindakannya itu sudah cukup?

 Andai saja Bu.. negara kita ini, dan para wakil ratyatnya lebih mementingkan rakyatnya tak mungkin orang kecil seperti kita ini susah payah mencari uang dinegara orang. Bu..Ibu..aku pernah punya mimpi hanya mimpi tak lebih, andaikan aku menjadi Presiden maka kebijakan yang akan aku tempuh adalah mementingkan kesejahteraan rakyat, biar gajiku sedikit asalkan rakyat bahagia, buku-buku bacaan akan aku jual murah supaya orang miskin mampu membelinya. Sebab jika masyarakat melek dalam membaca maka kesejahteraan suatu hari nanti akan terwujud. Tapi… Bu..sekarang? para wakil rakyat lebih mementingkan keluarganya dengan fasilitas yang telah diberikan rakyat. Aku jadi bertanya yang miskin itu aku atau mereka Bu? Yang bodoh itu aku atau mereka ? Apakah semuanya lupa apabila suatu ketika disaat nyawa tak ada diraga akan di mintai pertanggungjawaban sendiri-sendiri kayak pertama kita lahir kedunia.

  Ibu..pasti merasakan kegelisanhanku dalam kesendirian.

 Karena aku terlahir dari sebuah kenikmatan. Terbentuk dari cinta dan kasih sayang, wujud dari proses panjang yang melelehkan. Aku perwujudan dari nutfah hina yang memulai perjalanannya mencari sel kehidupan, mengarungi jalan sunyi dengan berjuang menaklukkan coba sebelum pembuahan itu berhasil di selami menyatukan gen yang bertolak dengan nafsunya. Dan terus berjalan menuju rahim. Dari rahim ibu aku terlahir maka apa-apa yang aku rasakan mungkin Ibu juga merasakanya. Sebab masih dalam satu darah. Lantas jika begitu, kenapa pula Ibu sering pergi meninggalkanku? Kenapa pula Ibu selalu bersilat lidah ketika aku melarang untuk pergi merantau? Kenapa bu…?

Ibu…Inilah kesedihan yang paling pilu.

Awal tahun dua ribuan, pertama kali desa kita mendapatkan jatah Raskin (beras untuk orang miskin). Sebelum mengambil beras Raskin tersebut pihak kepala desa terlebih dahulu membagikan kupon, bagi orang mampu dan anak yatim piatu. Karena penuturan dari kepala desa anak yatim mendapatkannya, maka nenek mengusulkan kepada ketua Rt, apa yang di bilang Pak Rt pada nenek? Kalau aku ini tak ada yang mengurusi, maka tak perlu mendapatkan beras jatah Raskin, nenek pulang kerumah dengan membawa duka dan luka dalam hati. Begitu ya Bu..kalau orang miskin di negara kita ini tak mendapatkan perhatian, malahan dibuat kesempatan untuk menjulang kekayaan yang sudah kaya, apa mungkin alasan Ibu kerja merantau menjadi TKW itu dengan alasan itu? Kalau kita mau dihormati dan dihargai harus kaya dulu? Lha nurani beragama kita bagaiamana? Binika tunggal ika kemana? Wah…mungkin kelak jika aku sudah besar bisa menjawab semua pertanyaan itu dan menemukan sesuatu dalam kesendirian yang termenung.

 Bu…aku melihat raut wajah nenek penuh dengan pias dan sedih sembilu. Aku tahu jika beras jatah hanya mampu untuk bertahan dua hari saja, kemarin malam saja nenek mengalah untuk makan ketela pohon sedangkan nasinya buat aku dan adik ibu yang umurnya denganku terpaut tiga tahunan. Apakah ibu tak rindu dengan kami semua? Aku hanya bisa berdoa agar ibu pulang dengan selamat. Amin..

  Bu.ini uang hasil keringatmu yang pertama kali engkau kirimkan padaku.

Betapa bahagianya hati ini bu, disaat mendengar kalau ibu berkirim kabar dan sedikit uang. Jadi aku lebih tenang dan tak lagi malu di waktu lebaran sebab sudah mampu membeli baju baru, wah pokoknya semuanya baru. Maklumlah bu anakmu ini masih kecil jadinya rasa kepingin dengan anak-anak yang lain masih begitu melekat. 

 Dulu, di lebaran pertama Ibu pergi, untuk sedikit membahagiakan hatiku maka nenek memberikan pakaian bekas tapi masih lumayan baik. Pakaian itu didapat dari adik nenek yang kaya sudah Haji pula. Akal luguku pun bilang betapa baiknya saudara kita itu Bu..! meskipun pakaian bekas akan tetapi aku cukup bersyukur.

 Bu..hari ini adik nenek. Berkunjung kerumah gubuk reot kita. Entah dengan tujuan apa aku sendiri kurang tahu, yang aku tahu ia membawa banyak jajanan buatku dan sedikit beras buat nenek sekeluarga. 

 Bu..adakah alasan buatku agar aku tak marah dengan kejadian ini?

 Sebelum aku dengan beranjak untuk tidur, setelah magrib tadi nenek bilang perihal kedatangan adiknya siang tadi. Yaitu ia telah meminjam uang hasil jerih payah Ibu. Hatiku sakit, tapi anak sekecil ini langkah apa yang harus di ambil? Aku masih teringat janji Ibu sewaktu akan pergi merantau, kalau semua uang yang Ibu cari hanya untuk biaya pendidikanku, tapi mengapa yang dirumah tidak menggunakan seperti apa pesan Ibu? Ah…apa mungkin kebutuhan orang tua lebih banyak sehingga anak sedini aku tak boleh mengerti atau sekedar tahu?

 Bu..aku cuma khawatir kalau uang hasil kucuran keringat Ibu itu tak digunakan semestinya, sebab uang itu bisa membuat mata batin manusia menjadi buta, tak perduli saudara. Semuanya sama yang membedakan adalah kepentigannya untuk apa? Seperti siaran  di televise yang pernah aku tonton kalau para pejabat pemerintah itu punya satu tujuan yang mulia yaitu bercita-cita ingin menjadikan Negara kita ini bebas dari kemiskinan dan bertembaran lapangan kerja, akan tetapi kepentingannya yang berbeda sebelum melangkah untuk kejalan tersebut.  Yaitu terlebih dahulu adalah dengan memperkaya diri dan keluarganya dengan di tunjang oleh fasilitas Negara, jika para pejabat Negara berkepintingan seperti itu, lalu kapan kepentingan rakyat di dahulukan?

Bu..kekhawatiran anakmu benar.

 Saat itu, ketika ada pembayaran sekolah, dan nenek tak mempunyai uang sepeserpun. Sebenarnya sih ada uang; akan tetapi buat jatah untuk membeli pupuk yang harganya semakin hari selalu melambung kelangit serta sulit. Padahal negara kita mayoritas penduduknya adalah petani, entah mengapa ya.! Harga pupuk selalu tinggi terus.

 Senja itu, aku dengan nenek berjalan kaki kerumah adiknya kira-kiri satu Km lebih untuk meminta uang yang ia pimjam dulu. Tapi apa yang aku dapat Bu..? Bukan uang melainkan cercaan dan dalih-dalih alasan orang alasan. Aku hanya berdiam dengan kejadian itu, sedangkan nenek masih merengek meminta uang sebab besok aku harus melunasi pembayaran sekolah, jika tak bisa melunasinya maka aku akan dikeluarkan dari pihak sekolah. Sungguh sedih Bu..apa mungkin orang miskin itu dilarang sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak?

 Dengan hampa. Dan sedih yang membiru. Aku dengan nenek berjalan kaki dengan jiwa yang luka. Dalam perjalanan menuju kerumah, nenek sering menasehatiku.

 “Jangan bersedih dan kawatir ya nang..Insya Allah nenek akan berusaha agar kamu tak tetap sekolah dan bisa belajar dengan teman-termanmu. Dan di kemudian hari nanti bisa dibanggakan Ibumu serta keluarga.” Ujar nenek sambil mengelus-elus kepalaku sebagai tanda kasih sayang.

 “Iya nek..” Jawabku singkat.

 Meski nenek telah menasehati panjang lebar. Gemuruh dalam hatiku kekawatiran-kekhawatiran tentang esok hari seakan menganga di depan mata. Jika aku akan di keluarkan dari sekolah, lalu aku harus berbuat apa? Bagaimana ejekan-ejekan teman-teman; masak Ibunya berkerja keluar negeri anaknya putus sekolah? Tabahkah aku dengan yang akan terjadi besok? 

 Bu..nenek selalu berkorban buatku.

 Embun pagi belum sempurna melelehnya. Kicauan burung-burung menyabut pagi dengan keceriaan. Mentari di ufuk timur bersinar dengan penuh kemanjaan dan keikhlasan untuk seluruh umat manusia. Aku begitu gelisah dengan pagi ini. Aku begitu sedih dengan hari ini. Aku begitu takut untuk sekedar menyambut mentari yang bersinar. Lha Ibu tahu apa tidak dengan apa yang anakmu rasakan sekarang? Ibu sedang apa disana? Ingatkah kalau anakmu masa depannya ditentukan dengan hari ini?

 “Nek..bagaiamana..aku sekolah apa tidak…?”

 “Iya tetap sekolah nang!”

 “Lantas bagaimana dengan pembayaranya?”

 “Sudah ada uangnya, kamu tak usah khawatir yang terpenting kamu belajar yang rajin jangan malas-malasan.”

 “Dari mana uangnya nek…? Kemarin waktu kita minta uang ke adik nenek kan tak di berikan sepeser pun”

 “Itu urusan nenek dari mana uangnya, yang penting kamu bisa membayar sekolah dan tak jadi di keluarkan dari sekolah.”

 “Makasih banyak ya nek…”

 Beberapa hari berjalan. Dan aku pun mengetahui apabila uang yang buat biaya sekolahku itu teryata uang jatah buat beli pupuk. Padi yang waktunya di beri pupuk telah terbengkelai. Entah nanti bisa di panen apa tidak menjadi kehendak Ilahi Robbi. 

Bu..semua apa yang dilakukan itu ada balasannya. Karma betugilah bahasa kejamnya.

 Aku selalu percaya dan yakin mahkamah Tuhan lebih adil ketimbang pengadilan umat manusia. Aku selalu berdoa untuk Ibu yang sedang merantau. Dan aku pun dengan penuh harap meminta rindlomu dengan ikhlas akan jejak langkah yang anakmu pijak.

Lereng Muria-Plukaran

Desember 2010-2014

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun