Apa yang terlintas dipikiran Anda ketika mendengan bazar buku, pasar buku, pameran buku. Pasti jawabannya akan seragam yaitu, harganya murah, beraneka ragam genre buku yang tersedia bebas memilih dan memilah dan yang pasti pembeliannya dapat diperkirakan sesuai budget keuangan kita.
Begitulah pasar buku, dan bazar buku. Meskipun para penyedia jasa pameran sudah bersusah payah mengusahakan agar kegiatan yang berkaitan dengan dunia perbukuan, jualan bukunya dapat diminati masyarakat. Nihil hasilnya; sepi. Sesepi panitia yang live facebok dengan konten deretan buku-buku tertata rapi tanpa tersentuh pembeli.
Sedikit cerita, berbagi rasa kemarin setelah adzan magbrib berkumandang dengan lantang. Saya dengan penyair Puji Pistols menyempatkan diri untuk ke pasar buku yang berada dekat alun-alun kota dengan jargonnya Bumi Mina Tani. Saya mengiyakan saja ketika diajak Puji Pitols tersebut sebab teman saya tersebut mengemukakan apabila di pasar buku tersebut ada buku-buku referensi yang sedang saya cari.
"Kau harus datang dan membeli, selain bukunya bagus-bagus dan murah pula"
Setelah mendengar penjelasan tersebut saya langsung menuju lokasi. Sepi, sesunyi orang-orang yang memilih idialisnya menjual buku-buku. Tak ada pengunjung hanya ada tiga hingga empat panitia yang tampak lalu lalang dengan menawar wajah dengan mode tanpa semangat. Saya menyadari hal tersebut, namanya orang-orang buku ya seperti itu. Harus meniadakan hiruk pikuk keramaian.
Ketika saya lagi memilah buku-buku referensi yang saya perlukan seperti Kandang Ayam Korpus Dapur Teks, Buka Pintu Kiri karya Afrizal Malna, Angkringan, Bermain Kata Beribadah Puisi karya Joko Pinurbo dan Tentang Kita dan Laut, Pirgi dan Misota, Penjual Bunga Bersyal Merah karya Yetti KA, Titik Akanan, Tonggoret, Gema Tanpa Sehutan Karya Azem Zam-Zam Nor itu untuk penulis dan penyair Indonesia sedangkan untuk buku-buku terjemahan saya mendapatkan buku-buku Anton Kurnia seperti Penjual Sayap dan Istri Stanlin, Seni Penerjemah Sastra dan lain sebagainya.
Buku-buku yang saya perlukan sudah saya dapatkan. Dan lagi satu bukunya lebih murah dari pada seporsi makan di warung Padang. Dan pula lebih murah minum secangking Capucinno di Caf ternama dan elit. Ketika saya lagi khusuk dengan buku-buku lainya saya mendengarkan sebuah celoteh ringan namun menyimpan ketaran kesedihan.
"Sip...nasib live facebook dengan niatan ada yang nonton, lho kok yang nonton nol..rugi di kuota..."
Setelah mengungkapkan hal tersebut orang tersebut tertawa dengan lepas seakan tak terjadi apa-apa. Meskipun dalam realiatasnya jualan bukunya sepi pengunjung apalagi pembeli. Begitulah realitas buku-buku yang sekarang ini terjadi. Sepi pembeli, adapun ada yang beli masih saja di tawar-tawar. Melihat realitas tersebut saya jadi ragu dengan jargon yang saya dengan sejak BB saya 55 kg dan sekarang menjadi 95 kg yaitu "buku adalah jendela dunia" Pepatah ini tentunya mengandung arti tertentu.Â
Sekilas kita bisa mengartikan buku adalah jendela sebagai ungkapan akan pentingnya buku untuk manusia. Tak dipungkiri memang karena buku menjadi penanda kemajuan peradaban manusia. Dan apabila menjadi penanda kemajuan peradaban manusia tapi mengapa buku-buku menjadi sesuatu yang asing. Sesuatu yang tak penting dan hanya sebagian kecil saja yang bisa memahami makna dan arti pentingnya sebuah buku.