Mohon tunggu...
Niam Mustain
Niam Mustain Mohon Tunggu... -

aku adalah seseorang yang lagi haus akan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Muhammad Abduh tentang Pendidikan

17 Desember 2014   05:48 Diperbarui: 4 April 2017   16:28 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

A. Pendahuluan
Gagasan pembaharuan dalam Islam sesungguhnya muncul pada akhir abad kedelapan belas dan awal kesembilan belas Masehi. Hal ini ditandai dengan terjadinya kontak Islam dengan Barat untuk kali kedua. Kontak ini diantaranya telah mengakibatkan masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi Barat kedalam dunia Islam. Proses ini diawali dengan ekspedisi Napoleon ke Mesir pada tahun 1798 M. perisstiwa ini dalam lintasan sejarah merupakan titik tolak bagi permulaan periode Modern.
Kedatangan Napoleon ke Mesir sebenarnya bukan murni penetrasi dan ekspedisi. Akan tetapi, bersama didatangkan pula ilmu penngetahuan dan kebudayaan Barat. Hal ini diantaranya dibuktikan dengan didirikannya Institute d’Egypte yang didalamnya dipelajari ilmu alam, ilmu pasti, ilmu ekonomi-politik, dan ilmu sastra seni. Selain itu Napoleon juga membawa percetakan hurup Arab, di samping percetakan hurup Latin, yang dapat dipergunakan oleh ahli-ahli keilmuan yang mahir berbahasa Arab. Oleh karena itu penetrasi dan ekpedisi Napoleon setidaknya memiliki dampak positif bagi kaum Muslimin. Mereka semenjak itu diperkenalkan dengan peradaban Barat yang ketika itu dipandang telah sampai pada taraf kemajuan. Kaum Muslimin amat terkejut melihat kemajuan yang telah dicapai Barat. Mereka tiodak mengira, barat yang dahulu pada abad kedua belas dan ketiga belas Masehi belajar dari Islam. Kini telah begitu maju melebihi kaum Muslimin dalam bidang ilmu penegtahuan dan teknologi.
Melihat kondisi yang seperti itu, ulama’ Islam abad kesembilan belas mencoba merenungkan apa yang seharusnya dilakukan kaum Muslimin agar dapat meraih kembali kemajuan yang pernah dicapai. Salah satu ulama yang ikut berperan dalam pembaharuan ini adalah Syeikh Muhammad Abduh.
Mengingat begitu luasnya pemikiran Syeikh Muhammad Abduh secara keseluruhan maka dalam pembahasan ini akan difokuskan Muhammad Abduh tentang Pendidikan.
B. Muhammad abduh tentang pendidikan
Pemikiran dalam pendidikan lebih banyak difokuskan pada masalah menghilangkan dikotomi pendidikan, mengembangkan kelembagaan pendidikan, pengembangan kurikulum dan metode pengajaran. Beberapa gagasan dan pemikirannya ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:
1. Menghilangkan dikotomi pendidikan
Menurut Muhammad Abduh, bahwa diantara faktor yang membawa kemunduran dunia Islam adalah karena adanya pandangan dikotomis yang dianut umat Islam, yakni dikotomi atau mempertentangkan antara ilmu agama dengan ilmu umum. berbagai lembaga pendidikan Islam di Dunia pada umumnya hanya mementingakan ilmu agama, dan kurang mementingkan ilmu umum. Menurut Muhammad Abduh, corak pendidikan yang seperti itu lebih banyak berdampak negative dalam dunia pendidikan. System madrasah lama akan menghasilkan ahli ilmu agama, sedangkan sekolah pemerintah akan mengeluarkan tenaga ahli yang tidak mempunya visi dan wawasan keagamaan. Keadaan ini mirip dengan terjadi di Indonesia sebelum tahu 70-an. Yakni pada masa itu madrasah yang bernaung di bawah Departemen (sekarang Kementrian) Agama hanya mengajarkan ilmu agama, sedangkan sekolah yang berada dibawah kementrian Pendidikan Nasional kurang mementingkan agama.
Untuk mengatasi masalah dikotomi yang demikian itu, Muhammad Abduh mengusulkan agar dilakukan lintas disiplin ilmu antarkurikulum madrsah dan sekolah, sehingga jurang pemisah antara kaum ulama’ dan ilmuan modern akan hilang.
Bagaimana pendidikan menurut Abduh? Rasyid Ridla, murid Abduh, menuturkan pendidikan bagi Muhammad Abduh bertujuan “mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dari tujuan pendidikan tersebut dapat dipahami, bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan dalam pengertia yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan tujuan yang demikian pula ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan pendidikan Muhammad Abduh jelas berbeda dengan tujuan pendidikan yang berlaku saaat itu yakni, hanya mementingkan perkembangan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya (Arbiyah Lubis, 1993:156).
Pendidikan akal ditujukannya sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa kemelaratan diri (Tarikh, 1931;17). Dengan menanamkan kebiasaan berfikir agaknya Abduh berharap kejumudan yang telah merata di kalangan umat Islam dapat diterobos.
Selain pendidikan akal ia pun mementingkan pendidikan spiritual. Dengan demikian ia tidak hanya mengharapkan lahirnya generasi yang mampu berfikir, tetapi juga memiliki akhlaq yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapaka moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap mencerminkan kerendahan moral dapat dihapuskan. Dengan demikia keduaaspek, akal dan spiritual, menjadi sasaran utama pendidika Abduh. Ia berkenyakinan apabila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dengan cara akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan agama, maka umat Islam akan dapat bersaing dengan bangsa Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan mampu mengimbangi dalam bidang kebudayaan (Tarikh, 1931;420). Pandangan ini merupakan kritiknya terhadap situasi dan aktivitas di Mesir pada waktu itu, yang hanya memperhatiakn dan mengembangkan salah satu aspek saja, dengan mengabaikan yang lainnya.
Muhammad Abduh dengan agenda reformasinya tampaknya menghendaki lenyapnya system dualisme dalam pendidikan Mesir. Dia telah menawarkankepada sekolah modern agar memperhatikan saspek agama dan moral. Dengan hanya mengandalkan aspek intelek, Sekolah Modern kiranya telah melahirkan Out-Put pendidikan yang merosot dalam hal moral. Sementara seperti Sekolah Agama seperti Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti system pendidikan modern. Sebagai aplikasinya, ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu Barat kepada Al-Azhar, di samping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam Klasik yang orisinal, seperti al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun.
2. Pengembangan Kelembagaan Pendidikan
Dalam upaya mengembangkan kelembagaan pendidikan, Muhammad Abduh mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam bidang yang dibutuhkan, yaitu bidang administrasi, militer, kesehatan, perisdutrian, dan sebagainya. Melalui berbagai lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh berupaya memasukan pelajaran agama, sejarah dan kebudayaan Islam.
Selain itu, pada madrasah yang berada dibawah naungan Al-Azhar, Muhammad Abduh mengajarkan Ilmu Manthiq, Falsafah dan Tauhid. Hal ini merupakan gagasan baru, karena sebelumnya Al-Azhar memandang ilmu Manthiq dan Falsafah itu sebagai barang haram. Selain itu, di rumahnya Muhammad Abduh juga mnegajarkan kitab Tahzib al-Akhlaq karangan Ibn Miskawaih, serta kitab Sejarah Peradaban Eropa yang telah di terjemahkan kedalam bahasa Arab, karangan seorang Prancis, dengan judul al-Thuhfat al-Adaabiyah fi Tarikh Tamaddun al-Mamalik al-Awribiyah.
3. Pengembangan Kurikulum
Muhammad Abduh melakukan pengembangan kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Kejuruan, Serta Universitas Al-Azhar. Pengembangan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
a) Pengembangan Kurikulum Sekolah Dasar
Menurut Muhammad Abduh dasr pembentukan jiwa agama hendaknya dilakukan sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama agar dijadikan pelajaran wajib pada semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama (Islam) merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi Muslim. Dengan memiliki jiwa dan pribadi Muslim, maka rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang selanjutnya dapat menjadi dasar bagi pengembangan sikap hidup yang lebih baik, dan sekaligus meraih kemajuan.
b) Pengembangan Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan
Pengembangan kurikulum sekolah menengah dan sekolah kejuruan dilakukan dengan memasukan mata pelajaran Manthiq dan Falsafah yang sebelumnya tidak boleh diajarkan. Selain itu, dimasukkan pula pelajaran tentang sejarah dan peradaban Islam dengan tujuan agar umat Islam mengetahui beberapa kemajuan dan keunggulan yang pernah dicapai dunia Islam di masa silam, sebagai pemicu lahirnya kebanggaan terhadap Islam serta semangat untuk membangun kembali kejayaan umat Islam.
c) Pengembangan Kurikulum Universitas Al-Azhar
Pengembangan Kurikulum Universitas Al-Azhar dilakukan dengan cara menyesuaikan kebutuhan masyarakat pada waktu itu dengan lulusan pendidikan, yakni orang-orang yang berfikir kritis, komprehensif, progresif dan seimbang tentang ajaran Islam, yaitu para ulama yang intelek dan intelek yang ulama, atau dengan kata lain menjadi ulama modern. Berkaitan dengan ini, maka Muhammad Abduh mengusulkan untuk dimasukkan mata kuliah filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern kedalam kurikulum Universitas Al-Azhar.
Meskipun kurikulum yang dirancang Muhammad Abduh di atas sukar untuk diterapkan secara utuh, lebih-lebih di sekolah umum seperti yang diharapkannya, tetapi materi-materi pelajaran yang demikian dapat dijangkau pemikirannya yang menghargai ilmu-ilmu agama, sama dengan penilaiannyab terhadap ilmu-ilmu yang dating dari Barat. Ia menginginkan agar sekolah-sekolah secara umum menerapkan kurikulum yang demikian, sama dengan keinginannya agar Al-Azhar merubah sisterm pengajarannya, antara lain dengan menerapkan ilmu-ilmu yang dating dari Barat (Tarikh, 1931; 159).
d) Metode Pendidikan dan Pengajaran
Pada aspek metode pengajaran Abduh mengenalakan metode baru dalam pendidikan dan pengajaran saat itu. Ia tidak setuju dengan metode hafalan tanpa adanya pengertian, sebagaimana yang dipraktekkan di sekolah-sekolah pada umumnya, terutama pada sekolah agama. Abduh lebih memilih menerapkan metode diskusi untuk memebrikan pengertian yang mendalam kepada murid (Arbiyah Lubis, 1993; 160). Ia menekankan pentingnya pemebrian pengertian dalam pelajaran yang diberikan. Ia mengingatkan kepada para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode hafalan, karna metode hafalan menurut Abduh hanya merusak daya nalar, seperi yang dialaminya sendiri ketika ia belajar sekolah formal di Masjid Ahmadi di Tanta. (Tarikh, 1931; 160)

Daftar Pustaka
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 308-309.
Toto Suharto, FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM, AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta, 2014, hlm. 231
Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam kajian tokoh klasik dan kontemporer, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Yoyakarta, 1999, hlm. 189.
Toto Suharto, FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM, AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta, 2014, hlm. 231.
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 310-311.
Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam kajian tokoh klasik dan kontemporer, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Yoyakarta, 1999, hlm. 192.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun