Tiga puluh lima tahun yang lalu ada dusun yang hanya berisi sepuluh rumah. Lalu ada pendatang baru yang membeli tanah dan membangun rumah di dusun tersebut. Setelah beliau tinggal, tak lama beliau memberi saran pada warga untuk membangun mushola.
Para warga antusias, bersama-sama mereka mencari dana untuk pembangunan surau. Membuat proposal dan mengedarkannya ke orang-orang dermawan.
Pembangunan surau memakan waktu tiga tahun, hanya mushola kecil. Tidak mengapa , toh penduduk dusun juga tidak banyak.
Surau itu ramai di pakai warga bukan hanya untuk shalat tapi tempat berkumpul dan berbincang para bapak usai shalat isya.
Paling ramai jika bulan Ramadhan tiba, bahkan ada warga yang tidak kebagian tempat dan akhirnya shalat tarawih di teras.
Waktu berlalu, tahun berganti. Dusun itu mulai bertambah penduduknya, sudah ada 8 rumah baru yang di bangun. Setengahnya pendatang dan setengahnya lagi masih warga asli dusun.
Pengunjung surau mulai berkurang. Para warga sudah jarang berkumpul di surau. Hanya ada sepasang suami istri usia 70 tahun dan satu sesepuh desa yang masih rajin menyambangi surau untuk beribadah. Anak-anak kecil usia sekolah dasar hanya shalat di waktu magrib.
Surau itu tampak tak terawat, tidak ada warga yang inisiatif membersihkan surau walau sekedar menyapu lantai. Cuma satu orang warga yang rumahnya di paling timur dusun yang sukarela membersihkan. Warga yang tinggalnya di depan dan di samping surau tidak ada yang ringan tangan melakukannya.
Mungkin berapa tahun lagi surau itu pun akan menjadi bangunan terbengkalai.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H