Jakarta memerlukan sang Gubernur, itu betul. Indonesia pun memerlukan Presiden, walau masih 2 tahun lagi, itu juga betul. Di Amerika Serikat sana pun memerlukan Presiden, itu juga betul. Yang tidak kalah menarik, di kampung saya juga rame mau ngadain pemilihan koordinator warga. Eh, apa hubungannya nih?
Jadi, apa yang menarik dari peristiwa calon menyalon ini Bang, tanya seorang junior setengah berbisik. Â Saya pun hanya tersenyum, coba buka hatimu, lihat dan juga dengarkan. Kemudian catat semua fluktuasi dan kita akan ketemu di meja musyawarah, tambahku meyakinkan.
W.A Robson, dalam The University Teaching of Social Sciences (Unesco 1954) menjelaskan bahwa musyawarah sangat berbeda dengan voting. Cara voting cenderung dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis, menghemat waktu dan lebih simpel daripada musyawarah. Â Voting memang diperlukan apabila nuansa politik menyebutnya demikian. Kemudian juga karena faktor geografis pemilihan yang tersebar berserakan. Dan kesemuanya itu dilakukan dalam batasan waktu. Tentu saja faktor pendanaan menjadi urutan teratas.
Guru Besar Muhammad Hatta, Bapak Koperasi, sudah pun meletakkan dasar kerendahan hati dalam semua urusan musyawarah untuk mufakat. Koperasi (versi Hatta), contohnya. Dimana semua urusan dilakukan dengan musyawarah, dan TIDAK ada satu pun niat untuk lakukan voting.
Bahasa yang santun, dan budaya tatakrama dijunjung tinggi diatas semua kepentingan. Sebanyak pengajuan dan usulan yang masuk, sebanyak itulah waktu yang digunakan untuk mendapatkan mufakat. Mereka tidak perlu khawatir dengan Dana dan Waktu, karena semua warga sudah mencurahkannya sepenuh hati.
Hari ini, saya khawatir banyak rekan yang lupa dengan arti musyawarah. Mungkin anda kenal dengan sebutan syuro, rembug desa, atau kerapatan nagari. Semuanya mengandung makna Syawara (Bahasa Arab) yang bisa diartikan sebagai berunding, atau bisa juga disebut berupaya mengajukan sesuatu. Tentu saja semuanya dalam konteks keikhlasan dan rendah hati dalam mencari jawaban.
Kemudian saya pun khawatir, semakin banyak keinginan, dan juga semakin sempitnya waktu tersedia, maka undangan musyawarah hanya sebagai bentuk formalitas ketuk palu saja. Voting jadi pilihan utama. Ah, sayang sekali.
Meminjam istilah dr Boyke, "nafsu besar, kemampuan kurang, dan akhirnya menjadi ejakulasi dini".
Jadi, masihkah voting diperlukan untuk urusan warga? Ehm...
Note: Pasal 28e Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Kedua)