[caption id="attachment_215507" align="alignright" width="300" caption="Bahasa Melayu Malaysia (Google)"][/caption] Banyak orang berpikir bahwa berbahasa Melayu Malaysia sangat mudah dilakukan. Ternyata, pikiran ini bisa (juga) disebut salah besar. Saya contohnya. Ketika pertama kali menginjak kaki di tanah serumpun itu, pun saya mengobral percakapan, dengan harapan mencoba sok akrab dengan mereka. Obral percakapan dengan "bahasa Indonesia" yang dibuat-buat --agar dialeknya mirip dengan "bahasa Melayu" pun tidak bisa saya elakan. Alhasil, bukannya pemahaman dan pengertian dari lawan bicara yang didapat, malahan menimbulkan efek "kelucuan" yang berdampak salah paham. Contohnya seperti ini. Seorang rekan Malaysia mengundang makan malam untuk saya dan keluarga. Menurutnya, undangan makan malam ini merupakan sebuah bentuk penghormatan bagi dia dan keluarganya, karena bisa bertemu dan akan bekerja sama dengan saya sebagai seorang profesional. Tentu saja undangan itu insyaAllah saya penuhi. Tetapi, karena ketiadaan ilmu bahasa Melayu ada pada saya, maka penafsiran berbahasa itu menimbulkan kerancuan. Bagaimana tidak. Berikut penggalannya. Saya tuliskan sesuai dengan bahasa Lisannya.
Rekan Malaysia, "Pak Firman, bile Pak Firman tak ade halangan, I nak jemput pukul lapan malam". Mendengar mau dijemput untuk dinner pada pukul 8malam, saya pun meng-iyakan dan menjawab, "baik, insyaAllah saya sudah siap sebelum jam lapan malam".
Dan singkat cerita, sebelum jam 8malam, saya pun sudah standby, karena saya menyanggupi sebelum pukul 8malam saya sudah siap. Tetapi, apa yang terjadi. Tunggu punya tunggu, ternyata sudah lebih 30menit dari jam 8malam, saya pun belum dijemput juga. [caption id="attachment_215509" align="alignright" width="259" caption="Bahasa Melayu (Google)"][/caption] Mengingat acara ini adalah sebuah bentuk penghormatan dari seorang rekan, akhirnya saya beranikan diri untuk menelpon dia. Saya nyatakan bahwa saya sudah siap sejak tadi dan kenapa belum juga dijemput. Dan, percakapan itupun berlanjut dengan kesalahpahaman dalam berbahasa. Akhirnya kami pun tertawa menyadari kesalahpahaman kami dan percakapan selanjutnya kami lakukan dalam bahasa Inggris. Aman hingga akhir. Pertanyaannya, Apa yang terjadi? Apa yang salah dalam hal ini. Ternyata, kata "jemput" dalam bahasa Melayu Malaysia berarti "mengundang" dalam bahasa Indonesia. Kesalahan persepsi saya adalah saya akan dijemput jam 8 malam oleh dia dan akan dibawa kerumahnya. Sedangkan, persepsi rekan itu, dia akan mengundang saya pukul 8 malam. Tentu saja, saya datang sendiri tanpa ada mobil jemputan ke rumah saya. Hahaha ... Untuk pembaca maklumi, hal ini kerap sekali terjadi. Sehingga banyak pula beredar cerita-cerita based on true story dan akhirnya, ada juga yang dipelesetkan menjadi joke. Mungkin pembaca familiar dengan joke, seperti ini. [caption id="attachment_215516" align="alignleft" width="300" caption="Bahasa Melayu (Google)"][/caption] Kalimat, “That server gives a plug and play service to the clients using either hardware or software joystick. The joystick goes into the port of the client”, diplesetkan dengan translasi bahasa Melayu menjadi kalimat, "Pelayan itu memberi pelanggannya layanan cucuk dan main dengan mempergunakan batang bahagia jenis keras atau lembut. Batang bahagia itu dimasukkan ke dalam lubang pelanggan.” Tentu saja translasi itu ngawur bin ngaco seratus persen. Tapi joke tinggal joke, hingga banyak kawan Indonesia yang minta konfirmasi (mereka pikir saya pakar bahasa Melayu Malaysia). Apakah benar Rumah Sakit Bersalin diistilahkan dengan "Rumah Sakit Korban Lelaki". Atau tentara sedang lakukan push-up diistilahkan dengan "tentera tengah bersetubuh dengan bumi". Atau yang lebih parah lagi adalah WC (Toilet) disebut dengan "bilik termenung" ... ahhh tentu saja ini salah dan hanya joke saja. Saya kuatir, apabila joke ini dianggap benar adanya, dan bulat-bulat (as is) digunakan dalam hubungan percakapan dengan rakyat Malaysia --pastinya akan timbul retensi dari mereka. Kan enggak enak juga kalau anda salah omomong dengan orang Malaysia saat pertemuan pertama kali. Akan ada penolakan tentunya. Jargon "orang berbudi kita berbahasa" sangat dijunjung tinggi oleh semua bangsa. Alangkah indahnya apabila semua orang dapat bersantun dan paham dengan apa yang diucapkannya. Mungkin penggunaan bahasa Inggris akan menjadi jalan tengah yang damai dan sejahtera. Artikel Terkait :
- Wasit Karate Internasional Asal Indonesia Disiksa Empat Polisi Malaysia
- Turis Indonesia Diancam Oknum Polisi Malaysia (lagi?)
- Air Mata Ki Hajar Dewantoro: Cermin Pendidikan di Indonesia
- Alumni Univ Kebangsaan Malaysia Cabang Indonesia
- Tag: Malaysia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H