[caption id="attachment_233673" align="alignright" width="300" caption="Kawasan Pengungsi (koleksi)"][/caption] Saya hanya bisa mematung dan ber-istighfar, menyaksikan tenda-tenda itu mulai miring hampir roboh. Bahkan tidak sedikit tenda yang terlihat berdiri dengan tambalan-tambalan perekat di badannya. Beberapa tenda terlihat baru didirikan. Posturnya mirip lapak-lapak darurat khas rumah-rumah gepeng di ibukota Jakarta. Tapi yang membedakannya adalah, di kawasan itu langitnya sangat cerah dengan awan yang serba putih. Udaranya yang bersih dan bahasa penghuninya yang saya tidak mengerti. Benar. Yang saya saksikan adalah tenda-tenda pengungsi yang dihuni oleh saudara-saudara kita. Lokasinya tidak jauh dari Bandara Nicolau Lobato (Comoro Int'l).  Mereka memang terlihat resah. Tapi, siapa yang tidak resah, jika lebih dari 10 tahun harus tinggal di "rumah" seperti itu. [caption id="attachment_233726" align="alignleft" width="300" caption="Mobil Patroli UN (koleksi) "][/caption] Kawasan pengungsi tersebut memang kawasan rawan, jelas seorang kawan meyakinkan. Mereka terkadang melempari batu atau apa saja, jika melihat mobil-mobil mewah menghampirinya. Mereka merasa teraniaya. Teraniaya lahir dan bathin. Itulah kenapa kawasan ini sering dipatroli, tambahnya lagi. Saya hanya bisa mengangguk-angguk berlagak mengerti. Astaghfirullah al'adzim, ku kumandangkan dalam hati. Sesegera kukirimi mereka Fatihah. Semoga Allah menurunkan rahmahNya dan kedamaian dalam hidup mereka. Amin. [caption id="attachment_233675" align="alignleft" width="300" caption="Syurga Dunia itu (koleksi)"][/caption] Tidak jauh dari kawasan itu, terdengar keriangan anak-anak sayup-sayup. Bergegas kuajak hati ini untuk menyaksikan kegembiraan itu. Laut yang biru, dengan airnya yang sejuk, sangat cocok berjodohkan pasir pantai yang putih bersih. Rupanya disanalah pusat keriangan itu. Terlihat jelas beberapa anak menikmati syurga dunia. Ahhh, seandainya Adil sudah sebesar itu, pasti kubiarkan dia berbasah. Hati pun kembali memerah, mengingat Adil -sang buah hati, kutinggal pergi kala umurnya belum genap setahun. Sedih sekali mengenangnya. Sebagai pelepas rindu, saya pun duduk dengan beberapa diantara mereka. [caption id="attachment_233679" align="alignright" width="300" caption="3 Malaikat Timor Lorosae (koleksi)"][/caption] "Kenapa tidak berenang", tanyaku sambil tersenyum.  Melihat saya tersenyum, si anak berbadan kecil itupun ikut tersenyum. "Kenapa tidak berenang", tanya saya sekali lagi dengan nada perlahan. Dan, akhirnya si anak terbesar, menjawabnya dengan bahasa yang sama sekali tidak kumengerti. Benar-benar tidak bisa kumengerti. Tapi, ahhh saya tidak peduli dengan bahasa lisan, karena nyata-nyata kami bisa berkomunikasi dengan bahasa yang lain, yang lebih indah dan harmoni. Dan kami pun berlama-lama di sana. [caption id="attachment_233681" align="alignright" width="300" caption="3 Malaikat itu (koleksi)"][/caption] Tak beberapa lama, saya pun ditemani oleh seorang Bapak. Alhamdulillah beliau bisa berbahasa Indonesia, walau saya harus penuh konsentrasi menangkap setiap perkataannya. Beliau menjelaskan, walaupun kondisi para pengungsi itu sangat dan sangat memprihatinkan. Tetapi mereka tetap ceria dan penuh harap. Obat untuk bisa bertahan hidup dengan asa menjulang adalah karena ... anak-anak suci ini, jelasnya yakin.  Mereka memang diciptakan bagai kertas putih bersih. Tanpa noda. Penuh senyum dan penuh keindahan. Subhan'Allah, dan saya pun menitikan air mata. [caption id="attachment_235150" align="alignleft" width="300" caption="Anak-anak di Desa Soe (koleksi)"][/caption] Kemudian, saya  pun memberanikan diri memperlihatkan foto anak-anak di Desa Soe (4 jam jalan berbukit dari Kupang). Beliaupun mencermati setiap gambarnya. Seandainya hidup ini berpihak, saya pun ingin anak-anak ini seperti mereka, jelas Pak Tua itu. Dan saya hanya bisa mengangguk dan menghiburnya. *** Tulisan ini saya buat untuk mengenang kawan-kawan kecilku di tanah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Dili (Timor Lorosae). Fatihah pun kerap saya kirimkan untuk mereka. Agar mereka tetap menjadi pahlawan untuk setiap orang tua. Seandainya saya ingat nama-nama mereka, pasti sudah saya sebut satu-per-satu. Ahhh ... maafkan saya teman kecilku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H