Baru saja melihat MetroTV (18/11) yang membahas tentang sadap menyadap komunikasi telpon Pak Beye dan Isterinya.
Mantan Kepala Lemsaneg, Nachrowi Ramli menceritakan bahwa pada eranya, Presiden Megawati selalu menggunakan telpon sandi untuk berkomunikasi dengan mitranya. Bisa saja lawan bicaranya Menteri di Jakarta ataupun pejabat lainnya. Katanya, kegiatan rutin pemeriksaan dan updating sistem sandi dilakukan bersama dengan TB Hasanuddin, sang komandan Paspampres di era itu. Sistem sandi yang rutin diperbarui, menjadikan telpon sandi terjaga keberadaannya.
Tapi TB Hasanudin menjelaskan lain, hari ini dia mempertanyakan, kenapa telpon sandi itu tidak digunakan oleh pengganti Presiden Mega. Untuk diketahui, jelasnya, telpon sandi itu kalo dipake ngomong selalu ada jedanya, ini tidak nyaman, tambahnya.
Jeda? Memangnya ada apa dengan “Jeda” itu. Wikipedia menjelaskan untuk komunikasi menggunakan telpon sandi, kedua sisi harus masuk dalam mode sandi (crypto mode) untuk mengaktifkan algoritma penyandiannya. Tentunya diperlukan energi untuk mengakses itu. Semakin tinggi level pejabatnya seyogyanya semakin komplek pula algoritmanya, dan sudah barang tentu semakin tinggi energi-nya.
Melihat energi seperti ini, sudah barang tentu kualitas voice-nya bisa dibilang mirip dengan telpon internasional. Ada “Jeda” yang terasa. Tapi itulah harga sebuah keamanan yang pasti berbanding terbalik dengan harga sebuah kenyamanan.
Meminjam bahasa Humas BKKBN, pakailah kondom untuk berhubungan sex, walaupun tidak nyaman.
Nah, sudah pahamkan! Jadi, kalau TB Hasanuddin mengangkat isu “Jeda” itu sebagai biang kerok ketidaknyamanan Pak Beye berkomunikasi, seharusnya Nachrowi Ramli bisa menjawab, “pilih mana, memaklumi Jeda itu atau pilih telponnya mudah disadap”. -pis-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H