Teringat kembaliobrolan sore kemarin,masih terasa menggelitik, sehingga saya berkeinginan untuk menuangkannyadisini.Saat itu, Bu Guru Cantik membuka pembicaraan, “BPJS itu apatho jenk? Perlukah aku ikut? apa syaratnya?”. Mendengar pertanyaan tersebut, sebagai tenaga kesehatan saya ingin mengenalkan pentingnya untuk ikut berpartisipasi dan menjadi peserta asuransi kesehatan dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)yang saat ini masih menjadi berita hangat dan pantas untuk disimak, untuk itu ada baiknya kita mengingat apa itu Badan penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).
BPJS merupakan badan hukum publik untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang telah diselenggarakan sebagai upaya memberikan perlindungan kesehatan kepada peserta untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang sesuai amanat pada perubahan UUD 1945 Pasal l34 ayat 2, yaitu menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengandimasukkannya Sistem Jaminan Sosial dalam perubahan UUD 1945, kemudian terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan terkait memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Selain tujuan menjadi penting bagaimana proses pendaftaran sebagai peserta JKN serta keuntungan apa yang diperoleh jika telah menjadi peserta tersebut.
Obrolan kami sore itu tidak berhenti sampai disini, Bu Guru Cantik juga menanyakan apakah semua rumah sakit bisa menerima kartu JKN? lantas ia menyebutkan nama rumah sakit “B”dimana perusahaan tempat suaminya bekerja, yang selama ini telah menangani keluarga karyawannya berobat. Terkait pertanyaan ini, saya menjawab bahwa belum semua rumah sakit bekerjasama termasuk rumah sakit tempat beliaubiasa berobat.Terlihat raut kekecewaan di wajah Bu Guru Cantik, beliau bilang kalau memiliki pengalaman yang buruk dengan RS pemerintah, baik SDM nya yang tidak informatif, mahal senyum, pelayanan unstandar dll, kemudian belum lagi sarana – prasarana yang sering kali tidak sesuai dengan standar/kurang memadai. Saya hanya bisa tersenyum simpul dan meyakinkan bahwa kondisi rumah sakit pemerintah sekarang sudah bagus dan tidak kalah dengan swasta, saya juga berjanji akan memberikan informasi tentang rumah sakit manadidaerah kami yang terdepan dan telah bekerjasama dengan BPJS kesehatan.
Melihat dari cara Bu Guru Cantik berbicara, secara tidak langsung beliau ingin mengungkapkan ketidakpercayaannya atau kekawatiran tentang rendahnya pelayanan kesehatan, apalagi ada isuyang mengungkapkan bahwa tarif yang diberikan BPJS mengacu pada INA-CBGs yang mana beberapa tindakan bertarif rendah, baca juga (http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/07/06/bpjs-bayar-dokter-spesialis-rp-5000-aaah-yang-bener 672011.html) hal ini yang kemudian memicu tanda tanya besar “apakah pelayanan yang diberikan sesuai standard dan bermutu bila bertarif seperti itu?”. Bila berbicara mengenai mutu atau standar pelayanan tentu tidak hanya terbatas pada pemberi pelayanan kesehatan, banyak faktor yang terkait, disini penulis hanya ingin mengungkapkan bahwa pemberi pelayanan kesehatan atau SDM di penyedia pelayanan kesehatan kerap menjadi bahasan utama untuk mempertanggungjawabkan rendahnya derajat kesehatan. SDM yang loyo dan tidak berkompeten dituduh menjadi biang keladi berbagai permasalahan kesehatan, belum lagi media yang selalu melebih-lebihkan dan menjual berita berkaitan dengan SDM Rumah sakit yang melakukan mal praktik, yang sudah pasti menimbulkan kekawatiran di masyarakat. Tapi betulkah hanya SDM yang dipersalahkan? Apakah semua SDM tidak kompeten?
Berbicara SDM, maka berkaitan dengan pengembangan kompetensi yang berupa kombinasi antara pengetahuan, keterampilan dan sikap/perilaku sehingga seorang karyawan mampu melaksanakan pekerjaannya. Para ahli berpendapat bahwa pengetahuan dan keterampilan merupakan hard competency sedangkan sikap dan perilaku sebagai soft competency. Penyedia pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit sebagai usaha jasa yang dinamis mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kompetensi karyawannya melalui pelatihan, pemagangan di Rumah sakit lain, rotasi dan mutasi.
Apakah setiap puskesmas, rumah sakit milik pemerintah ataupun swasta telah melaksanakan pengembangan untuk karyawannya? Menurut pengakuan beberapa teman yang bekerja di puskesmas, mereka tidak memiliki jadwal pelatihan, kalaupun ada pelatihan merupakan penunjukan dadakan dan tidak semua karyawan kebagian pelatihan untuk tahun berjalan. Ditilik dari hal ini bagaimana seorang petugas kesehatan akan mengembangkan kompetensi sementara kesempatan yang diberikan oleh organisasi tidak memadai.Bagaimana dengan rumah sakit? Saya mendengar dari beberapa teman yang bekerja di beberapa rumah sakit yang berbeda (RS pemerintah dan Swasta) bahwa bagian kediklatan di RS telah memetakan pelatihan yang harus diikuti oleh karyawannya baik nakes maupun non nakes, tiada tahun tanpa pelatihan. Bahkan setiap 6 atau 12 bulan sekali mereka harus mengikuti ujian tulis dan praktik untuk menguji pengetahuan dan keterampilan mereka sekaligus untuk menentukan tempat dimana mereka akan ditugaskan, jadi disini seleksi alam akan berlaku, yang berkompeten akan terus bertahan dan yang lain akan tersingkir. Memang, hal ini hanya dapat kita jumpai pada rumah sakit besar di perkotaan, bagaimana kalau rumah sakit didaerah atau rumah sakit kecil (tipe C dan D) misalnya?atau di puskesmas?
Pertanyaan ini mengingatkan saya akan moratorium PNS yang rencananya akan dikaji kembali untuk diberlakukan selama 5 tahun kedepan, pemerintah berencana untuk tidak menambah pegawai tetapi akan meningkatkan kualitas dan kompetensi pegawai yang sudah ada termasuk tenaga kesehatan, dengan demikian diharapkan semua pelayanan yang diberikan bisa berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan APBN bisa dihemat...hmmm, sepertinya ini masuk akal, mudah-mudahan ini memberikan solusi yang baik untuk permasalahan tentang SDM ini.
Moratorium masih akan dikaji, tapi bagaimana dengan pertanyaan diatas, bagaimana pengembangan SDM kesehatan didaerah? di rumah sakit tipe kecil? Di Puskesmas? Lalu bagaimana penyedia pelayanan kesehatan di tempatmu?
Kalau boleh menghimbau pada para pengelola SDM agar memetakan pelatihanyang dibutuhkan, sebab mengembangkan potensi SDM berarti berinvestasi, tentu hasilnya tidak dipetik sekarang tetapi pasti akanada perubahan kearah yang lebih baik. Semoga masyarakat Indonesia selalu sehat serta berharap kepada yang Maha Tahu dan Maha Mendengar, bukan sok tau dan sok dengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H