"Anakku sangat bandel dan sulit diatur, dia seperti itu karena pengaruh dari teman-temannya"
Pernahkah mendengar pernyataan tersebut? Pernyataan  tersebut tentu sangat tidak asing di telinga kita. Hampir semua orang tua mengatakan hal tersebut. Apakah benar ungkapan para orang tua tersebut?
Pada suatu sore di tempat saya mengajar, saya terkejut dengan kedatangan dua orang ibu yang tiba-tiba duduk di pintu, tanpa permisi dan terus mengomel. Saya tahu, salah satu dari dua ibu tersebut adalah orang tua dari anak didik saya. Rupanya, si anak disuruh belajar oleh sang ibu, namun si anak tersebut enggan dan terus mengomel. Setelah sekitar 30 menit, si anak tetap keras kepala tidak mau belajar.Â
Tiba-tiba ayah dari anak tersebut datang, dengan kasar sang ayah menjambak, memukul, dan menendang anak tersebut. Spontan saya berteriak agar si bapak menghentikan pukulan tersebut. Setelah hampir 15 menit kemarahan si bapak, terpaksalah si anak mau belajar di temani oleh ibu dan bibinya.
Sambil saya mengajar si anak tersebut, si ibu terus mengomel tentang anaknya yang bandel, anaknya yang berani berteriak dan berkata kasar terhadap anaknya, dan anaknya yang tidak pernah mau mendengar nasehat orang tuanya bahkan berani berbuat kasar kepada orang tuanya. Di tengah omelan si ibu dan sang bibi, saya berkata kepada mereka bahwa sikap anak yang kita lihat sekarang adalah gambaran dari sikap dan cara berbicara orang tua di rumah.Â
Sikap si anak yang dianggap bandel tersebut, bukanlah 100% di dapat dari lingkungan pergaulannya. Mendengar perkataan saya tersebut, si ibu dan sang bibi hanya melihat saya sekilas dan meneruskan omelannya.
Cerita di atas hanyalah salah satu contoh kasus dari banyak kasus yang melibatkan hubungan antara orang dewasa dalam hal ini adalah orang tua dengan anak-anaknya. Fakta di lingkungan tempat saya mengajar membuktikan bahwa, ada banyak orang tua yang selalu berkata bahwa kenakalan anaknya adalah pengaruh teman bermainnya. Tidak jarang para orang tua ini berkata kepada anaknya "Jangan bergaul sama si itu dan jangan bergaul sama si ini, nanti kamu ketularan bandel dan malas".
Pernyataan tersebut bukan berarti salah, namun tidak seratus persen benar. Para orang tua tersebut tidak menyadari bahwa, mereka adalah guru pertama mereka, tempat mereka belajar berperilaku. Misalnya saja anak tetangga saya, masih berumur 3 tahun, saat dia marah kepada ibunya, dia bisa spontan berteriak "Anjing lu, babi lu, monyet lu" dan banyak jenis makian lain. Â
Pada awal-awal tahun saya tinggal di lingkungan ini, saya begitu terkejut mendengar si gadis kecil yang imut tersebut bisa berteriak dan memaki ibunya. Akhirnya seiring berjalannya waktu, saya mengerti bahwa si anak belajar dari ayah dan ibunya yang ketika marah tidak segan menyebutkan nama penghuni kebun binatang. Jadi, salah siapakah jika anak-anak pintar berkata dan bersikap kasar? Dari teman bermainnya atau dari orang tuanya?
Sebelum melangkah lebih jauh membahas hal ini, baiklah kita membahas tentang pengertian keluarga terlebih dahulu. Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama dalam satuan masyarakat manusia.
Pada awalnya, keluarga adalah satu-satunya institusi pendidikan. Secara informal, fungsi keluarga tetap penting, tetapi secara formal fungsi pendidikan itu telah diambil oleh sekolah dan sampai sekarang keluarga masih berfungsi sebagai institusi yang dominan dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga anak mempelajari tingkah laku, sikap keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadian. Selain itu keluarga merupakan lingkungan pertama yang secara aktif mempengaruhi perkembangan seorang anak dan mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak.
Di dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya, saudara-saudaranya yang lebih tua (kalau ada), serta mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah si anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Yang harus kita garis bawahi dari pembahasan ini adalah anak belajar bersikap dari orang dewasa yang tinggal serumah dengannya.
Kembali pada permasalahan semula, mengapa sekarang banyak orang mengeluh tentang mengapa anak-anak mereka itu terlalu bebas dan terlalu mengumbar keinginan mereka serta menjadi kurang ajar/tidak hormat? Ini karena pendidikan dalam keluarga tidak dimulai dengan benar. Ini fatal sekali. Bagi kita yang sekarang memiliki anak-anak yang masih kecil dan masih tinggal Bersama dengan kita, kita harus camkan ini. Jangan abaikan Pendidikan keluarga. Jangan abaikan Pendidikan di rumah gagal, maka proses mengembalikannya sangat sulit.
Pendidikan dinilai ketika  seorang anak masih dibentuk oleh Tuhan saat masih di dalam rahim. Di sana terjadi pendidikan. Pendidikan sudah langsung berjalan pada saat itu. Pada saat orang berinteraksi waktu makan pagi, pendidikan sudah terjadi. Pada saat orang tua berinteraksi melalui membaca dongeng sebelum tidur malam, pendidikan sudah terjadi. Pada saat terjadi gesekan atau pertengakaran di dalam rumah, antara orang tua dan anak, di situ sudah terjadi pendidikan. Prinsip-prinsip apa yang diletakkan orang tuanya, dijalankan oleh orang tuanya, itulah yang diadopsi oleh anak-anak.
Misalnya, jika orang tuanya mencintai keadilan dan kebenaran maka itu akan tersalur dalam seluruh dalam seluruh perkataan dan kehidupannya. Dan anak-anak akan menangkap hal itu. Ketika anak-anak bertumbuh besar, mereka akan menjadi mirip dengan orang tuanya. Mencintai keadilan dan kebenaran. Tetapi kalua orang tuanya adalah orang yang segala sesuatu bisa dikompromi dan ditoleransi, maka anaknya pun akan tumbuh menjadi orang yang mengompromikan dan menoleransi segala sesuatu. Â
"Jika pendidikan seorang anak pertama kali adalah dari kami orang dewasa, maka kami sudah berpengalaman dan umur saya sudah tinggi jadi tidak perlu belajar". Pernyataan ini seringkali kita dengar keluar dari orang-orang yang merasa sudah dewasa dan banyak pengalaman. Sudah dewasa maka tidak perlu belajar. Namun fakta yang terjadi adalah hasil ouput dari didikan pertama keluarga, tidaklah mencermikan didikan seorang manusia dewasa.
Berdasarkan fakta ini, maka pertanyaan yang muncul sekarang adalah, jika out put dari didikan keluarga ternyata tidak menggambarkan atau menunjukkan hasil yang positif, apakah perlu untuk memberikan pendidikan bagi orang dewasa dan orang tua? Bukankah orang dewasa dan orang tua pernah mengenyam pendidikan formal dan sudah banyak makan asam garam?Â
Jika memang tidak ada pilihan lain, apa yang bisa dipelajari oleh orang dewasa ini, yang kadang mereka menganggap diri pintar dan sudah berpengalaman? Jawaban dari semua pertanyaan ini adalah "iya", orang dewasa yang telah menjadi orang tua bahkan yang belum menjadi orang tua penting untuk mendapatkan pendidikan. Jawaban "ya" tentu tidak memberikan penjelasan yang cukup untuk memahami pentingnya Pendidikan bagi orang dewasa, oleh karena itu akan diberikan penjelasan berikut ini:
Pertanyaan pertama dari para orang dewasa yang pada umumnya telah memiliki anak "Apakah orang dewasa perlu pembinaan atau pendidikan?
Jawabannya adalah mengapa tidak. Apakah hasil saya belajar di sekolah dulu tidak cukup? Apakah dengan saya rutin menghadiri acara keagamaan saja belum cukup? Apa yang diperoleh dari dua aktivitas tersebut belum memadai dan belum cukup.Â
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering keluar dari orang yang merasa diri sudah dewasa. Jawabannya adalah sepanjang umur manusia, di butuhkan tempat dan komunitas untuk belajar bersama dan berdiskusi bersama. Mengapa demikian? Baiklah kita berangkat dari pengertian orang dewasa.Â
Secara umum orang  dewasa adalah orang yang telah mencapai usia 22 tahun ke atas. Kebanyakan dari masyarakat kita, wanita di usia ini sudah menjadi seorang ibu. Kedewasaan itu tidak hanya bisa ditandai dengan umur yang sudah tinggi, namun juga di lihat dari sudut pandang lain.Â
Seperti dewasa secara psikologis, dimana ia harus mapan dalam cara berpikir; secara sosiologis yaitu mampu menempatkan diri dengan baik dimana pun ia berada; secara kultural yaitu mampu memahami dan melakukan peran menurut adat dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat; secara ekonomis yang berarti bisa menghidupi dirinya sendiri; dan dewasa secara spiritual dimana ia bisa berkomitmen untuk hidup sesuai dengan ajaran-ajaran dari kepercayaan yang dianutnya.
Seorang penulis buku terkenal menuliskan bahwa kedewasaan merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat. Ada berbagai perubahan dalam banyak hal, yang pada akhirnya memaksa orang dewasa untuk terus belajar. Belajar dalam arti singkat adalah berubah.Â
Apanya yang berubah? Mengubah pikiran, dengan jalan menambah, menganalisis, menilai, menata ulang, dan mengaplikasi informasi yang di pikiran kita. Mengubah perasaan, mengubah keengahan kita tentang gagasan, orang, benda, dan keadaan.Â
Mengubah komitmen kita pada nilai-nilai hidup. Mengubah perilaku, tindakan, cara kerja, gaya hidup, dan parktek hidup kita.Belajar adalah mengubah keseantereon diri, mengubah diri menjadi manusia yang lain dan baru.
Pertanyaan kedua, pembinaan atau pendidikan orang dewasa untuk apa?Â
Jawaban yang pertama adalah untuk perubahan diri. Kehidupan orang dewasa apalagi yang sudah menjadi orang tua tidak saja diwarnai perkembangan, tetapi juga perubahan. Perubahan tersebut tentu saja dari hal sikap mental yang buruk menjadi lebih bijaksana dan dewasa secara emosional dan cara berpikir, dari dalam gelap ke dalam terang. Maka dalam rangka perubahan diri ini, jelas  diperlukan fasilitator pembelajaran orang dewasa.Â
Jika kehidupan orang dewasa berubah dari kebebalan pada hidup yang bijaksana, dari kebodohan pada hidup yang berhikmat, dari sikap mental yang positif, maka dampaknya akan dirasakan oleh anggota keluarga, pasangan atau anak-anaknya.
Jawaban yang kedua adalah untuk pengembangan diri. Orang dewasa berkembang secara holistik. Oleh sebab itu melalui pembinaan akan mampu menyentuh dan memperkaya aspek pengetahuan, pengertian, perasaan, sikap-sikap, minat-minat, relasi-relasi, dan perilaku (keterampilan sosial), kultural, dan aspek spiritual.
Jawaban yang ketiga adalah untuk tugas dan tanggung jawab hidup. Orang dewasa mempunyai tugas dan tanggung jawab, terhadap Tuhan, diri sendiri, keluarga dekat dan jauh, serta terhadap lingkungan masyarakat. Hidup bertanggung jawab itu biasanya berkaitan erat dengan masalah moral, gaya hidup, dan pengambilan keputusan etis.
Pertanyaan ketiga, Jika memang tidak ada pilihan lain, apa yang bisa dipelajari oleh orang dewasa?
Belajar merupakan sebuah proses yang dialami oleh setiap individu selama ia hidup. Dengan kata lain, setiap aktivitas yang dilakukan oleh individu tidak akan terlepas dari makna belajar. Tidak ada ruang, waktu, dan tempat yang dapat membatasi proses belajar yang dialami oleh individu. Belajar dipahami sebagai proses yang berlangsung sepanjang hayat.Â
Gagne dalam bukunya The Conditions of Learning menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu stimulus Bersama isi ingatan memengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi it uke arah waktu sesudah ia mengalami situasi itu. Howard L. Kingsleny menyatakan, "Learning is the process by with behavior (in the broader sense) is originated or changed through practice or training".Â
Belajar adalah memumnculkan atau mengubah tingkah laku (dalam arti luas) melalui praktek atau latihan. Dari pengertian-pengertian inilah dapat dirumuskan bahwa tujuan dari belajar adalah perubahan.
Untuk mecapai perubahan yang dihasilkan dari proses belajar, perlu dilakukan dan dilihat dari dengan berbagai aspek dan cara. Salah satu nya adalah berkaitan materi pembelajaran. Orang dewasa dalam kaitannya sebagai orang tua juga masih perlu mempelajari banyak hal. Apa saja yang bisa dipelajari oleh orang dewasa?
Materi pertama adalah materi yang merubah pola pikir. Dengan pikiran yang berubah, berarti kita memperoleh pemahaman, pengetahuan, dan pengertian yang baru. Jilka dahulu, sebelum mendapatkan pengajaran, peserta didik tidak mengetahui atau dalam keadaan buta, setelah menerima pembelajaran maka akan menjadi kritis, positif dan konstruktif.
Materi kedua adalah materi yang merubah perasaan. Perubahan rasa itu menyangkut gairah, kesadaran (awareness), serta kepekaan (sensitivity) terhadap gagasan atau ide, diri sendiri, orang lain, dan situasi. Besarnya peran emosi dalam pengambilan keputusan, dalam aktivitas sehari-hari, sekarang ini lebih banyak diperbincangkan. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa emosi yang sehat, kuat, dan tegar itu membangkitkan kreativitas individu.
Materi ketiga adalah materi yang merubah perilaku. Perubahan dalam segi perbuatan itu mencakup kemampuan merancang sesuatu, membandingkan, menilai, membedakan, menganalisa, mengansumsikan, dan lain-lain.
Pertanyaan ke empat, materi-materi tersebut terlalu berat untuk kami, kami sibuk, tidak adakah materi yang lebih mudah atau lebih sederhana?
Kembali pada permasalahan dan contoh masalah di awal. Orang tua cenderung mempersalahkan teman bermain anak-anaknya jika anak-anaknya berperilaku buru. Sudah kita ketahui pula bahwa, orang yang lebih dewasa di rumah adalah contoh pertama bagaimana anak berperilaku. Rumah adalah tempat belajar pertama bagi anak-anak. Jika Pendidikan di rumah baik, baik jugalah perilaku si anak, begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu, penting bagi orang dewasa untuk terus belajar, zaman terus berubah, maka cara untuk terus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut adalah terus belajar. Sebagai orang tua dan sebagai pendidik pertama bagi anak-anak, maka karakter yang baiklah yang harus terus dipelajari dan dikembangkan.Â
Kita tinggal di lingkungan yang majemuk, dimana tatatan etika dan moral di bangun dari berbagai sudut pandang, namun di atas segala perbedaan tersebut, kita tetap harus bisa membedakan mana yang benar dan tidak.
Orang tua, walaupun sudah mempunyai banyak pengalaman tetap perlu pendidikan atau pembinaan. Zaman yang terus berubah dengan segala macam pola pikirnya, memaksa orang dewasa terus belajar dan berubah. Salah satu sarana yang berguna untuk membatu para orang tua dan orang dewasa dalam mendidik anak di rumah adalah dengan belajar tentang Pendidikan karakter bagi dirinya sendiri terlebih dahulu.
Dalam kajian pendidikan dikenal sejumlah ranah pendidikan, seperti pendidikan intelek, pendidikan keterampilan, pendidikan sikap, dan pendidikan karakter (watak). Pendidikan karakter berkenaan dengan psikis individu, di antaranya segi keinginan/nafsu, motif, dan dorongan berbuat.Â
Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan hidupnya.Â
Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan kritis, serta memiliki harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan.Â
Sosok dirinya tampak memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya menunjukkan produktivitas. Selain itu, tidak hanya menyadari apa tugasnya dan bagaimana mengambil sikap terhadap berbagai jenis situasi permasalahan, tetapi juga akan menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran, peka terhadap nilai keramahan sosial, dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya.
Tidak ada yang salah dengan didikan yang telah diturunkan dari para pendahulu, namun fakta di lapangan, tidak semua di jalankan dengan konsisten. Jika semua ajaran dan didikan itu terus dilakukan, maka tidak akan ada kasus-kasus dimana anak-anak beretika minus. Pendidikan atau pembinaan berbasis karakter adalah salah satu cara orang dewasa menjadi dewasa sesungguhnya. Orang tua atau orang dewasa di sekitar anak-anak harus tetap belajar tentang karakter, karena tidak dapat kita pungkiri bahwa keadaan dan lingkungan terkadang membuat orang dewasa berkarakter minus yang pada akhirnya gagal menjadi pendidik pertama anak-anak.
Gagasan pendidikan karakter bagi orang dewasa membuat seolah-olah orang dewasa mempunyai karakter yang tidak patut, oleh karena itu sebaiknya jika ada orang dewasa yang berkata seolah-olah  bahwa dirinya sudah sempurna dalam karakter, hendaknya ia mulai berkaca dan melihat output manusia atau anak-anak yang tinggal di rumahnya, apakah anak tersebut sudah memiliki etika yang baik?Â
Sudahkan anak tersebut mempunyai sikap moral yang baik? Sudahkan anak tersebut mampu berbicara dan bersikap sopan kepada orang lain? Jika jawabannya tidak, maka orang tua dan orang dewasa harus legowo untuk membuka diri belajar dan terus diperharui. Ingat bahwa di rumah dan dari orang tua lah pendidikan pertama didapatkan oleh anak-anak, bukan dari teman bermainnya. Jadi mari belajar, guna mendidik generasi yang tidak hanya pintar tetapi juga berkarakter. Selamat belajar.
Kepustakaan,
Arifin, BS., Psikologi Sosial. Bandung: CV. Pustaka setia, 2015
Ismail, Andar. Selamat Berkiprah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
Sidjabat, BS. Pendewasaan Manusia Dewasa. Bandung: Kalam Hidup, 2014
Soekamto, Soerjono. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004
Yang, Ferry. Pendidikan Kristen. Jakarta: Momentum, 2018
https://edukasi.kompas.com/read/2010/11/25/11403661/Pendidikan.Berbasis.Karakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H