Bali merupakan salah satu Pulau yang berada di kawasan Nusa Tenggara di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terkenal diseluruh belahan bumi ini dan kita merasa bangga sebagai bagian dari masyarakatnya.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa PulauHal itu disebabkan karena masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang sopan, santun, ramah, serta mengedepankan kearifan lokal, dan menjaga keharmonisan sesama  masyarakat. Sebagai orang Bali tidak terlepas dari agama adat atau kebiasaan sehari-hari.Â
Sesuai dengan Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (waktu) masing-masing, sehingga antara masyarakat satu dengan yang lain tidak sama, walaupun adat atau kebiasaan setempat tidak sama, namun perbedaan itu justru menjadikan Bali terkenal sampai ke seluruh Dunia.
Walaupun ada masyarakat akhir-akhir ini mengalami konflik adat bahkan sampai menelan korban yang terjadi di desa-desa di Bali. Masyarakat  tersebut belum sadar arti dari kebersamaan, kekeluargaan dan saling menghargai, dan memiliki rasa gotong royong.
 Mereka melakukan hal tersebut semata-mata hanya mementingkan ego, amarah, dengki, dan iri hati dibandingkan menjaga keharmonian Desa Pekraman dimana mereka tinggal.Â
Masyarakat  yang ada di Bali sudah sepatutnya untuk menjaga keamanan, keajegan, keramahan dan ketertiban Pulau Bali ini, sehingga Dunia masih mengakui bahwa Pulau Bali masih menjadi Pulau terindah dan masih menyandang sebagai Pulau Surga. Permasalahan ini tidak seharusnya terus terjadi di masyarakat di Pulau Bali, sehingga Pulau Bali masih tetap ajeg, damai, aman, dan tentram.
Seperti Desa Pakraman Bebandem  patut dijadikan contoh oleh Desa Pakraman lain di Bali dan di Indonesia karena dapat mempersatukan masyarakat menjadi satu saudara melalui megibung.Â
Tradisi megibung adalah tradisi yang diwariskan oleh leluhur yaitu tradisi makan bersama yang terdiri dari 6 orang dan duduk secara melingkar. Sehingga dalam tradisi ini tidak mementingkan kasta, drajat, jenis kelamin.Â
Saat makan, terdapat aturan tidak boleh menjatuhkan makanan dari tangan, serta makan dengan tertib dan menghormati orang lain yang berada dalam lingkaran megibung tersebut. Didalam tradisi megibung juga dapat mempererat tali kebersamaan, kekeluargaan, semua berbaur dan makan bersama.Â
Tetapi dengan seiringnya perkembangan jaman antara perempuan dan laki-laki dipisahkan. Hal ini sudah tertanam sejak dahulu di wilayah Kabupaten Karangasem dan khususnya di Desa Bebandem, Kabupaten Karangasem.Â
Di Desa Bebandem, tradisi Megibung terus dipertahankan sebagai bagian dari identitas budaya setempat dan menjadi daya tarik wisatawan yang tertarik untuk menyaksikan atau bahkan ikut serta dalam tradisi ini.Â
Megibung juga memiliki nilai filosofis yang tinggi bagi masyarakat Bali, yaitu mempererat hubungan antar warga dan menjaga kekompakan dalam komunitas. Tradisi ini mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan yang sangat kuat dalam budaya Bali.Â
Masyarakat saling membantu dalam mempersiapkan makanan dan menikmati hidangan bersama-sama. Megibung mengajarkan pentingnya hidup rukun dan damai dalam satu komunitas. Dengan makan bersama, perbedaan-perbedaan yang ada di antara masyarakat dapat dihilangkan dan tercipta suasana yang harmonis.
Tradisi ini, telah ada pada jaman dahulu. Raja Karangasem Anak Agung Anglurah Agung pada saat itu membuat suatu kegiatan makan bersama yang memiliki nilai kebersamaan, kekeluargaan dan tidak ada perbedaan antara masyarakat satu dengan yang lainnya.Â
Sampai saat ini, masyarakat Karangasem khususnya di Desa Bebandem, masih menjaga tradisi tersebut supaya tidak hilang dari tergerusnya jaman modern.
Megibung yaitu acara makan bersama yang ada dalam satu wadah. Tradisi megibung terdiri dari 6 orang yang duduk Bersama secara melingkar dan makan dalam satu wadah. Megibung terdiri dari gibungan, dan lauk.Â
Makanan yang disajikan dalam megibung biasanya berupa hidangan tradisional Bali, seperti ayam betutu, lawar (campuran daging dengan sayuran dan bumbu khas), sate lilit, dan sebagainya.Â
Megibung ini ada beberapa aturan yang mengikat, tetapi aturan ini tidak termuat dalam peraturan yang ada d banjar. Aturan ini sudah diketahui oleh semua masyarakat Karangasem dalam tradisi megibung. Aturan ini sebagai berikut:
- Pada satu gibungan hanya boleh terdiri dari 6 orang dan duduk secara melingkar.
- Cara duduk dalam megibung yaitu bersila. Tidak diperbolehkan duduk tidak sopan seperti menaikkan kaki, kakinya diluruskan.
- Setiap peserta megibung makan dengan menggunakan tangan langsung.
- Pada saat makan sisa makanan yang dimakan tidak boleh jatuh dalam gibungan.
- Jika sudah selesai makan, tidak boleh bangun mendahului sebelum ada aba-aba dari kelihan banjar, atau pemilik acara.
Aturan ini wajib dilaksanakan oleh peserta megibung, jika tidak maka orang tersebut akan dinilai jelek oleh masyarakat lain. Aturan inilah yang menjadikan tradisi megibung ini memiliki nilai kebersamaan, tidak memandang strata sosial, suku, dan ras.
Pada jaman sekarang banyak masyarakat yang berselisih paham dengan masyarakat yang lain, dan menimbulkan permasalahan yang merugikan orang banyak. Dengan hal ini tentunya dapat merugikan orang banyak, dengan bentrokan, tauran dan sebagainya.Â
Hal ini dapat dilihat dalam berbagai kejadian yang terjadi di Indonesia yaitu kejadian di Bandar Lampung, bentrokan antara kampung Bali dengan kampung Jawa yang menelan banyak korban.Â
Ini terjadi karena kurangnya nilai kebersamaan, toleransi, dan menghargai perbedaan ras, agama dan suku yang ada di Indonesia.
Dengan megibung ini yang tidak mementingkan derajat sosial, gender, dan suku atau ras dapat dijadikan pedoman untuk masyarakat dalam berhubungan bermasyarakat.Â
Karena megibung dapat mempersatukan perbedaan yang ada dalam masyarakat. Yang nantinya juga dapat dicontoh oleh daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H