Mohon tunggu...
Ni Putu Eka Budi P.W.D
Ni Putu Eka Budi P.W.D Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Diponegoro

Pecinta Binatang, Alam, dan Meditasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semenanjung Korea sebagai Pusat Ancaman Nuklir dalam Rangka Mewujudkan Perdamaian Dunia

14 Agustus 2024   18:00 Diperbarui: 14 Agustus 2024   18:05 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: detikNews - detikcom

Perang menjadi momok yang menakutkan karena dampak yang ditimbulkan malah justru meluas. Masyarakat harus berbenah diri ketika perang tersebut terjadi di negaranya. Tak ayal, mereka kehilangan salah satu atau lebih sanak saudara akibat perang yang melanda. Sembari meratapi kesedihan, mereka pun harus berjuang untuk bertahan hidup karena akses kebutuhan sandang, pangan serta papan yang masih tergolong minim.

Berbicara tentang perang, tentu tidak luput dari kasus perang yang terjadi di Semenanjung Korea. Dalam rentang tahun 1950-1953, perang antara Korea Utara dan Korea Selatan telah berlangsung dimana Semenanjung Korea menjadi lokasi pusat ketegangan diantara kedua belah negara. Walaupun berakhir tanpa perjanjian damai, perang tersebut menjadi salah satu ancaman terbesar. Pengembangan program nuklir telah dilakukan oleh Korea Utara sebagai bentuk preventif untuk melawan ancaman yang datang dari pihak eksternal (Chandra, 2024)

Menilik kembali awal mula sejarah, isu krisis nuklir di Korea Utara telah tersebar luas ke berbagai penjuru negara sejak tahun 1990-an. Bahkan sebelumnya, Korea Utara tergabung di Perjanjian Non-Proliferasi Nuclear (NPT). Perjanjian Non-Proliferasi Nuclear (NPT) merupakan perjanjian antarnegara pemilik senjata nuklir untuk tidak membantu negara lain memproduksi senjata tersebut. Terdapat tiga pilar utama dalam Perjanjian Nuklir diantaranya sebagai berikut: perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi (tidak mengembangkan) senjata nuklir, dan penggunaan bahan nuklir untuk tujuan damai (Nailufar, 2020)

Setelah tergabungnya Korea Utara dalam Perjanjian NPT, Korea Utara berkomitmen untuk tidak mengembangkan senjatanya. Tak berselang lama, Korea Utara akhirnya menarik diri dari Perjanjian Nuklir pada tahun 2003. Selanjutnya, pada tahun 2005, Korea Utara mengklaim diri bahwa negaranya memiliki senjata nuklir aktif.

Dewan Keamanan PBB mengecam dan mengutuk keras tindakan uji coba senjata yang dilakukan oleh negara Korea Utara. Secara tak langsung, stabilitas regional pun mulai goyah. Peringatan keras datang dari masyarakat internasional agar segera menghentikan program nuklir yang selama ini dicanangkan.

Pada tanggal 3 September 2017, DPRK (Korea Utara) menguji bom hidrogen yang dirancang untuk dipasang pada rudal balistik antar benua yang baru dikembangkan. Ledakan tersebut menimbulkan gempa yang berkekuata 6,3 SR. Selanjutnya, pada tanggal 28 November 2017, DPRK meluncurkan rudal balistik antarbenua (ICBM) yang menempuh perjalanan selama 50 menit dan mencapai ketinggian 4.500 km yang diprediksi bisa menjangkai seluruh benua Amerika Serikat termasuk Washington, DC.

Korea Selatan, Amerika Serikat dan Jepang juga ikut serta memperingatkan Korea Utara dan mencari upaya untuk memberhentikan program pengembangan senjata nuklir. Aksi nyata pun dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (Donald Trump). Ia menggunakan cyber- attack yang berguna sebagai alat untuk menghentikan senjata nuklir Korea Utara.

 Pihak dari negara Korea Utara tidak tinggal diam dengan adanya kerjasama trilateral yang terjadi antara ketiga negara tersebut.  Khaliq (2024) dalam artikel tulisannya menjelaskan bahwa kerjasama keamanan tripartit dengan Amerika Serikat “hanya menjadikan rakyat Jepang dan Korea Selatan sebagai sasaran perang nuklir, dan tidak memberikan keuntungan kepada kedua negara tersebut”. Terdapat pernyataan yang mencengangkan dari pihak Korea Utara dimana pernyataannya menerangkan negara Amerika Serikat yang memaksa DPRK (Korea Utara) untuk memiliki akses terhadap senjata nuklir. Disisi lainnya, pemerintahan Amerika Serikat secara berturut-turut telah mendorong DPRK untuk memperkuat pencegahan perang nuklir.

Dengan pernyataan yang disampaikan tersebut, kita bisa memahami dari perspektif pribadi bahwa condong keberpihakan Amerika Serikat kepada Korea Utara secara diam-diam nyata adanya. Zuraya (2023) mengatakan bahwa ancaman seperti pengiriman rudal jarak jauh yang dapat mengirimkan senjata nuklir telah dilayangkan oleh pihak Korea Utara. Amerika Serikat merasa kewalahan dengan ancaman tersebut. Secara otomatis, pemerintah Amerika Serikat mencari cara agar wilayahnya bisa tetap aman tanpa gangguan dari ancaman senjata nuklir. Mereka menunjukkan keberpihakan sehingga Amerika Serikat bisa dimudahkan dalam rangka meminta bala bantuan ke pemerintah Korea Utara. Sejatinya, senjata nuklir bisa diibaratkan sebagai self-mechanism jika suatu waktu, mereka terancam oleh musuh.

Diplomat Korea Utara dari Kuba yang bernama Ri Il Kyu dalam wawancaranya bersama bbc.com menegaskan bahwa Korea Utara memahami terkait satu-satunya jalan untuk bertahan hidup, satu-satunya jalan untuk menghilangkan ancaman invasi serta mengembangkan perekonomian adalah dengan menormalisasi hubungan dengan Amerika Serikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun