Hari esok, selamat tinggal!
Namanya Keisha Aurora. Gadis manis dan baik hati namun penuh kemalangan di usia remajanya. Jangan penasaran dengan kisah pilunya atau kalian akan menangis apabila mengetahuinya.
Tidak ada apapun yang bisa Keisha banggakan. Memiliki fisik biasa saja membuatnya dijauhi dan tidak memiliki teman dekat hingga masa-masa kelas 10 nya akan berakhir 2 pekan lagi.
Anti sosial.
Keisha sudah muak mendengarnya. Tolong jangan limpahkan kesalahan dan makian lagi pada Keisha. Keisha hanya korban yang membutuhkan teman untuk saling berbagi. Dikala bel berbunyi nyaring dan guru membubarkan murid-muridnya, Keisha hanya ingin seseorang untuk mengajaknya pergi menuju gerbang secara beriringan.
Menunduk. Keisha menahan sesak di dada melihat satu persatu murid keluar bersama teman secircle nya.
Hadirnya ia disini, tidak pernah dianggap ada. Sebenarnya apa yang sudah ia perbuat hingga tidak ada yang ingin berteman dengannya?
Melupakan keirian dan kepedihan tiap kali mata memandang sekitar, gadis itu mulai beranjak dari kursinya. Melangkah dengan berat hati, melewati setiap kelas yang mulai tidak berpenghuni.
Awan mendung terlihat diatas sana kala Keisha berada di parkiran. Disusul angin kencang yang seolah mengumumkan bahwa hujan deras akan turun menghujamnya yang tengah hilang arah.
“Hujan, jangan jatuh dulu. Aku engga bawa payung juga uang,” lirihnya begitu pilu. Fakta bahwa ia harus pulang ke rumah ditambah akan turun hujan membuatnya terpuruk dalam kesedihan dan ketakutan.
Tidak ada kendaraan, tidak ada payung, tidak ada uang untuk dirinya sendiri. Sejahat apa sebenarnya semesta pada dirinya?
Drrtt drrttt
Adik gantenggg is calling…
“Halo, sayangg…”
“Kakak… ayah pulang kerumah…”
Satu fakta lagi datang membuatnya semakin dilanda ketakutan dan kemarahan pada semestanya.
“Kunci pintu, jangan keluar kamar, ya, sayang. Kakak udah di jalan.”
Keisha mulai berlari. Melewati pedagang kaki lima yang mulai mengemasi dagangannya. Melewati ruko-ruko kosong yang jadi tempat singgah orang-orang untuk meneduh lantaran hujan mulai turun. Dan melewati apa yang tidak seharusnya dia lewati. Sebuah keluarga bahagia yang saling tertawa tengah turun dari mobil. Rasa iri merayap membuatnya tidak fokus dalam sesaat.
“Kakak, ayah gedor-gedor pintu kamar aku. Ayah ngomong aneh-aneh juga kakak. Aku takut…”
Kakinya semakin cepat berlari dengan pendengaran kembali fokus pada suara sang adik.
Sembari berlari Keisha meminta pada Tuhannya. Jangan sakiti Haikal. Lindungi Haikal.
“Jangan takut, Ikal. Dikit lagi kakak sampe,” ujar Keisha menenangkan meskipun jantungnya berdentum sangat cepat.
Tuttt
Keisha mematikan ponselnya sepihak dan menelpon salah satu nomor yang biasa mengubunginya.
“JANGAN GANGGU HAIKAL! AKU UDAH PULANG BAWA UANG YANG AYAH MINTA! PERGI DARI SANA!” teriak nya dengan langkah kaki yang sudah berhenti. Nafasnya memburu.
Secepat langit yang berubah begitu gelap, secepat itu pula hujan menampar wajah dan tubuhnya bertubi-tubi.
Tidak apa. Ini hanya hujan. Para pembaca, tolong jangan khawatirkan Keisha. Dia gadis yang terbiasa dihujam oleh cobaan dari semesta.
“Iye, iye. Gue cuma gedor pintu doang elah.” Balas pria di seberang sana tak meyakinkan.
Telepon dimatikan sepihak oleh ayahnya.
Selanjutnya, Keisha kembali berlari. Mengesampingkan tubuh yang mulai menggigil, mata yang terasa perih, nafas yang sudah hampir habis dan kaki yang mulai terasa pegal. Berapa lama Keisha berlari sebenarnya?
BRAK
Pintu rumah dibuka kasar.
“Mana duit?” cerca ayah nya langsung usai pintu terbuka kasar. Matanya datar. Tidak ada raut khawatir sama sekali melihat anak gadisnya kebasahan.
“INI!”
Beberapa lembar uang merah disodorkan ke depan Jovan, sang ayah.
“LO BODOH ATAU GIMANA HAH? DUIT YANG GUE MINTA BUKAN SEGINI!”
Keisha menunduk mendapat bentakan demikian. Nyalinya seketika ciut.
“Keisha Cuma ada segitu. Hasil uang kerja Keisha hanya segitu, ayah.” Cicit Keisha sembari menahan tangis.
“LO MAU BODOHIN GUE?!”
Menggeleng kuat, Keisha membalas, “engga. Keisha engga bohong. Uang Keisha udah habis dipake Bunda juga.”
“Dasar anak gak guna!”
BRAK
Tubuh tegap yang dulunya biasa dia peluk, hilang dibalik pintu.
Keisha menunduk di lipatan kakinya. Bahunya bergetar seiring isakan yang memenuhi ruangan itu.
Hatinya begitu perih hingga kondisi Haikal dia lupakan untuk sesaat.
“Keisha cape, Tuhan... Keisha harus ngadu ke siapa kalo gini?”
Mental nya lelah. Fisiknya lelah. Harus didatangkan berapa banyak cobaan lagi hingga Keisha menemukan kebahagiaannya?
Drttt drrttt
Ibu Yana is calling…
“Ibu…”
“Keisha, kamu udah sampe rumah, nak? Suara kamu kenapa?”
Perasaan Keisha menghangat. Ia lupa masih ada Ibu Yana, gurunya di sekolah yang selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah.
“Keisha cape, bu. Keisha boleh curhat?”
“Apapun buat kamu, nak. Ibu siap dengerin.”
“Ayah nagihin uang Keisha lagi hiks… Keisha dibilang anak gak guna sama ayah, padahal Keisha selalu nurutin apa kata ayah. Bunda juga sama. Kenapa hasil kerja keras Keisha dari lama untuk Haikal, dimintain mereka terus, Ibu?”
“Kamu hebat. Keisha keren dan terhebat sedunia. Keisha gadis hebat yang pernah Ibu temuin selama ini. Tolong jangan dengerin kata-kata buruk ayah kamu, ya. Untuk hasil kerja keras kamu yang gak dihargain, biar Tuhan yang kasih balasan untuk umatnya. Keisha sekarang boleh cape. Istirahat juga boleh. Tapi jangan sampe putus asa, ya?”
Tangis Keisha semakin pecah. Kata-kata seperti itu, tidak pernah sekalipun dia mendengarnya.
“Tapi Keisha pengen nyerah hiks... Hari esok, di sekolah dan di rumah, Keisha udah engga sanggup lagi.”
Keisha tidak tau, diseberang sana, Ibu Yana sedang menahan tangisnya kuat-kuat agar seberapa rapuh dirinya mendengar keluhan Keisha yang tiada henti, Keisha tidak bisa mendengarnya.
Hatinya ikut terasa perih. Sudah bukan yang pertama Keisha mengeluh cape kepadanya. Namun, ini adalah pertama kalinya Keisha mengatakan ingin menyerah dan tidak kuat lagi menjalani hari-harinya.
“Sayang, nyerah bukan solusi dari semuanya. Gimana sama Haikal kalo kamu udah nyerah?”
“….”
Keisha diam dengan wajah basah dipenuhi jejak air mata.
“Sekarang kamu tidur, ya. Jangan ngelakuin apapun selain tidur kalo pikiran lagi kalut. Hari esok, biar Tuhan yang tuntun kamu buat jalaninya. Dan hari esok, jangan kamu pikirkan bagaimana rasa lelahnya.”
“Keisha mau tidur dipeluk Ibu, tapi Ibu Yana jauh, engga bisa Keisha raih buat peluk.”
“Kamu peluk adik kamu dulu, ya. Di sekolah besok, Ibu akan peluk kamu sampai kamu tenang. Jadi, kamu harus bangun besok pagi biar bisa ketemu Ibu.”
Senyum miris Keisha terbit. Kakinya melangkah menuju salah satu kamar yang hening. Kamar Haikal. Sedikit mengherankan tidak mendengar apapun dari dalam sana.
“Siap Ibu. Doain Keisha selalu, ya.”
“Selalu. Have a nice dream, Keisha. Ibu matikan ya.”
“Iya, bu.”
Tut tut
Ceklek
Pintu kayu terdorong dan Keisha masuk perlahan ke dalamnya. “Haikal? Kamu udah tidur?”
Gelungan selimut di atas Kasur menarik kurva di bibirnya.
“Haikal, temenin kakak selalu, ya. Kakak rasa gak akan bisa bertahan kal---” Selimut yang menutupi gelungan tubuh adiknya terbuka.
Bukan mata terpejam Haikal disertai nafas teratur yang Keisha lihat dan rasakan. Sebaliknya, mata itu melotot sempurna tanpa adanya nafas yang berhembus melalui celah hidungnya.
“HAIKAL?!” teriak Keisha panik. Jantungnya berdegup kencang memikirkan fakta yang baru saja dia temukan.
Tangisnya pecah begitu saja. Adiknya yang dia jaga, dia rawat dan dia limpahkan kasih sayang kini diambil Tuhan dan meninggalkannya sendirian ditengah kejamnya dunia penuh muslihat.
“Hiks… Haikal…”
Keisha memeluk jasad Haikal yang kaku kepangkuannya.
Kini, tidak ada lagi alasannya untuk bertahan hidup.
Tidak ada lagi alasan untuknya bekerja dari Senin hingga minggu dan dari pagi hingga malam hari. Sama sekali tidak ada.
----
Ibu, maaf Keisha engga bisa dateng ke sekolah dan peluk Ibu besok di sekolah. Keisha engga sekuat itu... Alasan Keisha bertahan ternyata udah diambil Tuhan lebih dulu. Makasih banyak karena Ibu udah mau denger curhatan dan keluh kesah Keisha selama ini. Ibu Yana adalah guru dan Ibu terbaik yang Keisha miliki. Terima kasih banyak atas semua kata-kata pendukung dan penguatnya. Keisha mau nyerah sama masalah yang terus-terusan nyerang Keisha dan gak kasih Keisha waktu buat istirahat. Hari esok dan seterusnya, biar Keisha amati dari atas sana. Ibu jangan sedih, ya! Beban ibu udah berkurang 1 mulai sekarang. Semoga Ibu Bahagia dan sehat selalu. Keisha sayang Ibu.
----
Keisha menahan tangis kala membuat pesan untuk Ibu Yana yang sudah dia kirimkan.
Tekad nya sudah bulat.
Sakitnya sudah terlalu lama ia rasakan.
Keisha ingin terhindar dari rasa sakit ini yang telah menjeratnya sekian tahun.
Untuk itu, biarkan Keisha beristirahat dan merendam diri sendiri di dalam bathup, ya!
Jangan dibangunkan….
Sudah gilirannya untuk bertemu dengan ajal.
Keisha ingin menyusul adiknya yang sudah lebih dulu pergi dari kekejaman dunia.
Untuk hari esok dan seterusnya, Keisha ucapkan selamat tinggal.
Untuk rasa sakit mental dan fisiknya, Terimakasih karena sudah menemani 4 tahun belakangan ini.
Keisha ingin berendam dulu hingga udara tidak bisa lagi dia hirup untuk selamanya…
Jangan khawatirkan api neraka yang akan Keisha temui. Atas segala cobaan yang pernah ia terima, Tuhan akan memberikan kelonggaran untuk umatnya yang paling sengsara, kan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI