Mohon tunggu...
Ni Kadek Pudja Sastra
Ni Kadek Pudja Sastra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Airlangga

Edukasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengatasi Fear of Missing Out (FoMO) dengan Menemukan Kebahagiaan di Hidup yang Sederhana

24 Desember 2024   16:45 Diperbarui: 24 Desember 2024   16:47 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang wanita yang memeriksa ponselnya (Sumber: pixabay/ Nicoletaionescu)

Seberapa sering kamu melihat kiriman orang lain yang membuat kita merasa "tertinggal"? nah, itu merupakan masalah umum di era digital ini, tetapi apakah ini cara hidup yang sehat?

Kita sering merasa perlu untuk tetap mengikuti perkembangan di dunia digital. Berita tentang acara mewah, perjalanan, dan momen-momen yang tampaknya ideal dan tak ternilai dari orang lain berlimpah di media sosial. Di sinilah Fear of Missing Out atau yang lebih dikenal dengan sebuatan FoMO, muncul. Menurut Przybylski et.al (dalam Tidar Aditya Suga, 2020) Fear of Missing Out (FoMO) didefinisikan sebagai kecemasan akan kehilangan momen berharga suatu individu atau kelompok lain di mana individu tersebut tidak dapat hadir didalamnya dan ditandai dengan keinginan untuk tetap terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui internet atau dunia maya.

FoMO bukanlah hal baru, tetapi teknologi dan media sosial memperburuk fenomena ini. Melihat teman-teman kita menghadiri acara seru atau menjalani hidup yang tampak sempurna sering membuat kita merasa kurang. Kita membandingkan diri kita dengan mereka, dan akhirnya merasa kurang beruntung atau ketinggalan. Keinginan untuk selalu tahu dan terlibat justru membuat kita gelisah, karena pada kenyataannya, mustahil untuk ikut serta dalam setiap momen. Selain itu, rasa FoMO yang terus-menerus tidak hanya mengganggu pikiran, tapi juga kesehatan mental kita. Terus merasa perlu menyesuaikan diri dengan standar yang ditentukan orang lain bisa membuat stres dan cemas meningkat. Pada akhirnya, kita tidak bisa menikmati momen-momen kecil dalam hidup karena pikiran kita terus terfokus pada hal-hal yang mungkin kita lewatkan.

Menurut Aisafitri & Yusriah (2021) tingkat FoMO tertinggi dialami oleh remaja dan dewasa awal (emerging adulthood), rendahnya kepuasaan dalam hidup dapat mendorong FoMO yang tinggi dan FoMO yang tinggi disebabkan karena terlalu sering mengakses internet ketika sedang menjalani aktivitas yang membutuhkan konsentrasi tinggi seperti mengemudi maupun sedang belajar didalam kelas.

Maka dari itu, perlu adanya kesadaran dalam diri kita untuk dapat memaknai dan menghargai kehidupan kita yang sebenarnya dan menjauhkan situasi-situasi yang mendorong munculnya FoMO. Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat dialkukan untuk membantu kita menghindari FoMO:

  • Fokus pada Diri Sendiri (Sadari bahwa setiap orang memiliki jalur dan prioritas hidup yang berbeda. Cobalah untuk lebih menghargai pencapaian dan momen berharga dalam hidup Anda sendiri. Self-acceptance adalah langkah pertama menuju kebahagiaan)
  • Batasi Penggunaan Media Sosial (Media sosial adalah salah satu penyebab utama FOMO. Batasi waktu kamu menggunakannya, atau bahkan coba untuk "detoks digital" beberapa hari setiap bulan. Dengan mengurangi paparan, kamu akan lebih mudah untuk merasa puas dengan apa yang kamu miliki)
  • Praktikkan Mindfulness (Fokus pada momen saat ini bisa membantu kita merasa lebih tenang dan menghargai apa yang ada. Teknik mindfulness, seperti meditasi atau deep breathing, bisa menjadi alat yang efektif untuk mengatasi kecemasan yang muncul karena FoMO)
  • Tetapkan Prioritas Pribadi (Tanyakan pada diri sendiri, "Apa yang benar-benar penting bagi saya?" Menetapkan tujuan hidup yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan kamu, bukan berdasarkan apa yang sedang tren, akan membantu kamu merasa lebih puas dan fokus)
  • Rayakan Hal-Hal Sederhana (Kebahagiaan bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki atau seberapa banyak momen spesial yang kamu ikuti. Terkadang, kebahagiaan ditemukan dalam hal-hal sederhana, seperti menikmati secangkir kopi di pagi hari, menghabiskan waktu dengan keluarga, atau berjalan di taman)

Selain itu, Gaya hidup minimalis bisa menjadi solusi untuk FoMO. Dengan menerapkan prinsip "less is more," kita belajar bahwa memiliki lebih sedikit justru membuat hidup lebih bermakna. Minimalisme mengajarkan kita untuk menikmati apa yang kita miliki dan berhenti mengejar hal-hal yang tidak benar-benar kita butuhkan. Hidup sederhana membuat kita lebih bahagia, karena kita belajar untuk fokus pada hal-hal yang penting dan berarti.

Meskipun, FoMO mungkin sulit dihindari, tetapi kita memiliki kendali untuk mengatasinya. Dengan belajar menghargai momen-momen kecil dan berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain, kita bisa menemukan kebahagiaan yang sejati. Mari mulai dari hal sederhana dengan syukuri hidup yang kita miliki dan fokus pada apa yang membuat kita bahagia. Bahagia bukan tentang seberapa banyak hal yang kita miliki, tapi seberapa banyak hal sederhana yang bisa kita nikmati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun