Mohon tunggu...
Ni Ketut Pajarini
Ni Ketut Pajarini Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi/PGPAUD/0/UNDIKSHA

Saya sangat menyukai membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Tri Hita Karana: Sejarah, Filsafat, dan Kearifan Lokal

23 Juni 2024   19:23 Diperbarui: 23 Juni 2024   19:40 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

THK (Tri Hita Karana) dicetuskan pertama kali oleh Dr. I Wayan Merta Suteja pada Konferensi Daerah I Badan Pekerja Umat Hindu Bali pada tanggal 11 November 1996. Pada hari Kamis, 11 Oktober 2018 di Bali diadakan Tri Hita Karana (THK) Forum on Sustainable Development, di mana Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, memperkenalkan filosofi Tri Hita Karana sebagai kunci kebahagiaan

THK berasal dari kepeercayaan Hindu, Kristen, Islam, Buddha, dan Konghucu. Dalam kepercayaan Hindu, THK merupakan kearifan lokal masyarakat Bali yang berkelindan dengan kitab suci Bhagavad-gt. Dalam kepercayaan Kristen, THK merupakan kasih yang berkorban dengan menjadi manusia untuk menanggung dosa manusia. Dalam kepercayaan Islam, THK merupakan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Dalam kepercayaan Buddha, THK merupakan tujuan agama Buddha untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang bersifat abadi. Dalam kepercayaan Konghucu, THK merupakan kebahagiaan yang akan diraih jika umat manusia membaktikan hidupnya kepada Tuhan, mengasihi dan empati terhadap semua makhluk, dan melakukan tanggung jawabnya terhadap lingkungan hidup.

THK (Tri Hita Karana)  merupakan konsep universal, secara terminologi berasal dari bahasa sansekerta yaitu, Tri yang artinya tiga , hita yang artinya Bahagia, karana yang artinya penyebab sehingga Tri Hita Karana berati tiga penyebab terciptanya kebahagiaan hidup manusia. Istilah THK (Tri Hita Karana) merupakan filosofi yang didasarkan pada keharmonisan manusia dengan tuhan (parhyangan) ini mencakup praktik-praktik keagamaan, spiritualitas, dan penghormatan kepada kekuatan ilahi, manusia dengan sesama (pawongan) ini mencakup aspek sosial, seperti gotong royong, solidaritas, dan kerja sama, dan manusia dengan alam lingkungannya (palemahan) ini mencakup perlindungan dan pelestarian alam, serta hidup selaras dengan lingkungannya.

Implementasi Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu:

Parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), yang dapat  diwujudkan dengan dewa yadnya seperti tri sandya, persembahyangan, tirta yatra, dan berdoa setiap akan melakukan aktivitas.

Pawongan (hubungan manusia dengan sesamanya), yang dapat diwujudkan dengan menjaga hubungan harmonis antar sesama manusia seperti tolong menolong, saling menghargai pendapat, gotong royong.

Palemahan (hubungan manusia dengan alam lingkungannya), yang dapat diwujudkan dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohoh sembarangan, menanam pohon, membersihkan pekarangan rumah setiap hari, melakukan upacara tumpek wariga dan tumpek uduh yang menghormati tumbuh-tumbuhan dan pepohonan, dan melestarikan alam dengan cara penghijauan.

THK sebagai filsafat berarti mendalami makna dan nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman manusia dalam tiga bidang tersebut yaitu parahyangan (hubungan manusia dengan tuhan), pawongan ( hubungan manusia dengan sesama) dan palemahan (hubungan manusia dengan lingkungannya), dengan tujuan menjadikan manusia bijaksana. THK juga mencakup metode berpikir mendalam, hati-hati, dan teliti dalam menganalisis pengalaman manusia. Kearifan Lokal dalam THK, kearifan lokal adalah gagasan yang bersifat bijaksana berdasarkan nilai-nilai kebaikan yang tertanam dalam masyarakat. Kearifan lokal THK berhubungan dengan pengalaman manusia dalam bidang parhyangan, pawongan, dan palemahan. Kearifan lokal dapat berupa petuah, nasihat, ungkapan, peribahasa, pepatah-petitih, dan slogan. Manfaat Kearifan Lokal, Kearifan lokal menjadi identitas suatu komunitas dan elemen perekat lintas warga, agama, dan kepercayaan. Kearifan lokal tidak bersifat memaksa, tetapi lahir dari masyarakat dan memiliki daya ikat yang kuat.

Kearifan lokal dapat mengubah pola pikir dan membangun kesadaran bersama yang berkelanjutan. Aspek Teologis, Sosial, dan Ekologis dalam THK, THK memiliki aspek teologis, yang menunjukkan hubungan manusia dengan Tuhan, dihormati melalui doa, bakti, dan sikap hormat. Aspek sosial menekankan harmoni dengan sesama manusia, dengan prinsip-prinsip seperti Tat Twam Asi (pengakuan bahwa seluruh manusia sama harkat dan derajatnya). Aspek ekologis menekankan hubungan harmonis dengan alam, melalui upaya pelestarian lingkungan dan penghormatan terhadap alam.

 Kearifan Lokal, Kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bijaksana, didasarkan pada nilai-nilai kebaikan yang tertanam dalam suatu komunitas. Kearifan lokal berfungsi sebagai identitas,  elemen perekat, dan aspek kohesif lintas warga, agama, dan kepercayaan. Tidak bersifat memaksa, melainkan berasal dari budaya yang hidup dalam masyarakat, sehingga daya ikatnya lebih kuat dan bertahan lama. Kearifan lokal dapat mengubah pola pikir dan membangun kebersamaan di atas kesadaran komunal.

 Manfaat Kearifan Lokal, Kearifan lokal menjadi identitas suatu komunitas dan elemen perekat lintas warga, agama, dan kepercayaan. Kearifan lokal tidak bersifat memaksa, tetapi lahir dari masyarakat dan memiliki daya ikat yang kuat. Kearifan lokal dapat mengubah pola pikir dan membangun kesadaran bersama yang berkelanjutan. Kearifan Lokal dalam Konteks THK, Kearifan lokal teologis (parhyangan) mengakui manusia sebagai homo religious dan homo deus, dengan hubungan yang berlandaskan pada konsep kaula-Gusti, rasa cinta, bakti, dan kompetensi spiritual. Kearifan lokal sosial (pawongan) memandang manusia sebagai homo socius, dengan kehidupan sosial yang menekankan prinsip "Tat Twam Asi" (saya adalah kamu), yang mengajarkan saling menghormati dan berbagi. Kearifan lokal ekologis (palemahan) menekankan hubungan harmonis manusia dengan alam, melihat bumi sebagai ibu dan menyamakan hubungan manusia dengan alam seperti janin dalam rahim. Upaya menjaga alam mencakup berbagai tradisi dan mitos seperti hutan larangan, buron duwe, dan saput poleng pada pohon

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun