Tri Hita Karana merupakan salah satu konsep budaya yang menjadi landasan bagi masyarakat Bali dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Konsep Tri Hita Karana tidak hanya sekedar filosofi, tetapi juga sebuah konsep spiritual, kearifan lokal, sekaligus menjadi gaya hidup yang tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali. Dengan tujuan membentuk keselarasan hidup manusia, konsep ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni antara tiga aspek utama dalam kehidupan: hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam.
Konsep dasar Tri Hita Karana yang tercantum dalam Kitab Suci Bhagawad Gita III. 10 dinyatakan bahwa yadnyalah yang menjadi dasar hubungan Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamaduk) (dalam Wiana, 2004:264). Berdasarkan pernyataan itu dapat simpulkan bahwa Tri Hita Karana adalah dasar untuk mendapatkan kebahagiaan hidup apabila mampu melakukan hubungan yang harmonis berdasarkan yadnya (ritual, korban suci) kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud bakti (tulus) kepada sesama manusia dalam wujud pengabdian dan kepada alam lingkungan dalam wujud pelestarian alam dengan penuh kasih
Istilah Tri Hita Karana pertama kali Istilah Tri Hita Karana pertama kali digagas dan dipopulerkan oleh tiga tokoh agama Hindu, I Wayan Mertha Suteja, I Gusti Ketut Kaler, dan I Made Djapa. Istilah ini muncul pada saat konferensi Daerah I Badan Perjuangan Umat Hindu Bali di Perguruan Dwijendra Denpasar, pada tanggal 11 November 1966 dan mulai diimplementasikan sejak 1969 dalam seminar desa adat. Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu tri yang artinya tiga, hita yang artinya bahagia dan karana yang berarti penyebab. Secara harfiah, Tri Hita Karana berarti “tiga penyebab terciptanya kebahagiaan”. Konsep ini memiliki makna mendalam yang mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni antara tiga aspek tersebut.
- Parahyangan
Konsep hubungan yang harmonis manusia dengan tuhan (Parahyangan) mengacu pada upaya manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan menjaga hubungan yang harmonis dengan tuhan melalui kegiatan seperti rajin sembahyang, melaksanakan ajaran agama dan melaksanakan dharma. Selain itu upaya untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa juga dilakukan dengan melaksanakan upacara keagamaan rutin seperti Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Upacara-upacara ini tidak hanya memperkuat spiritualitas individu tetapi juga memperkokoh rasa kebersamaan dalam komunitas. Melalui kegiatan seperti sembahyang bersama dan gotong royong dalam persiapan upacara, masyarakat Bali dapat merasakan ikatan yang lebih erat dengan Tuhan dan sesama.
- Pawongan
Konsep hubungan manusia dengan sesamanya (Pawongan) mengacu pada prinsip yang mengajarkan pentingnya saling menghormati dan tolong-menolong antar sesama, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun antar warga Bali yang berbeda etnis atau agama.
Subak, sistem irigasi tradisional Bali, adalah salah satu contoh konkret dari implementasi Pawongan. Sistem ini tidak hanya berfungsi untuk mengatur distribusi air secara adil, tetapi juga memperkuat solidaritas dan kerjasama antar petani. Setiap anggota subak memiliki tanggung jawab dan hak yang sama, yang mendorong rasa kebersamaan dan saling mendukung. Selain itu melalui berbagai kegiatan seperti upacara pernikahan, potong gigi (metatah), dan upacara kematian (ngaben), masyarakat Bali belajar untuk bekerja sama dan saling membantu.
- Palemahan
Konsep hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan) konsep ini mengajarkan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Agar kita selalu menjaga alam tetap asri dan lestari, implementasi konsep pelemahan ini dapat kita lakukan dengan cara membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan sampah yang sulit terurai seperti sampah plastik dan melakukan penanaman pohon di lingkungan sekitar agar tercipta linglkungan yang asri. Selain itu, upacara Tumpek Wariga, yang dilakukan untuk memohon keberkahan dan kesuburan tanaman, adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat Bali menghormati alam. Melalui upacara ini, masyarakat Bali menunjukkan rasa syukur dan hormat mereka terhadap alam yang memberikan kehidupan dan kesejahteraan.
Meskipun Tri Hita Karana adalah konsep tradisional, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat relevan dengan kehidupan modern. Prinsip-prinsip yang diajarkan dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat di seluruh dunia untuk menjaga hubungan yang lebih baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar. Dalam konteks global yang semakin kompleks, penerapan Tri Hita Karana dapat membantu menciptakan kehidupan yang lebih harmonis dan berkelanjutan. Bagi masyarakat Bali, Tri Hita Karana bukan hanya sebuah teori, tetapi gaya hidup yang dijalani sehari-hari.
Tri Hita Karana adalah kearifan lokal Bali yang mengajarkan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan. Dengan menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam (Palemahan), masyarakat Bali menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan. Melalui penerapan nilai-nilai Tri Hita Karana, kita dapat belajar untuk hidup lebih harmonis dan berkelanjutan, serta menghargai kearifan lokal yang ada di sekitar kita.
Dengan memahami dan mengimplementasikan Tri Hita Karana, kita dapat memperkuat ikatan spiritual, sosial, dan lingkungan, sehingga menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan berkelanjutan. Konsep ini mengajarkan kita untuk selalu menghargai dan menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam, yang pada akhirnya akan membawa kita pada kebahagiaan sejati.
Refrensi: