Salah satu istilah yang populer dikalangan anak-anak SDK Watuwawer kala itu adalah deken. Kata ini tidak merujuk pada pengertian imam atau pastor yang mengetuai sebuah dekanat (vicariatus foraneus). Sama sekali tidak. Deken adalah kata kerja, merujuk pada kegiatan memanggil secara paksa seseorang (anak-anak sekolah) yang tidak hadir di sekolah hari itu.
Kegiatan deken ini melibatkan dua pihak. Pertama adalah anak-anak yang ditugaskan untuk mencari sekaligus menjemput (secara paksa) temannya yang absen, sementara pihak kedua adalah anak-anak yang hari itu tidak hadir di sekolah dengan berbagai alasan.
Anak-anak yang mendapatkan tugas ini biasanya amat gembira. Mereka memiliki kesempatan menjadi "penguasa sejenak". Untuk itu mereka berhak memarahi bahkan mengintimidasi atas nama tugas "mulia" dari sekolah/guru. Sebesar apapun badan anak terdeken, tidak memiliki kuasa apapun untuk menghindari, menolak atau bahkan melawan kehendak sang penguasa sejenak. Peran ini sungguh akan dioptimalkan, apalagi jika ada dendam sebelumnya.
Anak-anak terdeken harus manut. Jika tidak, dia akan di tarik dengan keras. Jika tetap tidak mau maka jalan terakhir adalah di tandu beramai-ramai oleh teman-temannya secara paksa. Dua tiga anak akan menggabungkan tangan membentuk tempat duduk. Sang ter-deken dipaksa naik ke atas dan duduk bertumpu pada tangan teman-temannya dan dibawah pergi ke sekolah.
Bagi anak-anak ter-deken, harus siap menerima konsekuensi mengalami tiga intimidasi. Pertama dari teman-temannya para petugas deken. Di bawah "kekuasaan sejenak" teman-temannya, dia tidak memiliki hak kecuali manut.
Kedua dari guru kelas yang siap di depan pintu dengan berbagai pertanyaan menyelidik. Tidak saja itu. Cambuk selalu ada ditangan, siap diayunkan. Dan ketiga adalah teman-teman sekelas. Tatapan mengejek, bahkan menghina harus diterima sebagai konsekuensi orang bersalah. Lebih dari itu, hal terberat lain adalah ketika diinterogasi di depan kelas dengan bahasa Indonesia.
Ini adalah beban tak terkira jika tidak mempu berbahasa Indonesia dengan baik. Di jawab, takut salah kemudian diejek satu kelas atau kena sangsi. Tidak dijawab malah lebih lagi.
Cara demikian, membuat anak-anak selalu hadir di sekolah, walau terpaksa. Kesadaran bersekolah jaman itu hanya milik para guru dan anak-anaknya. Anak-anak petani cenderung berpikir untuk menjadi petani (tetap ada pengecualian) seperti orangtuanya. Adagium 'banyak anak banyak rejeki' menguatkan persepsi ini. Tidak heran jika banyak orang tua mengarahkan anaknya untuk kerja di kebun dibanding pergi sekolah.
Kelak, ketika pemerintah mengeluarkan aturan Wajib Belajar 9 tahun, yang merupakan program Pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan jaman, berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional No. 2/1989, rasa-rasanya SDK Watuwawer sudah melakukan dengan caranya sendiri. Mendatangi setiap rumah yang memiliki anak-anak, mengajak mereka ke sekolah walau terkadang dengan cara yang keras, ada yang usianya sudah tinggi, berkumis dan berjenggot pula. Mereka semua wajib pergi ke sekolah. Inilah wujud nyata wajib belajar tersebut.
Kini para guru tidak perlu lagi menggunakan metode deken. Orang tua masa kini memiliki kesadaran tinggi akan hal ini sejak awal, betapa pentingnya anak-anak pergi sekolah, menuntut ilmu untuk mempersiapkan hidup mereka agar lebih baik dari orang tuanya.