Cerita blak blak-an Mahfud MD di acara Indonesian Lawyers Club baru-baru ini seolah membuat anggapan publik bahwa petinggi PB NU, Said Aqil Siradj dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar telah melakukan kongkalikong demi terpilihnya KH. Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden yang dipasangkan dengan Petahana Joko Widodo.
Pengakuan itu sontak menyeret dan mencoreng nama besar NU sebagai Organisasi Islam terbesar dengan tudingan tak lagi netral dan melakukan politik praktis. Namun, sebelum menilai dan menghujat lebih jauh, alangkah baiknya jika kita menelisik lebih dalam tentang kebermanfaatan NU mengambil peran dalam demokrasi.
Sebagai organisasi masyarakat yang mengakar pengaruhnya, tentu dukung-mendukung itu sulit dihindarkan. Sudah pasti NU sebagai gerakan yang hidup, berkembang, dan memiliki pengaruh yang kuat di tengah masyarakat, secara alamiah turut berproses dalam perkembangan politik dan demokrasi suatu Negara.
Meskipun sempat menuai pro dan kontra, terpilihnya KH. Ma'ruf Amin sebagai Cawapres merupakan satu langkah lebih maju dalam pendewasaan demokrasi. Karena keputusan tersebut diambil atas dasar kebutuhan bangsa dan negara. Sebagai salah satu ormas yang berbasis Islam yang mengusung nilai-nilai moderat dan rahmatan lil alamin, langkah ini tentu sangat tepat untuk menjamin persatuan dan kesatuan yang akhir-akhir ini sempat sedikit goyah akibat merebaknya politik identitas.
Politik Pengabdian
KH. Ma'ruf Amin, selain sebagai perajut nilai-nilai persatuan, juga sebagai implementasi dari politik pengabdian. Bagaimana tidak, beliau harus rela men-"downgrade" statusnya sebagai seorang Kiyai, menjadi seorang Calon Wakil Presiden.
Yang dimaksud Politik Pengabdian adalah bagaimana masyarakat harus berperan secara lamgsung dalam proses demokrasi sebagai salah satu bentuk pengabdian terhadap negara. Menurut Menteri Agama H Lukman Saifuddin minggu, (19/08/19) di acara ilaturrahim NU sedunia, di era global seperti sekarang ini, salah satu tantangan warga NU adalah "dengan melakukan tindakan berpolitik".
Politik sejatinya senantiasa diperlukan oleh masyarakat, tak terkecuali NU. Amat perlu dipahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang sejuk lagi mendamaikan. Terlebih lagi 'memikirkan dan memperhatikan urusan umat Islam' dengan mengambil tidakan secara politik hukumnya adalah fardlu (wajib).
Sehingga apa yang dilakukan KH. Ma'ruf Amin adalah benar. KH. Ma'ruf Amin tidak sedikitpun menodai NU dan menggunakan jabatan Rais Aam PBNU sebagai alat menjadi cawapres Joko Widodo.
Beliau tak menyalahgunakan posisinya di PBNU untuk kepentingan ambisi politik pribadi, melainkan sebagai upaya untuk memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap seluruh umat Islam, bangsa dan negara Indonesia. Karena kita tidak boleh mengeneralisir satu opini yang dilakukan secara pribadi.
Sekarang, kita sebaiknya berpikiran positif atas upaya KH. Ma'ruf Amin dalam memberi kontribusi untuk memperbaiki bangsa dan negara secara langsung. Tak perlu menghujat dan menuduh. Ketahuilah, bahwa apa yang dilakukan KH. Ma'ruf Amin dalam kapasitasnya sebagai Kyai merupakan sebuah pengabdian dan upaya untuk kebaikan masyarakat di Indonesia pada umumnya dan warga NU pada khususnya. Yang dilakukan beliau, adalah untuk menjaga masa depan demokrasi di Indonesia.