Tulisan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang mempertanyakan mengapa kita harus membayar untuk sebuah rapid test. Sekedar mengingatkan, saya kemudian memprediksi bahwa apabila untuk sebuah rapid test kita diwajibkan membayar, maka jangan heran jika nanti kita pun harus membayar vaksin COVID 19 berapapun harganya, apalagi jika itu kemudian menjadi syarat administrasi tertentu.
Tanpa sengaja di pagi hari ini (19 Agustus 2020) saya membaca dua surat kabar ternama di Australia, yakni the Age dan Herald Sun yang dalam headlinenya menyatakan bahwa Perdana Menteri Scott Morrison berjanji akan menggratiskan biaya vaksin COVID-19 untuk seluruh warga negara Australia. Bahkan term yang dipakai adalah 'pledge' dan bukan sekedar 'promise' atau 'commit'. (gambar terlampir). Artinya, sang perdana menteri tak ubahnya seperti berjanji secara hukum (to bond or guarantee) untuk memberikan vaksin gratis ini, bahkan disaat kandidat vaksin ini masih dalam taraf uji coba oleh Oxford University.
Bagi Indonesia, ada dua alasan mendasar mengapa vaksin COVID-19 harus diberikan gratis.
- Bukti Kehadiran Negara di Situasi Sulit
Seperti yang pernah saya jelaskan, Indonesia adalah negara yang menganut prinsip Welfare State. Keberadaan social welfare atau kesejahteraan social menjadi salah satu prasyarat utama. Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh (Pasal 27 s/d 34) UUD 1945 sudah secara gamblang merumuskan apa yang dimaksud dengan kesejahteraan social ala Indonesia. Dan jelas kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan dasar yang wajib ditanggung negara sebagai perwujudan konsep kesejahteraan social tadi.
Lalu Undang-Undang 10 tahun 2009 tentang Kesejahtaraan Social dan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan jelas menyebutkan Negara harus memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, baik material maupun non-material. Dan siapa yang berani bilang kesehatan itu bukan bagian dari kebutuhan dasar rakyat? Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan, segalanya menjadi tidak mungkin. Begitulah ilustrasinya.
Terkait COVID-19, kehadiran virus ini sudah dinyatakan sebagai pandemic global dan seluruh hal yang terkait langsung dengan wabah ini, termasuk upaya pencegahan, pengendalian, hingga penyembuhannya sudah seharusnya menjadi tanggungan negara. Tegakah kita memungut bayaran kepada masyarakat yang sudah terkena musibah?
Ibaratnya, seperti musibah banjir, sudah barang-barang berharga mereka rusak terkena lumpur, lalu negara meminta bayaran untuk proses pembersihan lumpur dari rumah-rumah mereka yang menjadi korban banjir. Banjir mungkin bisa dikatakan bencana local, tapi COVID-19, bukankah ia sudah menjadi bencana global? COVID-19 harus menjadi bukti bahwa negara benar benar ada. Jangan seperti apa yang pernah dinyanyikan band Utopia dulu, 'antara ada dan tiada', sing jelas atau gabeng, kalo kata orang Bali.
- Mencegah Politisasi COVID-19 oleh Kaum Intoleran
Selanjutnya, COVID-19 seakan menjadi sarana promosi bagi politisi ambisius nan oportunis untuk mengejar target yang lebih besar di 2024. COVID-19 menjadi panggung untuk menunjukkan hanya daerahnya yang serius dan sungguh-sungguh menangani virus ini. Tak segan mereka justru menyalahkan pihak lainnya. Konkritnya, dalam konsep otonomi daerah, seorang Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Lalu kok bisa mereka bertentangan dalam menangani COVID-19? Entah sengaja atau tidak sengaja, kemunculan mereka berbarengan dengan munculnya gerakan yang secara sepihak mengklaim mampu menyelamatkan Indonesia.
Saya setuju dengan apa yang dikatakan Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Agustus 2020 kemarin bahwa masih ada pihak yang tidak sepakat dengan prinsip-prinsip negara Indonesia, dan mempertentangkannya dengan prinsip agama tertentu. Munculnya gerakan kolektif yang mengklaim hanya kamilah yang bisa menyelamatkan Indonesia menjadi contohnya.
Jangan KAMI yang menyelamatkan Indonesia tapi 'KITA' yang harus menyelamatkan Indonesia. Unity in diversity and not Unity in Similarity or Homogeneity. Kalo similarity atau homogeneity-nya seperti negara-negara skandinavia macam, Finladia atau Denmark sih bagus. Nah kalo yang dirujuk model-model Pa*****tan atau Af******tan, Lama-lama jadi Indostan atau Indonestan kita alias Keakean tukaran kata orang Jawa.
Nah, kemunculan gerakan kolektif disaat momentum COVID-19, ditambah munculnya politisi opportunis ini tentu patut diwaspadai. Agenda apa yang mereka rencanakan di 2024? Apalagi memang terdapat ketidakpuasan masyarakat terhadap pola penanganan pemerintah di masa pandemic ini.Â
Maka, cara yang harus dilakukan adalah manfaatkan momentum pemberian Vaksin gratis COVID-19 untuk mempersempit atau bahkan menutup peluang mereka di 2024. Tutup peluang suatu pimpinan daerah untuk mengambil momentum di kala pandemic ini. Apalagi, ini adalah periode terakhir pemerintahan saat ini. Save the best for last by giving free COVID-19 Vaccine. Sebab, saya membayangkan jika nanti pemerintah pusat tidak menggratiskan vaksin ini, terbuka peluang bagi mereka untuk meraih simpati dan dukungan public dengan memberikan vaksin gratis di daerah-daerah kekuasaannya.
O iya, pemberian vaksin gratis ini juga akan menyelamatkan muka pemerintah sendiri. Bolehlah tidak becus dalam pencegahan dan pengendalian penyebaran COVID-19, tapi tidak untuk upaya penyembuhannya. Layaknya pertandingan bola, manfaatkan waktu injury time yang tersisa untuk mencetak suatu gol penyelamat muka pemerintah sehingga terhindar dari cap kekalahan atau kegagalan dalam menangani COVID-19.
Lalu bagaimana jika ternyata Negara benar-benar tidak mampu?
Pemrintah pusat harus secara transparan menjelaskan alasan mengapa kita tidak mampu memberikan vaksin gratis kepada warga negaranya. Apalagi, jika kita nanti menemukan banyak negara (tak hanya negara maju) yang mampu memberikan vaksin COVID 19 secara gratis. Jelaskan mengapa penyerapan anggaran di kementerian itu demikian rendahnya.
Jelaskan mengapa beberapa pemerintah provinsi lebih senang mengendapkan dananya di bank ketimbang mendistribusikannya kepada masyarakat yang terkena dampak pandemi ini? Benarkah jumlahnya secara total mencapai 170 trilliun? Mengapa dana yang tidak terserap atau dana yang diendapkan, tidak dialihkan saja untuk menangani COVID 19, khususnya pendanaan Vaksin Gratisnya?
Lalu benarkah realisasi anggaran program penanganan dampak COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang besarnya mencapai 695 trilliun itu baru terserap 151 triliun atau hanya sekitar 21 persen per 6 Agustus 2020? Lalu bagaimana dengan pemanfaatan dana dari penjualan surat berharga negara (SBN) ke public. Sebagai contoh, pemerintah menyatakan hasil penjualan Obligasi Negara Ritel alias ORI017 akan digunakan untuk penanganan dan pemulihan dampak COVID-19. Bisakah kemudian itu diberikan untuk mendukung program pemberian vaksin COVID-19 gratis?
Semua pertanyaan harus dijelaskan secara transparan agar tidak timbul suatu keadaan 'Ex Falso Quo Libet', dimana dari pemahaman yang salah akan muncul kesimpulan yang salah. Jangan sampai masyarakat memiliki kesimpulan yang salah dan menganggap pemerintah tidak becus dalam penanganan COVID-19. Dan paling tidak vaksin gratis harus tetap diberikan gratis kepada tiga pihak, yakni kaum miskin, disabilitas, dan para tenaga kesehatan yang saat ini harus bertarung nyawa di masa pandemic ini...
Mengutip pepatah latin, deus ex machina, semoga pemberian vaksin gratis ini akan menjadi kejutan akhir yang menyenangkan di masa pemerintahan Joko Widodo. Mengutip bait lagu grup band Slank, Â ini akan menjadi legacy atau kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Semoga..
Ngurah Parikesit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H