Mohon tunggu...
Ngudi Tjahjono
Ngudi Tjahjono Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah staf pengajar di Program Studi Teknik Industri, Universitas Widyagama Malang. Untuk menyimak tulisan saya yang lain, silakan membuka: https://teraspotensia.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memanfaatkan Tanah Tak Bertuan

8 Juli 2016   22:31 Diperbarui: 8 Juli 2016   23:27 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sekitar rumah atau wilayah tempat tinggal Anda boleh jadi terdapat tanah tak bertuan. "Tak bertuan" yang saya maksud bukan berarti tanah yang tidak ada pemiliknya. Pemiliknya secara hukum ada, tetapi tidak diketahui oleh masyarakat sekitarnya, bahkan oleh ketua RT sekalipun. Biasanya tanah tersebut ditelantarkan bertahun-tahun, tidak ada yang mengolah atau menanami. Tanda-tanda akan didirikan bangunan pun juga tidak ada. Itulah yang saya sebut "tanah tak bertuan."

Lahan seperti ini bukan saja tidak sedap dipandang, melainkan juga menjadi tempat bersarang binatang berbisa seperti ular atau yang lainnya. Tentu saja meresahkan bagi orang-orang yang tinggal di dekatnya. Jika Anda termasuk salah seorang yang resah dengan keadaan seperti itu, sebaiknya Anda berkoordinasi dengan ketua RT agar beliau menghubungi pemiliknya supaya mau mengolah atau memelihara lahan tersebut. Jika mereka tidak peduli, atau tidak berhasil diketahui siapa pemiliknya, maka ketua RT, atas nama warga, bisa mengambil kebijakan mengizinkan warga untuk mengolahnya. Warga yang mau bisa menanami dengan tanaman yang berusia pendek, bukan tanaman tahunan, yang sewaktu-waktu diperlukan bisa ditebang dengan mudah. Contohnya adalah: tanaman singkong, ubi jalar, pisang, melon, mentimun, kacang panjang, kacang tanah, dan lain-lain. Hasilnya tentu bisa dimanfaatkan untuk dikonsumsi warga.

Pemilik lahan seharusnya sangat berterima kasih karena lahannya ada yang merawat dengan gratis. Di samping itu, kebermanfaatan lahan tersebut akan bernilai sadaqah jika diberikan dengan ikhlas. Bukankah menyenangkan orang lain itu berpahala? Apa lagi jika pemilik terus menjalin hubungan silaturrahim dengan warga yang mengelola tanah tersebut, akan memberikan nilai kebaikan yang berlipat bagi kedua belah pihak. Masing-masing pihak sama-sama ikhlas dalam hubungan simbiosis mutualisma. Semuanya berbahagia.

Jika pemilik lahan adalah seorang muslim, dia perlu merenungkan aspek hukum Islamnya di samping hukum nasional. Dalam hukum nasional memang dalam kondisi ditelantarkan pun juga masih tetap menjadi hal miliknya selama dokumennya jelas. Namun, seorang muslim yang baik akan juga mempertimbangkan aspek syar'i-nya:

Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. Bersabda, “Siapa yang memiliki tanah maka hendaknya menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya, jika tidak maka boleh menahannya.” (H.R. Bukhari-Muslim).

Jadi, secara hukum Islam, pemerintah Islam berhak mengambil alih tanah yang ditelantarkan. Hak pengelolaannya ada di tangan negara. Hal seperti ini terjadi jika negaranya adalah Negara Islam, yang tidak membiarkan adanya tanah yang tidak produktif.

Nah, dengan pertimbangan seperti ini, pemilik bisa memikirkan apakah berlindung di bawah hukum buatan manusia ataukah di bawah hukum buatan Allah? Tentu kembali kepada siapa mereka berpihak. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun