Mohon tunggu...
Nginggar Ajeng Radindi
Nginggar Ajeng Radindi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (S3) Universitas Sriwijaya (2023)

Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (2004), Alumni Magister Kenotariatan Universitas Sriwijaya (2021), Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya (2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kekuatan Eksekutorial Putusan Pengadilan Terkait Pemberian Nafkah Pasca Perceraian

11 Februari 2024   02:05 Diperbarui: 11 Februari 2024   06:19 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.

Dalam pernikahan, tak jarang terjadi permasalahan yang berujung pada perceraian. Perceraian merupakan hal yang dibolehkan akan tetapi meski demikian perkara ini Allah tidak sukai. Terkadang perceraian hanya akibat sepele, salah paham atau tidak mendasar. Putusnya perkawinan menurut pasal 113 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 megaskan bahwa putusnya suatu ikatan pernikahan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, karena kematian; kedua, karena perceraian; dan ketiga, karena putusan pengadilan. Putusnya suatu ikatan pernikahan yang disebabkan karena perceraian dalam hal ini meliputi dua hal, yaitu, cerai talak yang dilakukan suami dan cerai gugat yang dilakukan istri yang mengajukan gugatan perceraian. Sedangkan maksud dari putusnya perkawinan karena putusan pengadilan adalah pembatalan perkawinan. Semua bentuk dan macam perceraian tersebut mempunyai konsekuensi hukum tersendiri baik mengenai hak dan kewajiban mantan suami maupun hak dan kewajiban mantan isteri, yang penting dibahas disini adalah perceraian yang terkait dengan hak dan kewajiban nafkah, mut'ah, maskan, kiswah, hadhanah, dll.

Putusnya perkawinan karena suami mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama, maka kewajiban mantan suami adalah: pertama, memberikan mut'ah yang layak kepada mantan istrinya baik berupa uang atau benda, kecuali mantan isteri tersebut qobla al-dukhul; kedua, memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isteri selama dalam masa 'iddah, kecuali mantan isteri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; ketiga, melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-dukhul, dan memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Kata mut'ah merupakan bentuk lain dari kata al-mata', yang berarti sesuatu yang dijadikan obyek bersenang-senang. Secara istilah, mut'ah ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isteri yang diceraikannya sebagai penghibur selain nafkah sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban suami agar membayar mut'ah terhadap isterinya yang dicerai (ditalak) ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah: 236 dan 241. Selain itu, ditegaskan pula dalam Surat Al-Ahzab: 49. Menurut pendapat mayoritas Ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut'ah itu wajib untuk semua isteri yang ditalak. Sebagian Ulama Malikiyyah, seperti Ibnu Shihab berpendapat semua perempuan yang ditalak berhak mendapat mut'ah. Imam Syafi'i yang juga dipertegas oleh al-Syarbaini menyebutkan bahwa kebanyakan para sahabat yang diketahuinya, berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an di atas menegaskan bahwa yang berhak mendapat mut'ah adalah semua perempuan yang ditalak.

Selanjutnya, dalam hukum positif Indonesia bahwa akibat dari putusnya perkawinan mengakibatkan mantan suami wajib memberi nafkah, maskan, dan kiswah, kepada mantan isteri selama dalam 'iddah, kecuali mantan isteri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Adapun yang dimaksud dengan nusyuz adalah yaitu ketika pihak isteri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang isteri untuk berbakti lahir dan batin kepada suami sesuai dengan hal-hal yang dibenarkan oleh hukum Islam. Hal itu berarti yang patut dijadikan tolak ukur dalam menentukan nusyuz atau tidaknya adalah berdasarkan pada fakta atas pembuktian yang sah dipersidangan terkait dengan sikap dan perilaku nusyuz selama keduanya menjalani rumah tangga bukan siapa yang mengajukan perceraian. Kemudian menurut pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur akibat perceraian, menyatakan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri. Bahkan dalam pasal 81 Kompilasi Hukum Islam tanpa mengaitkan dengan ada atau tidaknya nusyuz dari mantan isteri, suami berkewajiban memberikan tempat kediaman (maskan) bagi mantan isterinya selama ia menjalani masa 'iddah.

Tegas bahwa selesai putusnya sidang perceraian, maka timbul status baru dan ada perubahan hak dan kewajiban antara kedua pasangan yang bercerai tadi. Menurut ketentuan pasal 54 UUPA menyebutkan bahwa hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan Pengadilan Umum/Pengadilan Negeri, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UUPA. Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Negeri diantaranya adalah HIR/RBg. Dalam HIR disebutkan bahwa jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi putusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua Pengadilan Negeri/ Pengadilan Agama untuk menjalankan putusan. Ketua pengadilan memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua yang selama-lamanya delapan hari. Jika sudah lewat delapan hari tersebut dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan biaya semua biaya untuk menjalankan keputusan.

Berdasarkan ketentuan HIR dan RBg di atas, maka dapat dipahami bahwa apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela, maka pihak yang dinyatakan menang dalam berperkara perdata tersebut dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan yang memutus perkara tersebut, agar pengadilan melakukan sidang aanmaning (teguran) dengan memanggil pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan secara sukarela. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan setelah dilakukan aanmaning, maka setelah lewat delapan hari, pengadilan melakukan penyitaan terutama terhadap aset bergerak (tidak tetap) milik pihak yang bersangkutan.

Dengan demikian, ketentuan HIR Pasal 195 dan Pasal 196 (1) serta RBg Pasal 207 (1) dan (2) dan Pasal 208 mengatur apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan yang memutus perkara tersebut. Setelah mengajukan permohonan eksekusi, pengadilan melakukan pemanggilan untuk melakukan tahap peneguran atau aanmaning kepada yang bersangkutan dalam waktu delapan hari. apabila putusan masih tidak dijalankan secara sukarela maka pengadilan melakukan penyitaan terutama atas aset bergerak (tidak tetap) pihak tereksekusi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keengganan pihak suami melaksanakan isi putusan berupa mut'ah dan nafkah 'iddah secara yuridis tidak menghalangi ikrar (pengucapan) talak oleh suami di muka sidang pengadilan, karena ikrar talak dan pembayaran mut'ah serta nafkah 'iddah dipandang suatu hal yang berdiri sendiri, terpisah atau kewajiban yang tidak melekat. Artinya bahwa timbulnya kewajiban mut'ah dan nafkah 'iddah adalah karena akibat terjadinya talak. Bilamana tidak ada talak maka kewajiban membayar mut'ah dan nafkah 'iddah pun tidak ada.

Sehingga apabila putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, maka mantan isteri dapat mengajukan sita dan pelelangan kepada pengadilan agama atas barang bergerak (tidak tetap) milik tereksekusi (mantan suami). Namun sebelum pengajuan tersebut, barang bergrak yang diajukan sita harus diidentifikasi lebih dulu oleh mantan isteri sendiri. Meskipun membutuhkan proses dan waktu yang tidak sedikit, serta biaya yang tentunya tidak ringan tetapi itulah salah satu jalan untuk mendapatkan keadilan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa filasofi keadilan yang diciptakan HIR dan RBg dalam masalah kewajiban pembayaran mut'ah dan nafkah 'iddah ini merupakan keadilan bayang-bayang semu atau keadilan fatamorgana yang apabila diupayakan untuk didapatkan keadilan tersebut tidak akan didapat, kalaupun didapat secara normatif hasilnya pun hampa karena nilai yang dikejar dengan biaya yang dikeluarkan tidak berbanding simetris.

Menurut hemat penulis, sebelum mantan isteri mengajukan permohonan eksekusi terhadap kewajiban mantan suami memberikan mut'ah dan nafkah 'iddah maka harus mempertimbangkan terlebih dahulu besaran nilai mut'ah dan nafkah 'iddah tersebut dibebankan kepada mantan suami. Apabila besarannya dirasa jauh melebihi biaya proses permohonan eksekusi dan mantan suami terbukti memiliki biaya atau benda lain yang dapat menutupi pembayaran mut'ah dan nafkah 'iddah tersebut, maka mantan isteri disarankan untuk mengajukan eksekusi ke pengadilan agama. Karena apabila mantan suami dalam kenyataannya sudah tidak memiliki biaya atau barang berharga yang dapat dilelang yang senilai dengan kewajiban membayarnya, maka permohonannya pun akan menjadi ilussoir (sia-sia), meskipun nilai mut'ah dan nafkah 'iddah pada awalnya disesuaikan dengan kemampuan dan kepatutan.

Selanjutnya, ketika suatu proses permohonan eksekusi terjadi, maka sebagai pihak pencari keadilan tinggal berharap terhadap kebijaksanaan hakim dalam memutus perkara yang sedang terjadi, apabila hal ini merupakan suatu hal yang dianggap tidak ada hukumnya atau suatu hal yang merupakan kekosongan hukum, maka kreativitas para hakimlah yang dituntut menjadi judge made law untuk membangun pilar keadilan. Ketika hakim berani dalam membuat hukum demi keadilan, maka disitulah nilai dari kearifan dan kebijaksanaan seorang hakim, sehingga hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang (Ia bouche des lois) tetapi juga sebagai pembuat undang-undang (judge made law). Dengan demikian hakim tersebut merupakan hakim yang berjiwa progresif yang mampu membaca nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sehingga keadilan betul-betul merekah membela hak-hak mereka para pencari keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun