Mereka ini bukan orang yang kelebihan uang. Bahkan nyaris kurang. Namun mereka memiliki kelebihan energi untuk memburu buku.
Kejadian perburuan buku pada tahun 2016. Mungkin sudah cukup lama. Namun energi dan inspirasi yang mereka tulis masih relevan untuk konteks sekarang.
Penulis pertama bernama Mutimmatun Nadhifah. Ia menulis catatan dengan judul "Pada Suatu Hari, Sekardus Buku". Pada catatannya ia berkisah bagaimana ia begitu gelisah.
Buku tersaji begitu menarik, sementara uang terbatas. "Menemukan buku-buku berkualitas tidak hanya memuat kebahagiaan tapi juga keresahan", tulisnya.
Mutimmatun merasa resah karena buku itu begitu menggoda, sementara uang yang tersedia belum tentu cukup. Wajar jika ia resah.
Keresahannya semakin bertambah seiring teman-temannya yang mendapatkan buku yang dinilainya begitu menggiurkan. Di antara mereka saling intip.
"Di tangan-tangan mereka, buku-buku juga agak sulit dibawa pulang, saat mata serius menghadapi setumpuk buku dan memilih, mereka masih misuhi harga buku", tulisnya dengan nada bangga namun gusar.
Perburuan ini menghasilkan jumlah buku yang cukup mencengangkan: tiga puluh buah. Buku yang membuatnya tidak lagi memiliki uang tersisa.
Buku membuatnya bahagia dan lapar sekaligus. Ini sejalan dengan keteguhan prinsipnya, "Aku tidak ingin menemui nasib buruk karena tak menjadi pembaca buku", tegasnya.
Qibtiyatul Maisaroh menulis catatan dengan judul "Belanja Buku Saja". Titik tekan catatannya adalah bagaimana ia bersama kawan-kawannya seolah berkompetisi. Sebuah buku yang ingin ia ambil bisa saja diambil oleh temannya secara lebih cepat. Buku dan haru-biru harapan berpadu menjadi satu.