Ngainun Naim
Sabtu 24 Desember 2022. Saya lihat jarum jam di hp menunjukkan angka 13.47 WIB. Sepeda motor NMAX yang saya naiki bersama anak sulung memasuki pon bensin Terminal Trenggalek.
Saya lihat bensin tinggal sedikit setelah digunakan perjalanan yang lumayan jauh, yaitu Trenggalek menuju Jetis Ponorogo pulang pergi. Saya pun antri. Ada beberapa sepeda motor dan mobil yang sedang antri pertamax. Giliran saya, tangki saya isi penuh.
Di ujung pom saya lihat ada penjual koran. Saya pun mendekat. Tersisa Koran Surya. Saya beli satu.
Kota tempat saya tinggal, Trenggalek, adalah kota kecil. Sejak dulu saya sulit mendapatkan koran cetak. Bahkan sejak zaman online belum datang menyerang. Hanya ada beberapa toko dan agen.
Kini, ketika zaman online menyerang, tentu semakin sulit lagi mendapatkan koran.
Realitas semacam ini membuat saya trenyuh. Koran cetak nasibnya di ujung tanduk. Sebisa mungkin saya berkontribusi memperpanjang nafasnya walaupun hanya membeli eceran. Entahlan, sekecil apa pun, saya berusaha berkontribusi.
Di mana pun berada jika ada penjual koran eceran, saya usahakan membeli. Saya merasakan bahwa hidup saya sampai sekarang ini diwarnai oleh jejak dunia koran. Kecintaan saya pada dunia literasi berawal dari koran.
Saya ingat persis, dulu saya berjibaku berjuang menulis artikel dan resensi buku ke berbagai koran. Sebagian besar tulisan dikirim namun Sebagian sangat kecil saja yang dimuat. Perjuangan yang tidak akan terlupa seumur hidup.