Ngainun Naim
Â
Jarum jam menunjuk angka 11.05 ketika saya naik sepeda motor bersama anak bungsu menuju Kota Trenggalek. Lokasinya hanya berjarak 3 KM saja dari rumah. Momentum semacam ini sangat berharga karena memang jarang ada kesempatan.
Di SPBU dekat Terminal Surondakan Trenggalek saya berbelok. Bukan untuk membeli bahan bakar karena isinya masih lumayan banyak. Di dekat tempat mengisi BBM saya lihat ada penjual koran. Saya segera mendekat, membeli koran, lalu melanjutkan perjalanan.
Membeli koran cetak sekarang ini rasanya janggal. Informasi online tersedia melimpah. Apa yang kita butuhkan tersedia melimpah. Jika demikian, mengapa masih membeli?
 Harapan
Pertengahan tahun 1990-an saya mulai menulis artikel di media massa. Perjuangan menghasilkan tulisan, mengirimkan ke media, dan kemudian dimuat sesungguhnya cukup berat. Tidak terhitung jumlah tulisan yang saya hasilkan dan ditolak. Jumlah antara yang dimuat dan ditolak tidak seimbang. Lebih banyak ditolaknya he he.
Namun demikian saya sungguh bersyukur. Perjuangan itu memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Tulisan demi tulisan yang saya buat bisa menembus media massa.
Ada aktivitas rutin yang saya lakukan setiap hari minggu pagi, yaitu pergi ke agen koran langganan. Saya biasanya mengecek ke halaman yang ada rubrik resensi buku. Di rubrik ini saya menaruh harapan besar. Ya, saya biasanya mengirimkan resensi buku yang biasanya muncul di hari minggu. Jika tulisan saya dimuat, koran saya beli. Jika tidak, saya pamit.
Selain resensi buku, saya menulis opini. Tulisan saya pernah dimuat di Kompas, Jawa Pos, Republika, Surabaya Post, Bali Pos, dan beberapa media massa lainnya. Menulis opini, sungguh sangat menantang.
Merawat Kenangan