Beberapa hari yang lalu aku menyimak wawancara NH. Dini, seorang pengarang senior terkait dengan karir dan karyanya yang aku unduh di Youtube. Sebenarnya rasa penasaranku sudah lama ingin mencari sosok pengarang satu ini yang sudah berkiprah selama 60 tahun menggeluti kesusastraan. Sehingga saat penganugerahan Bakrie Award tahun kemarin, persisnya saat bulan puasa, jadi tepat satu tahun lamanya aku memendam keingintahuan terhadapnya, menjadikan pikiran itu terus melayang dan akhirnya bisa kuunduh beberapa liputan dan wawancara bersamanya.
Aku mengenal NH. Dini sebagai novelis feminis karena selalu mengangkat wanita yang tertindas. Hanya satu novel berjudul Namaku Hiroko yang pernah kubaca, tapi belum selesai saat aku masih nyantri di Pesantren Mahasiswa Tanwirul Fikr Surakarta. Tutur kata yang lembut, pelan, bergetar itulah ciri khas NH. Dini. Aku rasakan seperti itu. Walaupun sederet novelnya sudah kukenal seperti Pada Sebuah Kapal, Labarka, Sekayu, Kemayoran, dan juga novel terjemahan Sampar karangan Albert Camus. Aku punya yang Sampar. Ceritanya misterius tentang wabah penyakit yang disebabkan oleh tikus.
Yudi, sahabatku menceritakan kalau NH. Dini menerima Bakrie Award di bidang kesusastraan. Aku penasaran apa saja yang disampaikan olehnya. NH. Dini menyindiri pemerintah Indonesia yang belum menghargai pengarangnya. Di Malaysia pengarang yang sudah berusia 50 tahun atau yang sudah 10 tahun mengabdi dijadikan sastrawan negara dan disantuni sampai akhir khayatnya.
Sempat ia menerima bantuan 5 juta dari pusat bahasa saat wakil presidennya Megawati. Pada tahun yang sama ia juga menerima penghargaan dari negara lain sebanyak 50 juta. 10 % bantuan yang diberikan oleh negaranya sendiri. Betapa tidak mampunya Indonesia menghargai pengarangnya. Ia juga telah menyurati Presiden Susilo Bambang Yudoyono terkait dengan permohonan ASKES yang hanya 10 % potongan dari biaya berobat. Tetapi jawaban melalui Mensesneg menyatakan kalau dirinya tidak termasuk daftar warga yang mendapatkan ASKES. Baginya ini kurang ajar. Pemerintah sama sekali masa bodoh dengan pengabdian sastrawan yang turut serta mencerdaskan bangsa lewat dunia literasi.
2008 NH. Dini berhenti menulis. Ia fokus melukis. Hasil lukisannya di jual atau diikutkan pameran. Tetapi tahun-tahun berikutnya lukisannya menurun peminatnya. Ia menyadari dan tanggap kalau Tuhan tidak meridoi profesinya sebagai pelukis. Lantas ia kembali menulis. Ia berencana akan menyelesaikan karangannya sesegera mungkin dan akan terus berkarya di dunia sastra.
Baginya sekarang yang penting adalah dana. Dirinya banyak mendapatkan penghargaan berupa piagam dan piala. Tetapi itu semua tidak penting. Bahkan ia telah merongsokan piagam dan pialanya dengan harga Rp 200.000, saat ia masih numpang di rumah yang kecil dan sempit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H