Mohon tunggu...
Ngabila Salama
Ngabila Salama Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Dokter PNS Dinas Kesehatan DKI Jakarta

Sebuah opini dari dr. Ngabila Salama, MKM - Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta - Sekretaris Umum Organisasi Dokter Alumni SMANDEL Jakarta - Pengurus IDI Wilayah DKI Jakarta - Mahasiswa S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI - Ibu tiga anak

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

'Arisan' TB

20 Juni 2017   23:50 Diperbarui: 1 Februari 2019   18:40 1485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang ini, 19 Juni 2017, saya mendapat kesempatan untuk menimba ilmu mengenai program Tuberkulosis (TB) dari dr. Subagyo, Sp.P di Poli Paru RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Saya terpukau dengan penjelasan dan pengalamannya selama ini dalam menghadapi kasus TB. Beliau banyak menceritakan tentang konsep Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) ruangan TB terutama di Rumah Sakit. Saya tidak akan membahas mengenai RSUD Pasar Rebo yang sudah memiliki jalur khusus pasien TB (dari mulai pendaftaran sampai dengan masuk ruang tunggu khusus), atau pun exhaust yang ada di setiap ruang pemeriksaan dokter.

Saya akan menjelaskan bagaimana RSUD Pasar Rebo mengubah perilaku pasien dengan mewajibkan semua pasien TB untuk memakai masker setiap kali berobat. Satpam tak memperbolehkan masuk pasien TB yang datang tidak menggunakan masker. Tak hanya itu, satpam yang berjaga di depan ruang Poli Paru juga akan melarang anak-anak untuk masuk ke dalam ruang tunggu dan ruang pemeriksaan.

Tak sampai disitu, dr. Bagyo juga meminta pasien TB untuk memakai masker selama tidur untuk mencegah penularan kepada orang lain yang tidur di ruangan yang sama.

Demikianlah contoh bagaimana kita berusaha mengedukasi pasien untuk merubah perilaku di tempat layanan kesehatan sampai dengan di rumah.

Yang membuat saya kagum adalah bagaimana Beliau menggambarkan ke saya tentang penyakit TB ibarat 'Bom Cluster' dan 'Arisan'.

"Mudahnya, saya sering menjelaskan pasien tentang TB itu ibarat arisan di dalam keluarga. Yang satu dapat (penyakit), berobat dan sembuh, lalu berikutnya giliran anggota keluarga lain yang sakit, dan terus berlanjut siklusnya."

Upaya promotif dan preventif sangatlah dibutuhkan untuk memutus rantai penularan TB. Dalam hati saya, "Keren banget nih dokter, semoga semua dokter, klinisi, dan petugas medis juga memiliki pikiran yang sama seperti beliau".

Dalam menangani pasien TB, investigasi kontak amatlah penting. Beranjak dari rumah penderita TB, diskrining kontak serumah apakah ada yang bergejala TB dan dipantau rutin selama anggota keluarganya berobat TB sampai sembuh. Selain rumah penderita juga penting melakukan investigasi kontak ke rumah depan, belakang, kanan, kiri untuk mencari sumber penularan atau potensi penularan lainnya.

Satu pasien TB berpotensi menularkan 10-15 orang disekitarnya, itulah upaya yang tercermin dalam investigasi kontak 5 rumah di atas. Apalagi dalam kasus TB anak, tentunya penting mencari sumber penularan TB. Percuma menerapi anak jika sumber penularannya tidak diterapi, karena anak hampir pasti tertular TB dari orang dewasa sekitarnya.

Saat ini Indonesia masih didominasi paradigma sakit, dimana pendanaan kesehatan banyak dikucurkan untuk aspek kuratif dan rehabilitatif. Negara selalu berpikir bagaimana agar obat-obat program tidak habis. Terus saja seperti itu. Sampai kapan negara akan bertahan? Bagaimana jika Indonesia sudah tidak ada bantuan pendanaan lagi dari lembaga donor luar negeri? Akankah terus ada program tersebut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun