Indonesia adalah peringkat ke-2 terbanyak pengidap Tuberkulosis (TB) di dunia setelah India. Layaknya fenomena “Gunung Es”, dari hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2015 didapatkan bahwa hanya 32% kasus TB yang ternotifikasi, yaitu sekitar 1.000.000 penderita TB baru dan 1,600.000 penderita TB yang diobati per tahun di Indonesia. Dari studi yang kemudian dituangkan ke dalam indikator, diperkirakan ada 336 kasus TB dalam 100.000 penduduk. TB adalah penyakit yang ditularkan lewat udara, merupakan permasalahan besar dunia kesehatan dan membutuhkan usaha bersama dalam menanggulanginya, karena 1 pasien TB berpotensi menularkan 10-15 orang disekitarnya.
Lebih dalam lagi kita harus tersadar dengan makin tingginya penderita TB Resisten Obat (RO) di Indonesia khususnya di DKI Jakarta. TB RO sering disebabkan oleh pengobatan TB yang tidak sesuai standar dan pasien yang putus berobat. Data pasien TB RO di RSUP Persahabatan sampai dengan Desember 2016 sebanyak 1654 pasien, berdasarkan jumlah pasien tersebut sebanyak 454 orang masih berobat, 500 orang sudah sembuh, 418 orang tidak melanjutkan pengobatan, 184 orang meninggal, 61 orang gagal pengobatan, 18 orang pengobatan lengkap dan 19 orang pindah ke unit lain. Tahun 2016, di RSUP Persahabatan terdapat 3906 pasien terduga TB RO dengan terkonfirmasi TB RO sebanyak 435 pasien, dimana 310 pasien telah pengobatan dan terdapat 125 pasien yang masih belum mulai pengobatan.
Di RS Islam Jakarta Cempaka Putih, di tahun 2016 terdapat 339 pasien terduga TB RO denagn 23 kasus terkonfirmasi TB RO, dimana 17 pasien dalam pengobatan dan 6 pasien belum memulai pengobatan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dr Widyastuti, MKM, menyatakan “Program TB tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs) WHO dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kemenkes sebagai program prioritas “. TB juga masuk dalam penilaian akreditasi Puskesmas dan Rumah Sakit. Pencapaian SPM adalah tanggungjawab kita bersama dari mulai kepala daerah, tenaga medis dan masyarakat.
Penguatan program TB dapat diinisiasi juga oleh Suku Dinas Kesehatan melalui program KPLDH Puskesmas dengan melakukan pencarian kasus di panti asuhan, rumah susun, pegawai minimarket, pedagang pasar, lapas rutan dan tempat umum lainnya. Beliau menambahkan skrining TB juga dapat dimasukkan dalam Medical Check Up (MCU) Petugas Prasarana Sarana Umum (PPSU), bersama dengan program Penyakit Tidak Menular (PTM), Hepatitis dan HIV dengan menggunakan dana BLUD Puskesmas.
Beliau memaparkan target TB untuk RPJMN-Renstra tahun 2015-2019 yaitu ” Prevalensi TB turun menjadi 245 orang per 100.000 penduduk tahun 2019 dengan capaian minimal 90%”. Target Indonesia “Zero TB” tahun 2035 & WHO Tahun 2050 akan sulit terealisasi jika puncak penemuan kasuspun saat ini belum terjadi.
Harapan untuk kedepannya semoga ada integrasi yang kuat untuk pelayanan kesehatan (yankes) dan P2P di Dinas Kesehatan dalam sinkronisasi program TB , serta program kolaborasi TB-HIV, TB-DM, dan TB anak dapat berjalan dengan baik. Public Private Mix ( PPM ) TB juga harus dijalankan dengan menggandeng organisasi ikatan profesi, asosiasi klinik dan rumah sakit untuk mensosialisasikan program DOTS dan sistem pencatatan-pelaporan yang baku. Penemuan kasus, follow-up pasien sampai dengan selesai pengobatan dan pencatatan-pelaporan yang baik akan membuat fenomena “Gunung Es” perlahan-lahan muncul ke permukaan.
dr. Ngabila Salama, MKM
Pengelola Program Pencegahan & Penanggulangan Penyakit (P2P) TB Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H