Melaju menuju 2024, kemana kita mesti berpijak, mari renungkan puisi Taufik Ismail.
Arus politik mengombang ambing langkah kaki yang sedang berjalan menapaki jalan bebatuan, meski tiada tujuan yang jelas, tetapi dunia berjalan begitu tegas, tiada ada ruang untuk mundur, kusarankan untuk rehat sejenak, dan merenungkan sebuah puisi singkat karya Taufik Ismail. Kita memang mesti kembali pada perjuangan, maka berjuanglah dengan tekad yang telah diwariskan oleh pendahulu kita.
Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini
Oleh: Taufiq Ismail
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku?"
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
2024 adalah tahun politik, tepat bulan Febuari pesta demokrasi akan digelar, namun demokrasi untuk siapa, dan siapa yang akan berpesta, bagai pernikahan yang memberi kebahagiaan bagi mempelai pengantin, namun sampai saat ini kita belum tau siapa yang berbahagia, siapa yang akan menjadi pengantin.
Demokrasi adalah kekuasaan ditangan rakyat, sebuah respon penolakan terhadap feodalisme yang memberikan kekuasaan berdasarkan darah, sangat menyedihkan demokrasi kita, hari ini di negeri antah berantah sana kekuasaan bukan di tangan rakyat, melainkan di tangan uang, kapasitas tiada harganya dihadapan kapital, mereka yang menangis selamanya menangis, lalu yang tertawa semakin terbahak-bahak.
Maka mesti kemanakan kita melaju, duhai pemilik republik yang sah, rakyat kecil yang berjalan tanpa tujuan, kita bukan hendak berniat menjadi pahlawan, hanya ingin berhenti menangis. Mundur bukan pula pilihan, begitu juga maju, tak ada yang di tuju.
Jauh pada waktu yang lalu, para pendahulu telah berjuang merebut, lalu mereka mewariskan pada yang hidup di masa kini, lalu apakah negeri republik yang dicintai dengan pertumpahan darah akan selamanya digadaikan, relakah tuan dan puan semuanya?
Berhentilah menangis dan berdoalah dengan puisi, renungkanlah bersama, bahtera yang kita naiki mesti berlabuh di pulau mana. Berpeganglah pada keyakinan dan berpestalah diharinya kelak, bersama membangun keluarga, untuk saudara kita agar bisa makan sampai perut mereka kenyang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H