Konsep Mahabbah Imam al-Arabi sebagai Jalan Penghambaan pada Tuhan
Nurul Furqon/1195020112
Bahasa dan Sastra Arab
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sebagai manusia yang meyakini adanya keesaan akan realitas Tuhan, jalan agama merupakan jalan yang perlu dipijak oleh setiap penganutnya, dalam perjalanannya agama telah melahirkan banyak jalan menuju Tuhan, serta tingkatan-tingkayannya dalam menghambakan diri sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa. Manusia yang tiada daya dan tiada upaya dalam menjalani kehidupan dengan berbagai rintangan dan badai duniawi yang setiap detik dan setiap tempat menemani, menjadikannya tersungkur dalam kenyataan yang tidak bisa ditolak, bahwa manusia adalah mahluk yang lemah. Sebagai mahluk ciptaan sepatutnya menjadi keharusan bagi manusia menghambakan diri pada Tuhan.
Dalam proses menghambakan diri pada Tuhan sebagai mahluk ciptaan yang senantiasa memuja dan menuji Tuhan dengan segala keagungannya, konsep mahabbah menjadi jalan bagi manusia untuk bisa lebih mengenal penciptanya. Mahabbah secara harfiah berasal dari bahasa Arab Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan, yang berarti Cinta, mahabbah atau cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang menyenangkan, Apabila kecenderungan hati itu bertambah kuat, maka namanya bukan lagi mahabbah, tetapi berubah menjadi ‘isyq (asyiq-masyuq)[1].
Konsep mahabbah sangat penting dalam proses menghambakan diri pada Tuhan yang nantinya akan menuntun pada maqam seorang hamba. Maqam sendiri merupakan suatu tingkatan seorang hamba dihadapan Tuhannya, semakin dekat seorang hamba dengan Tuhannya, semakin tinggi maqamnya. al-Qusyairi mengartikan maqam sebagai hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban[2].
Syaikh Akbar Muhyiddin Ibn Arabi adalah seorang ulama tasawuf dari Andalusia, atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Arabi, ia meninggal dan dimakamkan di kaki gunung Qasiun, Damaskus 638 H./1240 M[3]. Dalam kehidupannya paham dari Ibnu Arabi ini menuai berbagai pro-kontra dari pandangan ulama lain, tidak jarang ulama yang beranggapan pemahaman Ibnu Arabi ini melenceng dari al-Qur’an, namun meski demikian William C. Chittick berpandangan bahwa karya Ibn Arabî, tidak lain adalah pengejewantahan dari al-Qur’an, begitu juga dengan Michel Chodkiewicz, mengatakan bahwa tidak mungkin memahami karya-karya Ibn Arabî tanpa mengingat al-Qur’an yang selalu hadir dalam segala sesuatu yang ia tulis[4].
Dalam al-Futuhat al-Makkiyyah, Ibnu Arabi menjelaskan tentang terbebasnya seorang hamba dari keharusan menjalankan syariat pada hamba yang mencintai dan dicintai Allah. Konsep mahabbah tersebut dituangkan dalam bab Na’tul Muhibb bi-Annahu Jawazal Hudud Ba’da Hifzhiha (Seorang Pencinta akan terlepas dari menjalankan syariat setelah sekian lama menjalankannya). Sekilas konsep mahabbah ini akan sangat bertentangan dengan kita yang sedari kecil diberikan pemahaman menjalankan syari’at adalah kewajiban bagi setiap manusia yang beriman. Dalam bab tersebut Ibnu Arabi memberikan penjelasan sebagai berikut:
الحب مزيل للعقل، وما يؤاخذ الله إلا العقلاء، لا المحبين، فإنهم في أسره، وتحت حكم سلطان الحب
“Cinta dapat menghilangkan akal sedangkan Allah hanya memberikan beban syariat bagi orang-orang sudah berakal, bukan bagi orang-orang yang mabuk cinta kepada-Nya. Para Pencinta Allah masuk ke dalam lindungan-Nya dan mereka dikendalikan oleh kuasa cinta.”
Demikian Ibnu Arabi menjelaskan tentang hilangnya kewajiban syari’at pada mereka yang telah kehilangan akalnya karena kecintaannya pada Tuhan. Namun yang tersisa adalah, maksud dari cinta dan pecinda adalah yang seperti bagaimana? Karena tidak semena-mena manusia mengaku cinta apabila cinta tersebut tidak bisa dirasakan sebagai sesuatu yang ada. Imam Arabi sebagaimana kaum sufi lainnya, sebagai pecint ia memaknai agama sebagai cinta itu sendiri, dan pecinta adalah jalan penghambaan terhadap yang dicintanya, atau Tuhan sebagai sang Pemilik Cinta, maka Imam Arabi menganggap dunia dan seisinya adalah monisme, atau satu kesatuan dengan Tuhan, dan kesatuan itulah cinta[5]. Lebih lanjut Ibnu Arabi menjelaskan konsep segala sesuatu berasal dari cinta sebagaimana dalam sya’irnya
Dari Cinta kita berasal
Dari Cinta kita terlahir
Di bawah payung Cinta kita menyusuri jalan
Dan karena Cinta kita akan pulang ke asal
Dari puisi karya Ibnu Arabi tersebut kita bisa memahami segala sesuatu berasal dari cinta, bahwa Tuhan yang menciptakan kita adalah cinta, Tuhan sendiri adalah cinta dan pemilik dari cinta, kita bisa mengatakan bahwa sebagai mahluk yang tercipta dari cinta harus mewarisi sifat-sifat cinta, yaitu kasih sayang. Kecintaan seorang hamba pada Tuhannya adalah memanifestasikan segala kehidupannya hanya untuk Tuhan dan selalu menghadirkan Tuhan dalam segala sesuatu, sebab yang pecinta tidak akan pernah meninggalkan kekasihnya, selaras dengan perkataan Rumi dalam Fihi Mafihi bahwa Tuhan berada dalam hatinya.
[1] Mujetaba Mustafa, KONSEP MAHABBAH DALAM AL-QUR’AN (Kajian Tafsir Maudhu’i), (Jurnal al-Asas, 2020), hal. 41-53.
[2] Asnawiyah, MAQAM DAN AHWAL: MAKNA DAN HAKIKATNYA DALAM PENDAKIAN MENUJU TUHAN, (Substantia, 2014), hal. 79-86.
[3] https://nu.or.id/pustaka/mengenal-ibn-arabi-lebih-dekat-WeFJe. Diakes pada 25 April 2022 pukul 20:53 WIB.
[4] Chafid Wahyudi, PANDANGAN IBN ‘ARABÎ TENTANG AL-QUR’AN SEBAGAI PENGHIMPUN, (Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits, 2015), hal. 1-19.
[5] Ahmad Nur Cholish & Alamsyah M. Dja’far, Agama Cinta - Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama, (Jakarta, Gramedia, 2015), hal. 49.