Jika anda kepingin menulis cerpen, baik juga belajar pada Edgar Allan Poe. Ia membuat lima aturan mengenai cerpen, yang sampai sekarang pun masih dianggap berlaku.
1. Cerpen harus pendek
Artinya, cukup pendek untuk dapat dibaca dalam sekali duduk. Cerpen bisa rampung dibaca sambil menunggu bis atau kereta-api, sambil antri karcis bioskop sampai didepan loket, atau sambil nongkrong di wc -Â na'udzubillahi min dzalik.
2. Cerpen seharusnya mengarah untuk membuat efek yang tunggal dan unik
Cerpen seharusnya mengarah untuk membuat efek yang tunggal dan unik. Sebuah cerpen yang baik punya ketunggalan pikiran dan action yang bisa dikembangkan lewat sebuah garis yang langsung dari awal sampai akhir. Dalam sebuah cerpen memang tak cukup tempat untuk garis-garis sampingan, atau peristiwa-peristiwa yang bunga rampai. Itu hak yang diberikan pada novel. Cerpen tidak kebagian hak yang seperti itu.
3. Cerpen harus ketat dan padat. Cerpen harus tampak sungguhan. Cerpen harus memberi kesan yang tuntas
Seorang cerpenis tidak usah iri hati pada novelis yang leluasa menghamburkan berjuta-juta detail, urai-uraian yang berkilometer panjangnya dan serba-neka kejadian dalam tulisannya. Cerpen harus berusaha mendapatkan setiap detail pada ruangan yang sekecil mungkin. Maksudnya tidak lain, agar pembaca mendapat kesan yang tunggal dari keseluruhan cerita.
4. Cerpen harus tampak sungguhan
Jadi, khayal, tapi seperti betul-betul terjadi. Memang tampak sungguhan adalah dasar dari semua seni mengisahkan cerita. Semua fiksi tidak boleh kentara hanya bikinan, meskipun semua orang tahu bahwa itu khayalan belaka. Semua tokoh ceritannya kelihatan seungguhan, berbicara dan berlaku seperti manusia yang betul-betul hidup.
5. Cerpen harus memberi kesan yang tuntas
Selesai membaca cerpen, si pembaca harus merasa bahwa cerita itu betul-betul rampung. Cerita itu memang berhenti pada suatu titik yang tidak bisa lain. Tidak boleh tidak cerita itu harus mandeg dan rampung pada titik itu saja. Jika ujung cerita masih terkatung-katung, pembaca akan merasa kecewa.
Ini prinsip rumusan Edgar Allan Poe. Meskipun begitu, seperti Hemingway, banyak cerpenis masakini masa bodoh dengan prinsip itu. Mereka melanggarnya saja. Termasuk Edgar Allan Poe sendiri! Mereka merasa nikmat membiarkan akhir cerita tetap melambai-lambai ditiup angin. Barangkali karena mereka menggunakan teori, bahwa justru pembaca akan senang berteka-teki dengan kemungkinan-kemungkinan lain dari kesudahan cerita itu.
Memang begini boleh disebut "nyeni". Namun pembaca umum biasanya tidak puas. Sebuah cerita harus berakhir dengan satu titik, bukan dengan setrip panjang.
Resep Poe ini sebaliknya anda coba juga jika anda menulis cerpen lagi. Kalau sudah pernah mencoba, saya yakin anda akan merasa seperti seorang tukang jahit pakain yang diberi kain satu meter kali empat puluh senti untuk membuat celana kolor seorang bapak. Tidak boleh tidak anda terpaksa membuat celana yang ketat.
Celana yang ketat sangat menyiksa dan lekas robek. Cerpen yang ketat justru sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H