Pintu Gerbang Candi Cetho (dok.pri)
Berbagai peninggalan situs purbakala peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia hingga saat ini masih dapat kita saksikan kemegahannya.Disekitar tempat tinggal saya pun masih dengan mudah kita temui situs/candi yang masih berdiri dengan anggunnya.Ada Candi Borobudur di Magelang,Candi Kalasan,Candi Sambisari (candi agama Budha),Komplek Candi Sewu di Prambanan,Candi Sojiwan,Komplek Candi Boko,Candi Banyunibo,Candi Cepit serta Candi Ijo di selatan Prambanan (candi agama Hindu) serta masih banyak lagi di berbagai lokasi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.Dengan lokasi berdirinya candi-candi tersebut tidak berjauhan satu sama lainnya membuktikan jaman dahulu kerukunan antar umat beragama sudah terjalin dengan mesra.
Sebagian besar candi candi yang berada di wilayah Yogyakarta ini berada di dataran rendah.Hal tersebut bisa dimaklumi karena di sekitar lokasi candi candi tersebut merupakan tanah subur yang cocok untuk pertanian,didukung dengan keberadaan Gunung Merapi disisi utara yang masih setia mengeluarkan abu vulkaniknya hingga saat ini.Berlimpahnya material batu vulkanik tentu menjadi keunggulan tersendiri kenapa banyak candi yang berdiri di wilayah selatan Gunung Merapi ini.
Menjadi menarik dan menjadi pengalaman yang berkesan bila kita mengunjungi candi yang berbeda dengan yang lainnya.Berbeda dalam arti candi tersebut berada di lokasi yang tak lazim,yaitu berada di dataran tinggi. Yang pertama adalah mengunjungi Candi Cetho di sisi barat Gunung Lawu disusul kemudian mengunjungi Candi Dieng di perbatasan Wonosobo-Banjarnegara,Jawa Tengah serta ditutup dengan melihat secara langsung kehidupan masyarakat beragama Hindu di Bali.
Romantisme Candi Cetho Yang Berselimut Kabut
Dalam bahasa Jawa,Cetho artinya jelas.Lokasi komplek candi Cetho ini berada di lereng Gunung Lawu tepatnya di desa Gumeng,Kecamatan Jenawi,Kabupaten Karanganyar,Jawa Tengah.Komplek Candi Cetho ini memiliki ukuran panjang 190 meter dan lebar 30 meter dan berada di ketinggian 1496 mdpl.Candi Cetho ini berlatar belakang agama Hindu dengan pola halamannya berteras dengan susunan 13 teras meninggi ke arah puncak.Bentuk bangunan ini mengingatkan kita akan kemiripan dari punden berundak masa prasejarah.
Tahun pendirian Candi Cetho ini didapat berdasarkan penemuan prasasti dengan huruf jawa kuno yang terdapat pada dinding gapura teras ke-7 yang berbunyi: "Pelling kadamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397",yang dapat ditafsirkan sebagai berikut: Peringatan pendirian tempat ruwatan atau tempat untuk membebaskan dari kutukan dan didirikan tahun 1397 Saka (1475M).
Fungsi Candi Cetho adalah sebagai tempat ruwatan dapat dilihat melalui simbol-simbol dan mitologi yang ditampilkan dalam arca-arcanya.Mitologi yang disampaikan tersebut berupa cerita Samudramanthana serta cerita Garudeya. Jadi cerita Samudramanthana ini mengisahkan tentang taruhan antara kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata dalam pencarian air amarta (air kehidupan) pada lautan susu.Kadru menebak bahwa ekor kuda pembawa air amarta yang akan keluar dari lautan susu berwarna hitam,sedangkan Winata menebak ekor kuda itu berwarna putih.Ternyata ekor kuda yang keluar dan membawa air amarta tersebut berwarna putih.Tetapi anak-anak Kadru yang berwujud ular menyemburkan bisanya sehingga ekor kuda tersebut berubah menjadi hitam.Walaupun bertindak curang,Kadru tetap menang dalam taruhan tersebut.Sehingga Winata pun dijadikan budak oleh Kadru karena kalah taruhan.
Sedangkan cerita Garudeya mengisahkan tentang pembebasan Winata tersebut oleh anaknya, Garudeya. Ia menemui para ular meminta ibunya dibebaskan dari budak Kadru.Para ular terseut setuju dengan persyaratan Garudeya menukar ibunya dengan air amarta.Garudeya pun pergi tempat penyimpanan air amarta tersebut yang dijaga para dewa dan air amarta tersebut pun diserahkan kepada para ular dan akhirnya Winata pun dapat dibebaskan dari perbudakan Kadru.
Di hari Sabtu tanggal 14 Juni 2014,saya berkesempatan mengunjungi Candi Cetho ini bersama teman-teman kompasianer pemenang Kuldon Sariawan Blog Competition.Ada Mas R Fadli,Mas Dzulfikar,Mas Joshua,Pak Ben,Pak Thamrin Sonata,Pak Adian,Pak Encep,Bu Ngesti,Mb Vita.Ditemani juga Ibu Agatha,Mb Ika Pramono,Mas Pendi serta Mas Shulham.Dengan menumpang minibus,saya dan rombongan berangkat dari kota Solo jam 08.00 WIB melewati kota Palur yang saat itu sedang membangun jembatan fly over.Mungkin saat ini sudah mendekati selesai pembangunannya.